Jerat Baru Setya Novanto, Jam Tangan Pemberian Johannes Marliem

Johannes Marliem beri Setnov jam tangan. Foto: Dok. Tribunnews

Johannes Marliem beri Setnov jam tangan. Foto: Dok. Tribunnews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemberitaan startribune.com menyebutkan, Johannes Marliem menyuap sejumlah pejabat Indonesia baik secara langsung maupun melalui perantara. Johannes Marliem adalah pengusaha bidang IT pimpinan Biomorf Lone LLC, vendor proyek pengadaan e-KTP. Ia juga disebut sebagai salah satu saksi kunci kasus dugaan korupsi e-KTP.

Berdasarkan keterangan agen khusus FBI Jonathan Holden seperti dikutip startribune.com, Marliem pernah membeli jam tangan senilai USD 135.000 dari sebuah butik di Beverly Hills. Dari informasi yang dihimpun, bahwa merk jam tangan itu ialah Richard Mille.

Pernyataan Holden itu termasuk dalam tuntutan hukum yang diajukan Kamis (5/10). Disebutkan jika Johannes Marliem mendapat keuntungan dari proyek e-KTP. Menurut Holden, Marliem telah melakukan negosiasi bolak-balik dengan KPK selama 18 bulan sebelum menyetujui untuk diwawancarai di Singapura pada bulan Maret tahun ini. Dalam wawancara itu, dia membantah telah menyuap siapa pun.

Diketahui itu menjadi salah satu sesi wawancara pada bulan Juli oleh Konsulat Indonesia di Los Angeles (KJRI di Los Angeles). Marliem mengatakan, pada penyidik KPK kalau uang sebesar USD 700.000 telah dikirim ke rekening anggota DPR berinisial CH. “Marliem memainkan rekaman, antara lain, seorang pejabat pemerintah Indonesia yang membahas jumlah suap,” kata Holden seperti dilansir dari Wehoville

“Marliem juga dilaporkan menunjukkan dokumen elektronik dan foto lain yang relevan ke KPK, termasuk gambar jam tangan mewah yang dia beli, yang kemudian diberikan kepada ketua DPR oleh seseorang yang terlibat,” katanya.

Holden mengatakan, KPK berkata kepada FBI bahwa Biomorf Lone Indonesia, PT milik Marliem telah menerima lebih dari USD 50 juta untuk pembayaran subkontrak terkait dengan proyek E-KTP, setidaknya USD 12 juta di antaranya ditujukan kepada Marliem. Dia menyimpan uang itu ke rekening bank pribadi di Indonesia dan kemudian memindahkannya ke rekening bank di Amerika Serikat.

Analisis FBI terhadap catatan bank Marliem menemukan bahwa antara bulan Juli 2011 dan Maret 2014, sekitar USD 13 juta telah ditransfer dari pembayaran kontrak pemerintah ke rekening bank pribadi Marliem di Wells Fargo. Sebelum menerima transfer rekening itu memiliki saldo USD 49,62 juta.

Menurut Holden, Marliem meninggalkan konsulat (KJRI) setelah wawancara terakhirnya pada 6 Juli. Setelah sepakat untuk memberikan pernyataan tertulis dan bukti fisik dan elektronik kepada KPK dengan imbalan kekebalan dari tuntutan hukum.

KPK mengharapkan Marliem kembali keesokan harinya untuk menandatangani kesepakatan. Tapi pada hari itu Marliem mengatakan tidak akan melakukan hal tersebut. Dia mengatakan kepada KPK bahwa dia telah berbicara dengan seseorang di Indonesia pada malam sebelumnya, yang memperingatkan dia untuk tidak memberikan informasi yang disepakati sampai dia mendapatkan jaminan lebih lanjut dari KPK.

Tekanan pada Marliem meningkat pada 8 Agustus. FBI mengeksekusi surat perintah penggeledahan rumah yang dia sewa di Edinburgh Avenue. Holden mengatakan bahwa dia dan dua agen FBI lainnya kemudian menemukan Marliem di sebuah hotel dekat Bandara Internasional Los Angeles, di mana dia setuju untuk berbicara.

Holden mengatakan, Marliem menegaskan bahwa dia telah terlibat dalam skema penyuapan, namun membantah bahwa dia telah menggunakan uang yang dia terima untuk membayar suap.

“Tapi ketika ditekan mengapa dia mengatur pembayaran secara tunai dan apa yang dia lakukan dengan uang tunai itu, akhirnya dia menjelaskan secara mendadak bahwa dia diinstruksikan oleh seseorang untuk membayar USD 1 juta ke salah satu perusahaan yang tidak mendapatkan kontrak e-KTP,” jelas Holden.

“Saat ditanyai untuk keterangan lebih lanjut dan mengapa dia melakukan ini, satu-satunya penjelasannya adalah bagaimana keadaan di Indonesia,” tambahnya.

Dalam kasus e-KTP, KPK sempat menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka. Namun, penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar itu dinyatakan tidak sah setelah ia memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK.

Dalam kapasitas Setya Novanto ini, ada sejumlah pasal yang bisa dikenakan apabila benar dia menerima jam senilai USD 135 ribu atau setara Rp1,8 miliar tersebut.

Jika pemberian tersebut merupakan tanda terima kasih, berarti Setnov bisa dikenakan Pasal 11 UU Tipikor tentang penyuapan terhadap penyelenggara negara. Namun, jika pemberian itu sudah dijanjikan sejak awal, dia bisa dijerat dengan Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor.

Pewarta: Richard Andhika
Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version