Impian Sang Penguasa, Sebuah Esai

otak udang, dungu, puisi, puisi-puisi, kumpulan puisi, an-naufil, nusantaranews
ILUSTRASI – Sang Penguasa. (Foto: Pixabay)

Impian Sang Penguasa, Sebuah Esai

Oleh: Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), Pengasuh Ponpes Riyadhul Fikar, Serang Banten

Al-Quran berkali-kali memperingatkan pentingnya sejarah para pendahulu, sebagai pijakan untuk melangkah ke masa depan. Sejarah masa lalu laiknya tangga-tangga kehidupan yang tersusun dengan rapi sesuai sunnatullah (hukum alam). Jika pihak penguasa menggelapkannya, atau melepas bagian-bagian tertentu dari anak tangga, maka suatu bangsa akan kesulitan untuk melangkah ke puncak-puncak tujuan yang ingin dicapainya.

Sudah lebih dari tujuhpuluh tahun bangsa ini merdeka, namun seakan kita masih bermimpi untuk mendapatkan pemimpin jujur dan adil yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat kepada kemakmuran dan kesejahteraan.

Sayidina Ali, sahabat dan menantu Rasulullah merefleksikan paparannya bahwa seorang pemimpin mesti bersatu dalam kalbunya antara suara rakyat dan suara Tuhan. Karena itu, sikap berkhianat kepada rakyat, sama saja dengan ingkar kepada Tuhannya, yang akan membawa rakyat pada penderitaan dan kesengsaraan hidup, baik secara jasmani dan rohani.

Pelayanan terbaik kepada rakyat mestinya jadi faktor utama yang selalu menjadi pusat konsentrasi mereka. Pola pikir (mindset) kebanyakan politisi kita yang menganggap jabatan sebagai tujuan, harus diubah seratus delapan puluh derajat, menjadi jabatan sebagai alat untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini bukan suatu ide dan gagasan baru, melainkan suatu konsep kepemimpinan yang sudah utuh dan matang. Tinggal kembali kepada sejarah 1.400 tahun yang lalu, ketika Rasulullah menyatakan bahwa pemimpin kalian adalah pelayan kalian.

Bila diibaratkan dalam ilmu fiqih, rakyat Indonesia di era reformasi ini seakan-akan sedang melakukan thaharah (pembersihan diri), namun air yang digunakannya adalah air musta’mal (kotor). Karena kesulitan mendapatkan air, masyarakat beramai-ramai melakukan tayammum.

Tapi rupanya mereka pun kesulitan mendapatkan debu yang benar-benar suci dari najis, baik najis mughaladzah (berat) maupun mutawasithah (menengah). Seandainya fokus utama pemimpin dalam mengambil keputusan adalah kehendak Tuhan dan rakyat, maka resonansi gelombang hidayah begitu kuat. Tapi jika pertimbangan utamanya adalah kolega, sponsor, konstituen dan kroni partai, tidak menutup kemungkinan akan jauh dari petunjuk Tuhan, karena mereka sendiri yang telah mengabaikannya.

Fenomena masyarakat kita pada umumnya belum beranjak dari hasrat dan nafsu duniawi yang menyelimutinya. Ketika ada pemilihan pemimpin atau ketua organisasi apapun, di mana pada posisi itu terdapat nilai materi seperti fasilitas dan gaji tinggi, masyarakat kita cenderung berebut untuk menduduki posisi jabatan. Bukan hanya melakukan praktik kecurangan seperti money politic kepada para calon pemilih, melainkan juga melakukan penyuapan kepada pihak-pihak yang seharusnya mengawasi jalannya pemilihan tersebut.

Saat ini, kita melihat berbagai fakta di hampir setiap lini lembaga, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat yang sama-sama terjangkit virus hubuddunya (cinta dunia), hingga nekat saling sikut kiri-kanan untuk memperebutkan posisi tertinggi. Begitupun di tingkat perusahaan, baik BUMN maupun swasta, di samping memperebutkan posisi manajer dan direktur, sesama pekerja dan karyawan saling sibuk jegal sana-sini agar memperoleh promosi jabatan.

Jika Rasulullah sekitar 1.400 tahun lalu pernah bersabda bahwa setiap diri kita adalah pemimpin, secara logika bangsa ini – yang mayoritas umat Islam – mestinya tidak kebingungan untuk menentukan siapakah yang pantas menjadi pemimpin. Inilah problem krusial yang sedang dihadapi bangsa ini, yang juga menjadi kritikan tajam bagi kita semua, apakah diri kita ini ternyata tidak layak menjadi pemimpin, hingga seringkali terseret arus dalam labirin kegelapan ciptaan diri kita sendiri.

Lalu, bagaimana cara mendidik generasi muda kita agar mengenali karakter keadilan dan keteladanan seorang pemimpin? Jawabannya tak lain, bahwa kita harus berani memulai dari diri kita sendiri. Karena pada prinsipnya, perubahan adalah klise dan semu jika kita menuntut pihak lain tanpa mau mengawali dari perubahan diri. Perubahan juga tidak punya ruh dan energi jika tidak dimulai dari kesadaran diri untuk memancarkan energi kepada pihak lain. Jika kita konsisten memulai dari hal-hal kecil, dari diri sendiri, dan dari saat ini juga, niscaya apa yang kita lakukan akan berdampak positif dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita.

Terkait dengan ini, Sayidina Ali pernah menawarkan konsep ibda’ binafsika yang maksudnya tak ada perubahan kecuali dari diri sendiri. Tak ada perubahan yang terjadi secara makro, tanpa adanya kesadaran untuk memulai perubahan secara mikro. Hal ini mengingatkan kita pada hikmah tentang kisah seorang raja yang menyesali dirinya karena tidak sanggup mengubah dunia yang menjadi obsesinya sejak usia muda.

Kini, di usianya yang sudah senja dan rambut memutih, dengan tatapan menerawang, penguasa itu akhirnya berkata di hadapan seluruh keluarga besarnya di pembaringan:

“Sewaktu aku muda dulu, aku ingin sekali mengubah dunia. Tapi aku membayangkan betapa sulitnya mengubah dunia, hingga aku putuskan untuk mengubah negeriku saja. Setelah aku menyadari betapa sulitnya mengubah negeriku, aku pun memutuskan untuk mengubah kotaku saja. Lambat laun, aku menyadari betapa sulitnya mengubah sebuah kota hingga aku putuskan untuk mengubah keluargaku saja. Tak terasa umurku sudah menua, dan rasanya aku pun tak sanggup untuk mengubah keluargaku, hingga sampai pada keputusan bahwa aku hanya sanggup untuk mengubah diriku saja…”

Ia diam sejenak. Dengan pandangan penuh harap dan cemas, sang penguasa akhirnya menutup pembicaraannya: “Seandainya aku mau memulai dengan mengubah diriku sejak usia muda, tentu aku akan sanggup mengubah keluargaku, kotaku, negeriku, hingga pada akhirnya aku pun mampu mengubah seluruh dunia….”

Exit mobile version