Ini Hasil Survei CSIS dan Losta Institut Soal Kekerasan Agama di Solo Raya

Ilustrasi kekerasan
Ilustrasi kekerasan. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Inilah hasil survei CSIS dan Losta Institut soal kekerasan agama di Solo Raya. Center For Strategis and Internasional Studies (CSIS) dan Losta Institut menyelenggarakan Paparan Studi hasil survei bertajuk Tindak Kekerasan dan Non-Kekerasan Ekstrem Berbasis Agama: Studi 3 Daerah Solo Raya di Hotel Grand Mercure Yogyakarta, Rabu (20/3).

Survei dilakukan pada 12-16 Februari 2019 dengan teknik multistage random sampling yang memakai 600 responden dan tersebar di Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, dengan margin of error 4 persen.

Untuk responden dibagi menjadi pedesaan-kota 40-60 persen, laki-laki dan perempuan 50-50 persen, dengan distribusi sample Surakarta 23,3 persen, Boyolali 43,3 persen, Sukoharjo 33,3 persen. Dan demografi agama 92 persen responden Islam, 8 persen beragama lain, serta tingkat pendapatan (ekonomi), jenjang pendidikan, pekerjaan hingga kedekatan dengan ormas keagamaan.

Metodologi yang dipakai untuk menentukan responden dengan cara pendekatan baru yaitu mengukur sesuai peristiwa yang terjadi, kemudian pengambilan data dilakukan oleh pewawancara sesuai dengan trening dan prosedur yang telah tetapkan lembaga.

Peritiswa yang diukur dalam pengenalan terhadap kekerasan dan non-kekerasan berbasis agama diantaranya ISIS, Bom WTS, Bom Sidoarjo dan Sweeping Tempat Hiburan saat Ramadan, sedangkan tindakan non-kekerasan Aksi Bela Islam 212.

Hasilnya, sikap responden terhadap peristiwa bom WTC 7,8 persen setuju dan mendukung motif, 79,3 persen tidak setuju. Bom Sidoarjo, 2,6 persen setuju motifnya, 89,9 persen tak setuju. Kemudian sweeping tempat hiburan malam saat Ramadan, 42,7 persen setuju motifnya, 51,8 persen tak setuju.

Aksi ISIS, 4,2 persen setuju motifnya, 90,1 persen tak setuju. Dan Aksi Bela Islam 212, 35,3 persen setuju motifnya, 51,7 persen tak setuju.

Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte mengungkapkan, indikasi kekerasan yang berlatar agama dipicu oleh persepsi masyarakat yang masih konservatif.

“Perlu adanya pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi terhadap isu keagamaan yang seringkali berindikasi pada kekerasan agama,” imbuhnya.

Philips melanjutkan, penegakan hukum lokal yang bertugas di wilayah harus bertindak cepat dan baik dalam menangani kasus-kasus kekerasan agama.

“Meskipun jumlahnya kecil bukan berarti tidak menghawatirkan, itu harus terus dipantau oleh penegak hukum lokal” ketanya.

Sementara itu, Muhammad Iqbal Ahnaf Center For Relegious And Sross Cultural dari Universitas Gajah Mada juga mengapresiasi hasil survei.

“Sebagian kalangan menganggap Solo Raya kawasan sumbu pendek, pertanyaan paling sering muncul adalah toleransi atau kekerasan. Ini lebih banyak kabar baiknya daripada kabar buruk” kelasnya

Memberikan optimisme dengan membentuk modal gerakan masyarakat yang lebih aktif dengan relasi keberagaman yang baik.

(eda/as)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version