Hukum Produk Asing Menjadi Alat Cultural Genocide Terhadap Masyarakat Adat

Perjuangan Warga mempertahankan Tanah Adat demi tegaknya Hukum Adat. Foto: Dok. Istimewa

Perjuangan Warga mempertahankan Tanah Adat demi tegaknya Hukum Adat. Foto: Dok. Istimewa

NusantaraNews.co, Jakarta – Guru Besar Anhropologi Hukum Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto secara khusus melakukan refleksi terhadap kasus Cigugur-Sunda Wiwitan. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Kamis, 24 Agustus 2017 telah sempat terjadi kericuhan antara warga dengan petugas satpol pp.

Sebermula, warga melakukan aksi penolakan terhadap eksekusi tanah adat Sunda Wiwitan di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat seluas kurang lebih 224 meter persegi. Dalam aksi penolakan tersebut, warga didukung oleh sejumlah elemen masyarakat.

Aksipun ricuh karena ada provokasi saat ibu-ibu warga yang menyanyikan lagu kebangsaan sempat saling dorong sambil menangis dengan polwan. Akhirnya, Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan menyatakan eksekusi gagal.

Warga Sunda Wiwitan Menolak tunduk pada Negara, demi mempertahnkan tanah Adat dan tegaknya hukum adat. Foto: Dok. CNN

Terlepas dari kericuhan tersebut, Prof Sulistyowati ingin menyatakan bahwa, jika tanah adat tersebut sudah dieksekusi, maka secara perlahan tetapi pasti masyakarakat adat, apalagi yang berkelindan dengan kedudukannya sebagai komunitas agama penghayat, semakin tersingkir dari tanah leluhurnya sendiri.

Putusan hakim di pengadilan, ungkap Prof Sulistyowati, banyak mengalahkan masyarakat adat (kasus Cigugur, Sunda Wiwitan), bahkan masyarakat adat yang sudah dimenangkan Mahkamah Agung-pun tidak dapat mengambil kembali kehilangan sumberdaya alamnya (Sedulur Sikep-Kendeng).

“Dampaknya sangat luas, masyarakat adat semakin kehilangan ruang hidupnya, dan proses pemiskinan terhadap kaum perempuannya. Di antaranya ada yang terlempar sebagai buruh migran perempuan (Kasus TKW Indonesia yang dihukum 18 tahun di Singapore adalah salah seorang warga Kendeng),” katanya seperti dikutip dari catatan reflektifnya berjudul: Cultural Genocide terhadap masyarakat adat melalui hukum.

Menurut dia, awal masuknya adalah melalui kasus yang nampaknya privat, kasus perdata, soal waris, “hanya” dipersoalkan oleh sekelompok orang dalam jumlah kecil. Ini struktur, image, yang sedang dibangun. “Namun, perlahan tetapi pasti perampasan tanah akan menjadi fenomena yang menjadi masif, meluas, dan akhirnya menuju kepunahan masyarakat adat,” tegasnya.

Warga Sunda Wiwitan Menolak tunduk pada Negara, demi mempertahnkan tanah Adat dan tegaknya hukum adat. Foto: Dok. CNN

Adapun caranya melakukannya, kata dia, tentu secara sistematis, “cantik”, “tak kelihatan”, “prosedural hukum”, tetapi sebenarnya adalah kolaborasi kekuatan politik (termasuk elit daerah), ekonomi (pemodal besar) (dan kelompok intoleran), yang sedang berusaha mengambil alih  sumberdaya alam masyarakat adat (tanah dan mineral).

“Tahukah bahwa masyarakat adat adalah pemangku tanah Nusantara, yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk 17 Agustus 1945.  Hukum adat sudah lebih dahulu ada sebelum ada hukum negara. Hukum adat sangat dihormati oleh para pendiri bangsa ini dan para Meester in de Rechten di masa awal awal kemerdekaan,” ungka Prof Sulistyowati mengingatkan kita pada sejarah.

“Esensi ke-Indonesian, NKRI, yang adalah unifikasi dari nasion-nasion kecil, yaitu masyarakat adat (Harsya Bachtiar, 1976),” imbuhnya.

Warga Sunda Wiwitan Menolak tunduk pada Negara, demi mempertahnkan tanah Adat dan tegaknya hukum adat. Foto: Dok. CNN

Prof Sulistyowati menambahkan, masyarakat adat adalah masyarakat komunal, eksistensi mereka hidup adalah tanah dan sumber daya alamnya. Bila SDA hilang, eksistensi masyarakat adat pun punah. Itu sebabnya mereka tidak mengenal hukum waris (seperti Perdata Barat), yang membagi tanah untuk keperluan individu. Tanah dikelola bersama secara komunal untuk kepentingan bersama.

“Mengapa para penegak hukum, hakim, yang mengadili kasus-kasus tanah adat tidak memiliki pengetahuan tentang masyarakat adat dan hukum adatnya sendiri?,” katanya tegas bertanya.

“Mengapa para birokrat teralineasi dari ibu Bumi Nusantaranya sendiri? Dan lebih sakit lagi, bila para ilmuwan sosial dan humaniora, tidak memiliki pengetahuan tentang ini semua dan keluar dengan klaim-klaim sumir-nya?,” tandas Guru Besar Anhropologi Hukum UI itu.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version