Gagal Berdikari Ekonomi, Pakar Ekonomi: Nawacita Tak Selesaikan Masalah

Nawacita dan Trisakti Untuk Berdikari Ekonomi Gagal (Foto Ilustrasi)

Nawacita dan Trisakti Untuk Berdikari Ekonomi Gagal (Foto Ilustrasi)

Ilustrasi Kondisi Ekonomi Indonesia (Istimewa)
Ilustrasi Kondisi Ekonomi Indonesia. (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Selain Berdaulat Secara Politik dan Berkepribadian Dalam Kebudayaan, salah satu poin penting dalam visi-misi Nawacita Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang termuat di dalam agenda Trisakti 2014 silam adalah Mandiri atau Berdikari Ekonomi. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan, janji untuk mewujudkan kemandirian ekonomi atau berdikari ekonomi nyatanya gagal.

Mengenai kegagalan itu, menurut pakar ekonomi Indonesia, Ichsanuddin Noorsy, terdapat sejumlah indikator kuat sebagi bukti. Dirinya menjelaskan, dalam konteks berdikari ekonomi, maka ada 5 prinsip penting yang disebutnya 5 F.

Yakni yang pertama, Food (pangan). Kedua, Fuel (bahan bakar/energi). Ketiga, Financial (keuangan). Keempat, Forces of Law-Forces of Army (kekuatan hukum dan kekuatan militer). Dan kelima adalah Frekuensi.

 

Kelima-limanya ini menurut Noorsy bisa dijadikan tolak ukur sekaligus sebagai indikator dalam membaca gagal tidaknya sebuah kemandirian ekonomi suatu negara.

“Pertanyaannya, food, kita sudah jelas impor. Mati, kita tidak berdikari,” kata Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi publik bertajuk Membedah Isu-Isu Strategis Pada Debat Capres/Cawapres, Demi Kemajuan Bangsa, Selasa (26/2/2019) di Hotel Gran Alia, Cikini, Jakarta Pusat.

Kemudian Fuel (bahan bakar atau energi).  Terbukti Indonesia telah mengimpor Fuel mencapai 1,3 juta barel. Begitu pula dengan sektor Financial (keuangan), nilai tukar rupiah lemah dan pemerintah sendiri jor-joran dalam menerbitkan utang, sehingga berdampak pada resiko pasar naik.

Kemudian F yang keempat adalah Forces of Law dan Forces of Army. Noorsy mengungkapkan untuk Forces of Law atau penegakan hukum, terjadi fenomena tumpul ke atas, tajam ke bawah. Menurutnya dalam situasi seperti ini ada cidera rasa keadilan.

“Itu berarti ada tindakan yang tidak benar. Itu berarti ketemu dengan penerapan sikap intoleran,” ujarnya.

Sehingga dari sisi Forces of Law, ada gambaran ketidakbenaran. Dan ketidakbenaran itulah lanjut Noorsy yang kemudian melahirkan situasi berupa gangguan rasa keadilan. “Muncullah kata kata Saya Pancasila saya Bhineka,” terangnya.

“Lalu kalau kita lihat posisi kaya gini Forces of Law menjadi masalah,” ungkapnya.

Sementara itu mengenai Forces of Army. Noorsy menjelaskan, dalam konteks Laut Cina Selatan, Indonesia saat ini tidak berdaya. Begitu pula dalam konteks penguasaan udara, Indonesia juga tidak berdaya. Bahkan dalam konteks selat Makasar sampai dengan Papua pun, negara Indonesia disebutnya juga disebutnya tidak berdaya.

Selanjutnya untuk indikator yang terakhir yakni Frekuensi, menurut Noorsy Indonesia juga lemah. Ia menilai dalam domain kali ini disebut sebagai pertarungan yang seru.

“Anda bicara frekuensi di udara atau ada di aplikasi? Sama. Karena di darat, sekarang semua HP yang kita pakai sesungguhnya frekuensi dikuasai oleh luar.”

“Terjadi persaingan seru sejumlah milik asing untuk melawan Telkomsel. Ini menarik sungguhnya,” jelasnya.

Artinya lanjut dia, ketika Prabowo menyatakan kedaulatan swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, menurut Noorsy, memang posisi Indonesia saat ini seperti itu.

“Dan kemudian soal penegakan hukum, maka kelihatan bahwa Nawacita dan Trisakti tidak menyelesaikan masalah. Analisisnya kaya begitu,” tegas Noorsy.

Pewarta: Romandhon

Exit mobile version