JPPR: Perhatikan Subtansi RUU

Acara Refleksi Akhir Tahun JPPR: Kerakyatan dalam Pemilu/Foto : Dok. trendjakarta.com

Acara Refleksi Akhir Tahun JPPR: Kerakyatan dalam Pemilu/Foto : Dok. trendjakarta.com

NUSANTARANEWS.CO – Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mempertanyakan, apakah sepanjang 2016, terjadi proses Kerakyatan dalam Pemilu? Selain representasi dan kepentingan rakyat tercermin dalam proses pencalonan yang bisa dijadikan ukuran, ialah pilihan sistem Pemilu yang disajikan dalam rancangan nya apakah semakin meneguhkan kekuatan pemilih dalam proses pengambilan keputusan atau sebaliknya.

Baca : Kerakyatan Pemilu, JPPR: Proses Pencalonan Mencerminkan Kepentingan Rakyat

“Dengan memperhatikan subtansi RUU tersebut maka Ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada. ‎Contohnya adalah perihal sistem Pemilu. Dalam sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan Pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik,” terang JPPR dalam rilis bertajuk Catatan Akhir Tahun” Kerakyatan dalam Pemilu, yang diterima nusantaranews.co, Sabtu (31/12/2016)

JPPR menyatakan, elemen sistem Pemilu lainnya dalam RUU tersebut menyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi dimana suara Parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya. ‎Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun Versi JPPR: Kerakyatan dalam Pemilu

“Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan berdasarkan nomor urut. Ketentuan ini, seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut,” jelasnya lebih lanjut.

Akan tetapi, katanya, jika diperhatikan lebih lanjut, sistem ini tak ubahnya proporsional tertutup nomor urut. Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. ‎Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi.

“Selain sesungguhnya tertutup, pilihan sistem Pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan yang selama ini kita alami. Problem mendasar dalam sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang menyebabkan partai politik lemah dan meningkatkan politik transaksional jawabannya bukan dengan mengubah sistem tetapi dengan penegakan hukum yang kuat, efektif dan berwibawa serta prosedur pencalonan yang lebih baik,” terang JPPR lagi.

Ketentuan sistem Pemilu ini harus benar-benar menjadi perhatian DPR, selain untuk perbaikan Pemilu mendatang juga terkait nasib partai politik itu sendiri.‎ “Sesungguhnya, yang dibutuhkan adalah mempertahankan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, mewujudkan sistem penegakan hukum yang kuat serta mengatur proses pencalonan untuk membangun soliditas kepartaian maka harapan publik untuk mendapatkan proses Pemilu yang lebih adil dan berkualitas semakin terwujud,” katanya. (Sule)

Exit mobile version