Indonesia 1440 (9): Siapa Presiden 2019?!

kereta cepat, proyek kereta cepat, kereta jakarta-bandung, sri bintang pamungkas, proyek cina, proyek infrastruktur, nuantaranews
Sri Bintang Pamungkas. (Foto: NUSANTARANEWS.CO/Romadhon)

NUSANTARANEWS.CO – Ini cerita saya kepada teman-teman Guntur 49 tentang kejadian di tahun 2014.

Temanku dari sebuah partai Islam, doktor ekonomi lulusan Turki terus-menerus mengganggu saya dengan pikirannya, bahwa Jokowi adalah Satrio Piningit yang akan membebaskan Indonesia dari kerusakannya selama ini. Saya dengan tegas menolaknya. Tapi dia nekat, bahkan menyebut Jokowi sebagai Mesiah.

“Ah, percaya amat anda ini…! Islam gak mengenal pengkultusan macam begitu! Anda bisa salah!”

“Bisa saja dia kepilih…,” ucapku melanjutkan. “Tapi yang Satria Piningit itu Megawati. Di Jawa, hanya perempuan yang dipingit… Dan itu sudah lewat!”

Lalu aku jelaskan kepada kawan-kawan Guntur 49, apa yang pernah aku dengar tentang futurolog di jaman sebelum Majapahit, Baginda Raja Djajabaja yang menjadi Raja Kediri pada 1135-1157. Beliau menyebutkan ada tujuh Ksatria yang akan memimpin Nusantara dimulai dari Soekarno.

Lalu salahsatu ada yang bertanya:

“Jadi, Jokowi akhirnya menjadi Satria ke Tujuh… Sebutannya apa, Bang?!”

“Tadi sudah saya bilang, Satrio Pinandito, Ratu Tanpo Makuto…”

“Atinya?!”

“Artinya, seorang Bagawan yang muridnya banyak…”

“Pasti macam Durno yang bikin kerusakan, tuh!” ada saja yang nyolot. “Muridnya Cebong-cebong!”

“Bukan! Itu Petruk jadi Ratu…Yang mengatur dia para Mafia…!” suasana jadi semakin ramai.

“Lalu 2019 nanti bagaimana, Bang?!”

Saya menjawab dengan sebuah cerita sejarah pasca Kemerdekaan yang sudah saya ulang-ulang beberapa kali.

Jokowi ini adalah yang terakhir dari pikiran-pikiran Hindunya Djajabaja. Sesudah ini akan ada Era Baru Indonesia, mestinya Era Islam. Soekarno-Hatta dulu dipilih secara aklamasi dalam sidang PPKI 18 Agustus. Soekarno jatuh.

Lalu muncul Soeharto. Soeharto memanipulasi banyak hal dalam UUD45, sehingga bisa terpilih tujuh kali, lebih dari 30 tahun. Di masa itu pun Ulama-ulama MUI dijadikan obyek untuk mendukung Capres Soeharto. Yaitu lewat Doa Politik. Tapi akhirnya Soeharto jatuh juga!

Segala kebusukan Pilpres dimulai oleh Soeharto, termasuk Serangan Fajar dan segala bentuk money politics. Habibie juga mempermainkan KPU, sehingga, sehingga puluhan Partai Pembaharu menjadi partai-partai gurem. Yang memulai bagi-bagi duit kepada partai-partai itu Habibie juga. Habibie juga ingin terpilih dalam Pemilu 1999, Cawapresnya Wiranto. Tapi Habibie terganjal oleh Kasus Timor-Timur, sehingga mundur dari pencalonan.

Gus Dur terpilih oleh MPR dalam sebuah rekayasa juga, karena MPR tidak mau memilih Megawati yang perempuan. Yang menarik di sini, Mega dipilih tersendiri sebagai Wapres. Bukan satu paket dengan Gus Dur. Kebetulan Gus Dur tidak lama. Lalu digantikan Megawati.

Mulai Megawati itulah UU Partai Politik dan UU Pemilu dibuat menjadi sulit dengan berbagai. Macam persyaratan yang tidak masuk akal. Hanya orang-orang yang kaya raya saja yang bisa mendirikan partai politik. Di sinilah Oligarki Partai dimulai dalam praktek Pemilu. Kekuasaan berpindah tangan dari Daulat Rakyat ke Daulat Partai Politik dan Daulat Uang.

“Ini sungguh bertentangan dengan Pasal 28 UUD45!!” kataku di tengah-tengah ceritaku.

Orang-orang yang potential dan berkwalitas tersingkir dari Pemilu dan Pilpres. Apalagi dengan adanya Amandemen terhadap UUD 1945, Pemilihan dilakukan secara langsung. Di sinilah orang-orang Cina Mafia dengan dukungan para Taipan mulai masuk ranah Politik Pilpres.

Mega kalah dalam Pilpres 2004, naiklah SBY. UU Partai Politik dan Pemilu/Pilpres tambah dipersulit lagi. Sebagai orang militer yang dekat sekali dengan Pak Harto, SBY paham betul bagaimana memanipulasi suara. Dia menang dua periode.

Sementara itu, para Taipan sudah semakin siap untuk melancarkan aksinya untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Pelan-pelan tapi pasti, langkah-langkah para Taipan ini memanfaatkan terbukanya pintu Pasal 6A UUD 1945, hasil rekayasa sistimatik yang mereka bikin bersama Barat dan Amien Rais.

Mereka tidak mengira Ahok masuk lubang hasil kecongkakkannya sendiri. Tinggallah Jokowi sebagai Pion yang harus memainkan perannya yang canggih bersama RRC. Bersama inisiatif OBOR-nya untuk menginvasi NKRI.

“Jadi bagaimana dengan 2019, Bang?!” Rupanya ada yang tidak sabaran mendengar cerita saya. “Bowo menang, tidak?!”

“Ya, jadi begini…” Di sini aku bermaksud menjawab, tidak straight forward juga. Aku masih menghela nafas… karena tidak mudah menjawab. Bahkan aku tidak tahu jawabannya!

Era Jokowi memang sudah habis. Dia yang terakhir menurut Djajabaja. Tapi Djajabaja tidak pernah bilang, si Ksatria ini bakal 2 tahun, satu periode, dua periode, atau 30 tahun. Bisa saja Jokowi dua periode.

“Wah, sialan!” Ada yang tidak sabar lagi.

Untungnya ada Sultan dan Ulama Aceh di jaman 1500an sesudah Islam masuk, mestinya futurolog juga, yang memperjelas terjadinya perubahan besar di Nusantara pada 1440. Tentulah yang dimaksud adalah Tahun Hijriah. Ya, sekarang ini. Bahkan beliau berkata, tahun di mana Kuning dan Merah hancur. Tolong, anda-anda maknai sendiri apa artinya.

Tetapi yang masih menjadi pikiran saya, ini lembaran baru sejarah Indonesia sudah tinggal satu halaman lagi. Tetapi Model Pemilu dan Pilpresnya masih memakai Model Djajabaya. Apa cocok untuk kemenangan Bowo?!

Lalu yang penting lagi. Mahasiswa belum bergerak. Dalam sejarah Perubahan Rezim selama ini, mahasiswa selalu ikut menentukan. Bahkan mengawalinya dengan korban.

“Maksudnya seperti Trisakti?!”

“Benar!”

“Apa waktu Bung Karno juga begitu?!”

“Ya! Ada Zaenal Sakse, wartawan… Ada Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI… dan Ridwan Rais, seorang pelajar… Mereka menjadi Tumbal bagi Pergantian Rezim.”

“Apa nanti juga akan ada Korban?!”

“Mana saya tahu… Itu semua rekayasa Allah! Ilmunya Djajabaja dan Sultan Aceh itu juga dari Allah Swt… Kita doakan saja yang terbaik buat Indonesia!!”

“Amiiin, Amiiin, Amiiin, ya, Rob!!” jawab mereka serentak.

*Sri Bintang Pamungkas, Penulis Aktivis Senior

Exit mobile version