NUSANTARANEWS.CO – Kata Haftar, GNA adalah pemerintahan “boneka” teroris. Field Marshal Khalifa Haftar menyatakan bahwa Libya seharusnya dapat membasmi para teroris bertahun-tahun yang lalu bila komunitas internasional (AS dan sekutu Baratnya) tidak melakukan embargo senjata kepada militer. Sebaliknya, dunia internasional malah menutup mata terhadap penyelundupan senjata untuk kelompok-kelompok teroris.
“Jika bukan karena embargo, maka kita dapat menghapuskan terorisme bertahun-tahun lalu… terlepas dari embargo, sejumlah besar senjata secara terbuka dikirim ke kelompok-kelompok teroris bersenjata di Libya melalui udara dan laut. Kami bertanya-tanya bagaimana dunia mengizinkan ini di satu sisi, dan di sisi lain, seruan untuk memerangi terorisme,” kata Haftar dalam sebuah wawancara dengan sputnik.
Haftar juga menambahkan bahwa bahwa saat ini tidak ada kontak antara LNA dengan GNA.
“Sayangnya, kami telah menyia-nyiakan waktu kami yang berharga untuk berdialog dengan Dewan Presiden Fayez Sarraj dalam menanggapi upaya regional dan internasional, tetapi sekarang tidak ada mediasi, baik internasional maupun lokal, dan juga antara kami dan dewan, tambah Haftar.
Panglima LNA ini juga mengungkapkan bahwa ada “kesalahpahaman yang perlu diluruskan bahwa apa yang disebut Dewan Presiden (GNA) dapat menginstruksikan tentara bayaran, milisi dan para teroris untuk berperang atau membuat gencatan senjata.
“Ini adalah kebohongan besar yang sekarang telah terungkap di tingkat lokal maupun internasional. Yang benar adalah GNA justru menerima instruksi dari kelompok-kelompok ini dan bukan sebaliknya. Peran GNA hanya terbatas pada penyediaan uang, senjata, dan tentara bayaran berdasarkan pada perintah dikeluarkan untuk itu. Dan perintah harus dilaksanakan,” ungkapnya
“Tak satu pun dari sedikit anggota dewan yang ada, sampai presidennya, berani menolak instruksi dari geng-geng teroris itu. Dewan Presiden hanya dapat melaksanakan perintah. Ini adalah fakta yang tidak perlu lagi dibuktikan. Dewan itu sendiri mencakup lebih dari satu anggota organisasi teroris,” tegasnya.
Seperti diketahui sejak koalisi imperialis-teroris melakukan pembunuhan terhadap pemimpin Libya Muammar Gaddafi pada 2011, negara Afrika yang kaya minyak itu terus dilanda perang saudara berkepanjangan. Belakangan Libya terbelah menjadi dua pemerintahan. Di bagian timur dikendalikan oleh LNA dan bagian barat diperintah oleh GNA.
Almarsad .co dalam sebuah laporan khusus mengungkapkan bahwa dalam medan pertempuran di Tripoli, GNA banyak melibatkan tentara-tentara bayaran, kelompok-kelompok militan radikal dan teroris untuk bertempur melawan LNA. Padahal kelompok-kelompok teroris tersebut jelas-jelas menolak demokrasi dan etika bernegara sesuai dengan norma-norma komunitas internasional. Jadi sungguh ironis bila PBB dan komunitas internasional mendukung GNA.
GNA berulang kali mencoba menimpakan tuduhan kepada Haftar dan LNA-nya sebagai yang bertanggung jawab atas gerakan terorisme. Faktanya justru elemen-elemen teroris ini dimobilisasi dari daerah-daerah yang berada dalam kendali GNA seperti Misrata, Zawiya, Khamis, Msallata, dan kota-kota lain — untuk menghancurkan kredibilitas LNA.
Meskipun LNA telah membersihkan beberapa area di Libya dari al-Qaeda dan ISIS, kelompok-kelompok hak asasi manusia baru-baru ini kembali menuduh pasukan Haftar telah melakukan kejahatan perang. Bahkan Ketua Dewan Presiden (GNA) Fayez Al-Sarraj mendesak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menyelidiki kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan Haftar dan membawanya ke pengadilan, kutip Libya Observer.
Tercatat beberapa organisasi teroris yang menjadi pendukung setia pemerintahan GNA dalam melawan LNA seperti: Shura Council of Mujahideen in Derna (SCMD), Shura Council of Benghazi Revolutionaries (SCBR), lalu ada Ansar-al-Sharia, Brigade Zliten, Benghazi Defense Brigades (BDB), pasukan Jadhran, Brigade Martir Abu Salim, dan masih banyak lagi – diluar ISIS dan Al-Qaeda.
Bila kita mengikuti ucapan Haftar maka, PBB dan komunitas internasional harus menyelidiki dan mempertanyakan mandat yang telah mereka berikan kepada GNA yang faktanya, malah menjadi pemerintahan “boneka” oleh kekuatan terorisme dan ekstremisme di Libya. (Agus Setiawan)