Harga Solar Tak Kunjung Turun, Menteri ESDM dan Dirut Pertamina Layak Dipecat

Harga solar tak kunjung turun, Menteri ESDM dan dirut Pertamina layak dipecat.
Harga solar tak kunjung turun, Menteri ESDM dan dirut Pertamina layak dipecat. Bambang Haryo, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim, Rabu (3/6).

NUSANTARANEWS.CO, Surabaya – Harga solar tak kunjung turun, Menteri ESDM dan dirut Pertamina layak dipecat. Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim Bambang Haryo menilai Menteri ESDM dan Dirut Pertamina layak untuk dicopot karena kedua orang tersebut menjadi penyebab tingginya harga solar di Indonesia yang berlaku saat ini.

Dibeberkan oleh Bambang Haryo, harga minyak dunia yang turun tajam sejak awal tahun ini seharusnya segera direspons oleh pemerintah dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), terutama solar, guna meringankan beban rakyat di tengah pandemi Covid-19.

Namun hingga kini pemerintah tidak menggubris tuntutan transparansi harga solar. Padahal, penurunan harga solar bisa menjadi solusi untuk menggerakkan ekonomi secara mandiri, sehingga pemerintah tidak perlu mencari pinjaman asing untuk membiayai pemulihan ekonomi.

“Penurunan harga solar bisa menjadi insentif bagi sektor-sektor usaha yang terpukul akibat wabah corona, seperti industri manufaktur, transportasi publik dan logistik, maritim, perikanan, UMKM, serta pembangkit PLN agar tarif listrik lebih murah. Kalau sektor-sektor ini tetap hidup, PHK massal dapat dicegah dan ekonomi akan bergerak,” kata pria yang juga anggota Komisi VI DPR RI periode 2014-2019 dari Fraksi Gerindra, Rabu (3/6).

Menurut politisi Gerindra ini, multiplier effect solar sangat besar bagi perekonomian sebab mempengaruhi biaya operasional semua sektor usaha. “Sebagai contoh, 70%-80% biaya operasional transportasi logistik di Indonesia untuk pembelian solar. Jika harga solar turun, ongkos angkut tentu turun sehingga harga barang menjadi lebih murah, daya beli masyarakat pun meningkat,” katanya.

Bambang menilai pemerintah kurang sensitif terhadap kesulitan pelaku usaha dan masyarakat karena membiarkan PT Pertamina (Persero) menjual solar lebih mahal dari seharusnya, bahkan jauh di atas harga di negara tetangga seperti Singapura.

Menurut Bambang Haryo, alasan Pertamina tidak menurunkan harga BBM karena membeli minyak mentah dari dalam negeri merupakan pembohongan publik. Sebab, BUMN itu selama ini justru mengimpor BBM yang sudah diolah untuk dijual di pasar domestik, termasuk mengimpor minyak mentah.

Kekhawatiran Pertamina bahwa industri hulu migas akan gulung tikar jika harga BBM diturunkan juga tidak beralasan. “Industri migas tidak akan terpengaruh karena umumnya ekspor, sehingga tidak bakal terjadi PHK massal seperti yang sudah dialami sektor-sektor lain,” ungkapnya.

Akibat menjual solar lebih mahal, lanjut Bambang, Pertamina justru mempersulit bisnisnya sendiri. Kilang Pertamina overload karena permintaan dalam negeri merosot, sementara supplier solar tidak lagi membeli dari Pertamina karena lebih murah impor langsung dari Singapura. “Pertamina harusnya bisa bersaing dari negara lain untuk bisa jual lebih murah atau sesuai dengan harga pasar dunia,” ujarnya.

Dia meminta pemerintah tidak mengorbankan dunia usaha dalam negeri hanya untuk menyelamatkan Pertamina. “Di negara ini ada sekitar 60 juta unit UMKM dan lebih dari 250.000 perusahaan besar menengah dengan jumlah pekerja 100 jutaan orang. Daripada mengorbankan mereka, lebih baik tutup saja Pertamina dan serahkan ke pengusaha yang mampu menjual BBM dengan harga transparan,” tegasnya.

Bambang Haryo berharap Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinilai tidak mampu mengendalikan mafia migas sehingga harga BBM mahal dari seharusnya.

Dia juga meminta Menteri BUMN Erick Tohir mengganti Dirut Pertamina karena dianggap gagal melakukan efisiensi, sehingga mengorbankan masyarakat dengan menjual solar mahal. “Saya mengapresiasi respons Menkeu Sri Mulyani yang akan menurunkan harga BBM, terutama solar, demi pertumbuhan ekonomi. Kita tunggu realisasinya,” ujarnya.

Berkaca ke belakang, tutur Bambang, Pertamina pernah menghadapi penurunan tajam harga minyak dunia pada 2016 sehingga pendapatannya merosot hingga 200%. Namun, Dwi Soetjipto yang memimpin Pertamina saat itu berhasil mendongkrak laba perseroan hingga 300% menjadi Rp40 triliun melalui efisiensi.

Pada 2015, total efisiensi yang berhasil dilakukan Pertamina dalam kegiatan operasional mencapai US$800 juta. Efisiensi meningkat tiga kali lipat menjadi US$2,8 miliar pada 2016. “Ini luar biasa, sehingga saya kira Dwi Soetjipto layak menjadi Menteri ESDM yang tidak tunduk pada Pertamina,” ungkapnya.

Pemerintahan Jokowi juga bisa belajar dari pengalaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menghadapi lonjakan harga minyak dunia hingga US$160 per barel pada tahun 2012. Saat itu, solar subsidi dijual sekitar Rp4.500 per liter, sambungnya.

“Pemerintahan SBY mengalokasikan subsidi hingga Rp190 triliun agar harga BBM tetap terjangkau masyarakat. Langkah ini memberikan multiplier effect bagi mayoritas UMKM dan industri yang berdampak pada PDB senilai Rp12.000 triliun, ekonomi pun tumbuh di atas 6,5% dan kurs menguat di posisi Rp9.000 per dollar AS sehingga Indonesia keluar dari ancaman krisis dunia.”

Sekedar diketahui, berdasarkan data bunker-ex.com, bunker solar jenis MGO (HSD) di pelabuhan Singapura per 29 Mei 2020 tercatat USD298,5 per 1.200 liter atau sekitar Rp3.600 per liter (kurs Rp14.500 per dollar AS). Harga ini lebih rendah dari harga solar nonsubsidi (HSD) di Indonesia Rp7.300 per liter (per Mei 2020), juga lebih murah dari solar subsidi di Indonesia Rp5.150 per liter. (setya/ed. banyu)

Exit mobile version