Jangan Pernah Meninggalkan Seorang Perempuan Dalam Kesepian
Perempuan adalah kota yang sepi, tetapi tidak mati. Ia memiliki banyak persimpangan, mobil tua yang kadang terparkir rapi, tidak jarang pula sembarangan di sudut-sudut jalan. Gedung-gedung yang menjulur tinggi, pemukiman, jalan yang lengang, lampu merah hijau di perempatan, sangat sepi. Namun tidak mati. Dia hanya menunggu, seseorang tinggal di dalamnya. Maka jangan heran, aku seringkali berpesan pada Watson: jangan pernah meninggalkan seorang perempuan dalam kesepian.
Namun watson menganggapnya sebagai angin lalu. Pekerjaan seringkali menuntutnya untuk bepergian keluar kota, menjelajahi banyak negara, bahkan membuatnya kesulitan mencari waktu untuk keluarga. Tidak gampang memang mengatur jadwal sarapan pagi bersama anak dan istri sedangkan di ponselmu belasan panggilan tak dijawab.
Watson memilih pekerjaan ini lantaran impiannya sejak remaja. Watson remaja sangat suka memecahkan teka-teki, menebak-nebak pembunuh dalam film misteri, hingga mengungkap beberapa masalah yang dianggap tidak wajar oleh gurunya di sekolah. Watson kerapkali mencuri waktu tidur malam untuk ikut ayahnya menjelajah kota. Tentu saja Ibunya tak tahu kala itu. Dengan berbekal nilai A di pelajaran matematika dan segudang prestasi olahraga, Watson remaja akhirnya mendapat izin ketika meminta ikut bertugas dengan ayah, meskipun masih di dalam kota.
Namun, Natal kali ini bukan menjadi waktu yang baik bagi Watson. Sebuah kasus pembunuhan berantai memaksanya harus meninggalkan keluarga dua hari sebelum perayaan natal. Senja yang basah di Pemakaman Baker Street.
“Pembunuhan hanya berselang dua hari pasca meninggalnya Tuan Modric.” Ucap John.
“Data olah TKP?”
“Sudah saya dapatkan.”
***
Natal yang kelam bagi keluarga Ny. Hudson. Setelah suaminya meninggal, dua pekan kemudian, dua putrinya dibunuh secara beruntun. Pembunuhannya pun melakukannya dengan cara yang sama. Yang pertama Emily—anak sulungnya, mati dibunuh dengan keadaan kehabisan oksigen di dalam lemari, sepekan pasca pemakaman ayahnya. Lehernya dijerat tali yang begitu kencang. Tidak berbeda dengan Emily, sepekan setelah pemakamannya, Rose mati dijerat lehernya pula, di dalam kamar.
Tiga ritual pemakaman sebelum lonceng natal dibunyikan. Kini rumah Ny. Hudson dikawal oleh petugas kepolisian. Dua putrinya dijaga ketat. Tiga kelompok detektif berkali-kali secara bergantian mendatangi rumah itu, dalam sepekan. Natal yang kelam di sisa usia Ny. Hudson.
Tiga hari setelah natal, rumah itu masih ramai. Polisi dan detektif masih bersiaga lantaran mengantisipasi dua pola pembunuhan sebelumnya. Orang-orang mulai dibatasi datang ke rumah itu. Awalnya wartawan di tahan, selanjutnya setiap tamu yang datang wajib lapor pada polisi yang berjaga. Hingga pada akhirnya, jam malam pun mulai diberlakukan di rumah itu. Hal ini merupakan permintaan Ny. Hudson untuk menjaga yang tersisa di keluarganya.
Tujuh orang masih terus diinterogasi secara bergantian. Mereka adalah orang-orang terdekat korban. Yang pertama Brian, kekasih Emily yang diduga sedang bertengkar sebelum kejadian itu terjadi. Kedua Anne dan Eliza, mereka adalah sahabat terdekat Rose. Eliza menjadi orang yang paling dicurigai, lantaran dia kerapkali berselisih paham dengan Emily yang dalam kasus sebelumnya merebut Brian, mantan kekasih Eliza. Yang ketiga Jerry, kerabat jauh Ny. Hudson yang akhir-akhir ini seringkali datang ke rumah. Jerry dicurigai lantaran memiliki masalah dengan Tuan Modric. Mereka kakak beradik yang tidak pernah akur. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa Jerry masih sakit hati terkait pembagian warisan di keluarganya. Yang terakhir Ny. Hudson, dan dua putrinya yang masih hidup—Heather dan Betty.
Betty remaja yang pendiam di keluarga. Nampak sekali, gadis itulah yang paling terpukul atas kematian dua kakaknya. Kekecewaan Betty tak bisa disembunyikan, setiap sore gadis itu secara rutin mengunjungi pemakaman Baker Street.
***
Hari-hari setelah perayaan natal.
Rumah Ny. Hudson masih dijaga ketat. Ny. Hudson dan kedua putrinya selalu mendapatkan pengawalan ke manapun mereka pergi. Namun dongeng kesedihan ini belum juga berakhir. Sore itu, Charter House School dihebohkan dengan penemuan mayat Heather, putri Ny. Hudson. Heather ditemukan tewas di kamar mandi sekolah. Tubuhnya berlumuran darah yang berasal dari luka tusuk benda tajam yang begitu tipis di pinggangnya. Dua pengawalnya meradang, mereka tidak menyangka Heather akan mati di kamar mandi sekolah yang mereka jaga sebelumnya. Olah TKP menjadi badai pertanyaan di sana. Lantaran, hari itu, tidak ada yang berinteraksi langsung dengan Heather. Timbul dugaan Heather bunuh diri dengan cara yang menyakitkan—membiarkan tubuhnya kehabisan darah.
Jumat sore yang basah dan ritual pemakaman keempat dalam waktu kurang dari dua bulan—tepat satu minggu setelah Rose dimakamkan.
Prosesi pemakaman berlangsung khidmat. Tiga kelompok detektif dan puluhan aparat kepolisian menjaga lokasi pemakaman. Jumat itu, ladang pertanyaan yang selama ini tumbuh subur, mulai membuahkan hasil.
“Mungkin Kau takkan percaya padaku Watson.” John berbisik di tengah prosesi pemakaman.
Dua lelaki itu menyingkir dari area makam Heather. Mereka nampak serius berdiskusi.
“Yang benar saja, John?”
“Aku juga tidak percaya dan tidak akan curiga jika tidak melihat data olah TKP. Lihatlah ini.” John menyerahkan dokumen berita acara pemakaman yang di salin dari petugas kepolisian.
“Lelaki berpayung hitam di seberang jalan itu juga datang di tiga pemakaman keluarga Ny. Hudson. Awalnya aku tidak curiga dan menganggapnya sebagai kebetulan. Namun apakah ada, kebetulan yang datang secara empat kali berurutan?” John mengernyitkan dahi, memaksa Watson sepakat dengan argumennya.
Lelaki berpayung hitam dengan pakaian serba hitam itu selalu ada di pemakaman keluarga Ny. Hudson. Namun ada yang ganjil lantaran lelaki itu hanya berdiri diam di seberang jalan pemakaman Baker Street. Wajahnya nampak asing bagi mereka berdua. Lelaki itu tidak ada dalam data kerabat atau orang terdekat korban.
“Kita perlu menginterogasinya!” Watson pergi menghampiri lekaki itu.
***
Sepekan setelah tahun baru, kasus itu selesai.
Senja pulang dengan malu-malu, Watson dan Istrinya menghangatkan sudut teras rumah. Mereka berusaha menebus rindu yang dicekal oleh kasus berdarah itu.
“Kau pasti tidak akan percaya, siapa tersangka dalam kasus pembunuhan berantai itu.” Ucap Watson sambil meletakkan cangkir kopinya di meja. Namun istrinya hanya diam, sambil mengupas mangga.
“Ayolah… Tidakkah kau penasaran dengan kasus yang membuatku tidak membersamaimu di natal dan tahun baru ini?”
“Ehm… ” agak lama perempuan itu mengeryitkan dahi.
“Menyerah?”
“Tidak.”
Watson tersenyum mengejek isi kepala perempuan yang dicintainya.
“Menyerahlah saja.”
“Baiklah, aku tak yakin juga dengan jawabanku.” Istrinya menyerah dan menyunggingkan senyum di bibir Watson.
“Oke! Begini ceritanya……….”
“Awalnya aku tidak percaya dengan argumen John yang menuduh lelaki berpayung hitam itu sebagai pembunuhnya. Sehari setelah pemakaman Heather, aku dan John mendatangi alamat lelaki itu, dengan harapan menemukan jalan terang. Namun tahukah kamu, lelaki berpayung hitam itu adalah lelaki yang malang.”
“Ehem?” perempuan itu menampakkan wajah polosnya, seakan berpura-pura tak percaya.
“Iya. Dia adalah lelaki yang malang. Setiap Jumat dia datang di pemakaman lantaran di hari Jumat dua tahun sebelumnya, kekasihnya mati, bunuh diri. Lelaki yang baru kutahu juga sebelumnya berprofesi sebagai pilot sebuah maskapai penerbangan itu, datang setiap Jumat di sisa usianya untuk mengekalkan ingatannya dengan perempuan yang dicintainya.” Watson berhenti sejenak menunggu reaksi istrinya.
“Kekasihnya adalah perempuan yang malang.” Jawab istrinya sekenanya.
“Lalu kau tahu, siapa dalang pembunuhan itu?” ucap Watson pada istrinya yang menggeleng ragu.
“Di hari keempat pasca pemakaman Heather, Ny. Hudson yang sudah nampak sangat depresi meminta agar petugas melonggarkan segala penjagaan di keluarganya. Mereka berdua—Ny. Hudson dan Betty, berniat pindah rumah.” Watson menghentikan cerita, sambil meminum secangkir kopinya.
“Nampaknya, Aku mulai tahu adegan selanjutnya.” Istrinya menyunggingkan senyum.
“Aku tak yakin kau menduga dengan tepat, sayang. Inilah yang membuatku tercengang sore itu, di hari keenam pasca pemakaman Heather. Aku dan John yang datang untuk berpamitan dan meminta maaf lantaran kasus ini terpaksa dihentikan atas permintaan Ny.Hudson, sangat kaget mendapati teriakan di dalam rumahnya. Kami bergegas memaksa masuk dengan mendobrak pintu dan berhasil menggagalkan percobaan pembunuhan Ny. Hudson oleh Betty anaknya sendiri!” Watson melotot heran, namun perempuan di sebelahnya terlihat tersenyum.
“Kau tentu takkan percaya sayang. Kami menginterogasi Betty dan mendapati, gadis pendiam itu adalah tersangka dari pembunuhan atas ketiga saudaranya!”
“Terus?” istrinya nampak santai menanggapinya.
“Ya tentu saja kau pasti takkan mengira, Betty membunuh ketiga saudaranya demi sebuah pertemuan dengan lelaki berpayung hitam yang rutin datang di hari Jumat itu.” Suara Watson melirih, merasa kalah, lantaran tak ada raut keheranan di wajah istrinya. Istrinya hanya tersenyum simpul.
“Betty adalah perempuan yang malang ya? Sama halnya kekasih lelaki berpayung hitam itu.” Ucap istrinya sambil memberikan sepiring mangga yang telah selesai dikupasnya.
“Iya si, namun tidakkah kau heran dengan motif Betty?”
“Tidak sama sekali.” Istrinya menggelang dan tersenyum puas.
Percakapan mereka selanjutnya tampak kaku. Lantaran Watson merasa tak menyuguhkan cerita menarik di sore itu.
“Eh.. Ngomong-ngomong¬ Steve dan Peter mana?” Watson bertanya perihal buah hatinya, sambil memakan buah mangga.
“Ada di dalam, sedang menonton TV.” Ucap istrinya.
Agak lama mereka terdiam kemudian.
Namun, wajah Watson seketika berubah, ada sedikit cemas di rautnya. Kemudian dia diam. Berpikir agak lama, sambil memakan buah mangga itu pelan-pelan. Melirik istrinya lalu melirik pisau yang telah digunakan untuk mengupas mangga. Watson melihat sedikit bercak darah di ujungnya. Watson melotot, dan segera berlari ke dalam rumah lantaran hanya ada suara TV yang menyala dan ada rasa anyir darah di buah mangganya.
***
Perempuan adalah kota yang sepi, tetapi tidak mati. Ia memiliki banyak persimpangan, mobil tua yang kadang terparkir rapi, tidak jarang pula sembarangan di sudut-sudut jalan. Gedung-gedung yang menjulur tinggi, pemukiman, jalan yang lengang, lampu merah hijau di perempatan, sangat sepi. Namun tidak mati. Dia hanya menunggu, seseorang tinggal di dalamnya. Maka jangan heran, jika aku berpesan padamu: jangan pernah meninggalkan seorang perempuan dalam kesepian.
***
Penulis: Sapta Arif NW, Aktivis Pramuka yang menyukai pepuisi, cerita-cerita dan diskusi hingga pagi. Baru saja menjuarai Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru kategori Cerita Pendek. Pernah aktif sebagai Ketua Gerakan Menulis Buku Indonesia, kini aktif di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo. Dapat dihubungi melalui: surel: saptawnd@gmail.com. IG: @saptaarif; twitter: @saptaarifnw; FB: Sapta Arif.