Puisi Vito Prasetyo
Episode Rindu
Aku telah mengupas hatimu
dengan separuh langkah hidupku
saat tertanam di ladang kerinduan
Ketika hampir senja,
kita menyusuri kenangan silam
pada tapak-tapak jalan penuh bunga
Bunga mawar pernah kutulis dalam mimpimu
engkau menciumnya tatkala hatimu gundah
dan aroma wangi merambah pada nafasmu
Kini bunga itu layu
terpendam dalam gumpalan lara
telah kucoba untuk menanamnya kembali
Biarlah rindu terendam duka
dan air bahagia memercik di antara rimbun daunnya
kita bersihkan luka usang
Ladang itu masih menanti kerinduan kita
dan kicau burung di atasnya menanti sapamu
apakah mulutmu tersaput kebisuan?
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya
waktu meninggalkan kehampaan ini
kutorehkan garis penaku dalam lembar mimpimu
Akhirnya kini terjawab sudah
engkau telah meninggalkan semua episode rindu
dan membakarnya dalam kebencian abadi
(Malang – 2015)
Gadis Berpita Jingga
Di tepian telaga
seberkas cahaya memantul
tertusuk pada mata bening gadis berpita jingga
Dan dari kaki-kaki langit
untaian senandung merdu
memadu bersama kicauan burung-burung
bercengkrama di atas pucuk pepohonan
Di tepian telaga
kaki mulus menjulur terbenam
kadang menyibakkan air telaga
– dan gadis itu tersenyum pada alam
seakan itu semua, ungkapan mimpi
melalui ruang waktu tak terurai
dalam penantian rindu yang begitu panjang
Tatapannya kadang terkesima langit
seakan menerobos putihnya sinar
dan berkelana menggapai angan
pada tepian telaga bertilam angin
meninggalkan sutera selimut malam
setelah melumat semua keindahan mimpi
Gadis berpita jingga
di tengah kerinduan itu
menghujam batas pandang
menerobos pekatnya malam
hingga lentik mata itu terkulai
dibaringkannya segenap penat
setelah hilangnya perjalanan waktu
dari siang hingga menjemput senja
Di tepian telaga, – yang mulai membisu
gadis berpita jingga mencoba menerka makna
di atas bahu angin kemarau
hingga genggaman aroma tubuhnya mulai rapuh
tertusuk rindu dengan jemari asmara
Kini impiannya tertidur pulas
sebelum pesona malam hadir kembali
bersama gesekan biola di tengah padang rumput
menggemakan asmaradhana dalam pekatnya rindu
mungkin tersibak dari percikan air telaga
menembus batas-batas hatinya
Saat bening pagi menyapa alam
sepasang merpati di kejauhan atap rumah
menyaksikan keresahan hatinya
seakan menerangkan tentang hidup
menuangkan dalam bejana waktu
hingga menyisakan cinta untuk hari esok
Malang – 2016
Tentang Hatimu
janganlah engkau bicara dengan kasat matamu
tapi bicaralah dengan kasat jiwamu
karena disitu mengalir kemurnian hati
: dan disitu engkau selalu merindukan Tuhan
—
Malang – 2016
Tentang Jiwamu
Lihatlah jiwamu pada cermin
begitu kusut dan layu
kulit-kulit wajahmu pun tampak gersang
buanglah rasa cintamu itu
: yang melekat begitu dalam
Janganlah engkau menikamnya
ke batas jiwamu
hingga akhirnya engkau terlahir
pada duniamu yang baru
Malang – 2016
Anak Pantai
Anak kecil bertelanjang dada
berlari menyusuri pasir putih
riak kecil kadang menerjang kakinya
di pesisir pantai laksana ladang surga
Di sudut matanya membias sebuah harapan
walaupun terkadang perutnya merintih
menahan lapar dan dahaga
karena hidup menjadi suatu pilihan
Masih adakah cinta melekat di dadanya
tatkala esok masih tersisa kebimbangan
atau mungkin ia memiliki makna lain tentang cinta
dan menawarkan saat hidupnya beranjak dewasa
pada sudut-sudut kota yang terpinggirkan
Setiap hari, ombak dan angin berkejaran
merepih dan mencumbu bibir pantai
tetapi anak itu, semakin larut dalam syair alam
mungkin esok ia tak pernah tahu tentang kecapi dan seruling
Malam pun berlalu hari demi hari
berpeluk mimpi di atas gubuk bambu
lepaslah, kini lepaslah
kantuk dan penat
di saat tubuhnya merebah pada sebuah tikar
dalam kegelisahan sisa malam
Esok penantian cahaya siang
mengiringi langkah hidup anak pantai
awan berarak memayungi teduh
saat asa di dada meniupkan simponi kehidupan
di antara nyiur melambaikan dedaunan
ada bias harapan di ufuk mentari
hingga menggapai semua angan-angannya
dan kulit tubuhnya akan berlapiskan kain sutera
Mungkin, kitapun harus belajar
dari apa yang tidak dimilikinya
tentang penindasan bathin tak teradili
ketika zaman telah larut dalam nalar modern
// anak pantai itu, tetap menjaga warisan leluhur bangsanya
memberikan warna pada sisi bingkai
merajutnya dengan ukiran napas
– sementara kita berada dalam bingkai foto itu
sebagai boneka dalam keindahan seni
tanpa pernah menghirup udara suci
Sebongkah kata disimpannya
untuk diberikannya kepada negeri ini
Anak pantai ingin membuat bangga bangsa ini
saat pantai berubah batu karang
dan di atasnya dibangun hotel mewah
tempat peristirahatan para turis asing
: Anak pantai itu – tak akan pernah menjual bangsanya
Malang – 2016
Bingkai Merenung
rindu ini seakan menjebakku
pada bingkai pigura ini wajahku pernah tersenyum
sekian lama ruang waktu kuarungi
jagad nusantara kujelajahi
kadang bintang gemintang turut mengiringi langkahku
aku tersanjung
terkadang kecewa menyelinap di antara goresan tintaku
itu semua membuat beban nafsu diriku
emosiku pun turut bicara
penaku mulai kehilangan nalar
ada sesuatu yang menyayat bathin
mungkin juga aku telah kehilangan perenungan diri
apakah Tuhan mulai berpaling dariku
jiwa seakan mengarungin laut maha luas
disitu tangis seperti batu karang yang rapuh
ombak menerjang menelanjangi kulit tubuh
tetapi biarlah semua terbasuh
mungkin ada kesucian yang melebur kekotoran jiwa
hingga aku tetap terpaku pada bingkai itu
—
(Tumapel – 2016)
Bunda (Sajak Perjalanan)
Nun jauh di negeri seberang
langkah kaki, hidup merantau
Ingin rasa menghilangkan dahaga
buah kuini tak lagi didapatkan
Hijau daun melekat mata
kampung halaman terbakar rindu
Bila ada kawan mengisi hati
tak akan jauh kaki menumpang hidup
Kabar berita hanya kiasan kata
harapan Bunda tersayat pilu
Bila ladang tak lagi bertuan
bagai emas tak menyimpan harta
Sekali dayung menerjang ombak
hujan badai pun hati tak surut
pantang badan tak meraih hasrat
demi Bunda yang terbayang di pelupuk mata
Bunda, bundaku merindu
nantikan diriku membawa durian emas
peluk diriku dalam mimpi
hati pun rindu padamu
(Malang – 2016)
Rimba Langit
Senja merona penuh geliat
memancarkan warna pesona
di balik awan, lembayung seakan ingin menerobos
menuntaskan bercak luka langit
di wajahnya penuh jelagah
kerling matanya sudah terlalu sembab
senja pergi dihampiri malam
seakan memberi pertanda penat mentari
sempat (ia) berkata
: matahari telah tersobek
sebagian pandangannya mulai rabun
Akar terus menggantung di kaki langit
dedaunan tumbuh memberi birahi di tubuh langit
tetapi mata kita terlalu kasat – penuh hitam –
hingga rimba di langit kian subur
bulan dan bintang pun semakin redup
dipenuhi awan kelabu, langit itu tanpa suara
rembulan dan gemintang enggan menyapa jagad
Mari kita coba memulai hidup
karena hati kita mulai gersang
tak ada lagi lentera dalam sanubari
ketika kita menghitung perjalanan waktu
sesungguhnya nalar kita ada di ruang hampa
Mari kita coba memaknai alam
tentang seberapa banyak langit terbentang luas
disana, camar pun terasa bebas
memecah dan membelah rimba langit
hingga burung camar itu lupa
antara batas langit dan batas angkasa
Betapa dangkal kesombongan kita
sungguh mata kita telah terpagari
oleh batas pandang tak terjangkau
betapa kecilnya sudut mata kita
di balik lebarnya langit
Anak-anak kecil bersenandung sumbang
tak biru lagi langitku
karena mata mereka terlalu polos
semua tampak putih tanpa sinar
sementara rimba langit sudah terlalu tua di ujung langit
mungkinkah mereka menggantungkan angan di atas sana
atau cukup mengais rimba langit dalam mimpi-mimpi mereka!?
Kini rimba langit menjadi lukisan abstrak
goresan makna cinta bagai pisau bermata
menikam pandangan setajam mata langit
penuh arsiran warna seindah bunga mawar
Langit, hanya sebatas makna pandang
menutup rimba belantara bumi dari jeritan sang dewa
—
Malang – 2016
Kata-Kata Itu Telah Mati
Sederet kata telah kutulis
sebongkah makna telah kurangkai
hingga aku tak pernah menuai mimpi
Bahkan kadang kulupakan diriku
semua itu hanya membuatku semakin tersiksa
tetap saja tak pernah memuaskan diriku
napas hidup, raga terasa mati
—
Setiap detik kulewati
setiap menit berlalu
setiap hari aku melangkah
setiap bulan tapakku meninggalkan jejak
bahkan setiap tahun menghabiskan usiaku
Tetap tak berpaling
menghapus penat jiwaku
Kenapa kerinduan itu t’rus membelenggu
hingga sekarat diriku
bermandikan lumuran tinta
seakan namaku terpaku
pada bait-bait itu
Tapi kata-kata itu telah mati
Malang – 2016
Ilusi Sang Pejuang
perang tak pernah membuatku letih
tapi penindasan dan kesengsaraan rakyat
membuat jiwaku terasa hina
karena ilusi darahku mendesir
– dan mengalir di tubuh negeri
Malang – 2016
*Vito Prasetyo, dilahirkan di Makassar, Ujung Pandang, 24 Februari 1964. Pria Bernama lengkap Victorio Prasetyo W bergiat di dunia sastra sejak 1983. Karya-karyanya tersiar di berbagai media massa seperti Harian Pedoman Rakyat(Makassar), Suara Karya, Malang Post, Radar Malang, dll. Dan termaktub di beberapa Antologi Puisi seperti Jejak Kenangan(Rose Book, 2015), Tinta Langit (Rose Book (2015), 2 September(Rose Book, 2015), Jurnal Puisi SM II 2015 (Sembilan Mutiara Publishing, 2016), Malam-malam Tanpa Nafas (2013), Perjalanan (2014), Kumpulan Puisi Religi (2013 – 2014), Kumpulan Cerpen Wanita-wanita, Menuju Ridho Allah (2014 – 2015). Kini ia mukim di Malang, Email: vitoprasetyo1964@gmail.com, dan HP: 081259075381
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi/berdonasi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.