NUSANTARANEWS.CO – Majalah Sastra Horison merayakan ulang tahunnya yang ke-50 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marsuki (TIM), Selasa, (26/7/2016) kemarin. Dalam usianya yang ke-50, Horison kini merupakan majalah sastra tertua di Indonesia. Pimpinan Redaksi Majalah Sastra Horison Jamal D.Rahman menyampaikan Horison terbit pertama kali pada Juli 1966.
“Sejak itu, Horison mendorong lahirnya karya kreatif dan pemikiran di bidang sastra-budaya. Berbagai karya kreatif pun terbit di majalah Horison. Hasilnya adalah munculnya percobaan-percobaan kreatif di bidang sastra dan pemikiran segar di bidang kebudayaan dari para sastrawan, kritikus, dan pemikir kebudayaan,” kata Jamal dalam sambutannya.
Menurut penyair kelahiran Sumenep Madura ini, dalam 50 tahun perjalanannya, secara garis besar sejarah Horison dapat dibagi menjadi dua babak.
(Baca : 50 Tahun Majalah Sastra Horison Dirayakan Penuh Romatisme Masa Lalu)
“Babak pertama adalah masa pembentukan dirinya sebagai majalah sastra, dengan semangat yang dicanangkan sejak awal berdirinya yakni sastra adalah arena untuk memperjuangkan nilai-nilai demokratis, kemerdekaan manusia, dan martabat manusia. Semangat itu dikatakan Mochtar Lubis, salah satu pendiri majalah ini, dan termaktub dalam Horison edisi perdana, Juli 1966,” terangnya.
Selain mengandung nilai semangat, lanjut Jamal, dalam tulisan tersebut, Mochtar Lubis juga berharap besar Horison menjadi pendorong adanya kegiatan-kegiaran kreatif dan pemikiran-pemikiran kreatif yang penuh kebebasan dan nilai-nilai konstruktif.
“Sudah tentu Horisan berusaha mewujudkan harapan itu atas dasar semangat yang melandasinya. Maka, para penulis berlomba-lomba untuk mengumumkan karya mereka di sini. Terutama para sastrawan dan kritikus yang muncul di tahun 1970-an dan 1980-an dapat dikatakan lahir dari majalah ini. Horison pun tampil seakan sebagai kiblat sastra Indonesia, suatu kehormatan namun juga -dilihat dari kemampuan Horison sendiri-merupakan tugas yang sangat berat. Itulah yang dicapai Horison dalam 30 tahun pertama usianya, yang mengukuhkan posisinya sebagai majalah sastra,” tegasnya.
Lebih jauh penulis antologi puisi “Garam-Garam Hujan” ini mengatakan bahwa pada tahun 1980-an itu, berbagai koran baik yang terbit di ibukota maupun di daerah membuka halaman sastra-budaya. Demikian juga beberapa majalah terutama yang terbit di Jakarta. Fenomena tersebut berlanjut pada dekade 1990-an.
(Baca juga: Taufiq Ismail: Horison Cetak Beralih ke Online Mulai Hari Ini)
“Secara relatif rutin mereka mengumumkan puisi, cerpen, esai, dan kritik. Memang, tidak semua halaman sastra-budaya baik di koran maupun di majalah itu bertahan lama. Mereka patah tumbuh hilang berganti. Tapi bagaimanapun, dengan munculnya halaman-halaman sastra-budaya tersebut, Horison telah berbagi tugas dengan media-media lain dalam menjalankan tugasnya mendorong daya-daya kreatif satra,” ujarnya.
Pada titik itulah, terang Jamal, sejak tahun 1996 sejarah Horison memasuki babak baru, yakni babak kedua. Dengan terus menjalankan tugas lamanya, yakni mendorong daya-daya kreatif sastra.
“Sejak 1996 majalah ini secara formal melakukan suatu gerakan budaya, yaitu menumbuhkan budaya membaca dan menulis, atau menanamkan cinta membaca dan suka menulis. Dalam bahasa kita sekarang: gerakan literasi. Sudah tentu gerakan ini dilakukan atas kesadaran tentang rendahnya budaya-baca masyarakat Indonesia dan bahayanya di masa depan. Gerakan tersebut dilakukan dengan sasaran utama dunia pendidikan di seluruh Indonesia, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi,” kata Jamal mengenang perjalanan Horison saat memasuki babak kedua menjalankan kerja-kerja kebudayaan.
Adapun sejumlah program-terencana yang diadakan dengan sasaran-sasaran khusus, seperti diterangkan melalui siaran pers adalah sebagai berikut: Pertama, Horison membuka sisipan Kakilangit sebagai bacaan siswa dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Di samping memperkenalkan sastrawan-sastrawan terkemuka, secara rutin sisipan ini memuat karya tulis siswa baik setingkat SMP maupun SMA. Dengan demikian, ia merupakan bacaan sekaligus tempat siswa mengumumkan karya tulis mereka.
Kedua, program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) untuk siswa dari SD sampai SMA. Ketiga, Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) untuk siswa setingkat SD dan SMP. Keempat, program Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM) untuk mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di beberapa universitas. Kelima, Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) untuk guru Bahasa dan Sastra Indonesia setingkat SMA. Keenam, Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) untuk guru Bahasa dan Sastra Indonesia setingkat SMA. Ketujuh, program Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) untuk guru Bahasa dan Sastra Indonesia setingkat SMA. Kedelapan, pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) untuk guru SD, SMP, SMA. Kesembilan, membentuk sanggar sastra di beberapa daerah, berbasiskan siswa (di sekolah) dan remaja (di luar sekolah).
Yang tak kalah penting, tegasnya, majalah Horison dan berbagai buku dipasok untuk sanggar, perpustakaan sekolah, dan peserta semua program. Di antara buku yang secara cuma-cuma diseumbangkan ke perpustakaan-perpustkaan sekolah adalah 4 jilid buku Horison Sastra Indonesia dan 2 jilid huku Horison Esai Indonesia. Sedari awal disadari bahwa masalah utama rendahnya budaya-baca adalah tidak tersedianya bahan bacaan di mana-mana.
“Dalam 30 tahun pertama usianya, Horison membentuk dirinya sebagai arena munculnya karya-karya kreatif dan pemikiran segar di bidang sastra-budaya. Dan dalam 20 tahun terakhir usianya, Horison juga mendedikasikan diri bagi dunia pendidikan dalam gerakan literasi,” pungkasnya. (Sulaiman)