Fenomena “Post Truth” di Pilkada Serentak 2024

Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Malam itu, Syukron duduk sendiri sambil merenungkan pernyataan Paul Joseph Goebbels, Menteri propaganda Nazi, yang berkata: “Ulangi kebohongan berkali-kali, dan orang-orang akan mempercayainya.”  Kata kata Joseph Goebbels ini, menurut Syukron, sepertinya benar adanya. Buktinya, viralnya di media sosial beragam berita palsu (hoaks), manipulasi informasi, dan retorika yang didasarkan pada emosi daripada fakta empiris, menjadi informasi yang seolah olah benar. Publik cenderung percaya pada narasi emosional tanpa fakta, dibanding memverifikasi kebenaran faktanya.
Oleh: Aslamuddin Lasawedy

 

Sebagai penasihat hukum salah satu kandidat peserta pilkada serentak 2024. Syukron sedang mengamati fakta seputar kebohongan kebobohongan buatan atau penyebaran hoaks dan disinformasi yang viral di media sosial. Banyak diantara berita hoaks yang beredar, sangat merugikan bahkan menyerang kandidat yang ia bela. Bila ada bukti kuat, maka sesegera mungkin tidak lewat tiga hari, syukron bersama tim hukum lainnya akan melaporkan secara resmi ke Bawaslu setempat.

Apa yang sedang diamati Syukron adalah fenomena politik yang mengarah pada “post truth” atau pasca kebenaran. Suatu fenomena dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran melalui penggunaan dan penyebaran informasi yang manipulatif. Sebuah situasi dimana fakta sering kali diabaikan bahkan diputarbalikkan demi tujuan politik tertentu. Pada titik ini, media sosial memainkan peran kunci memfasilitasi kondisi ini.

Frasa “Post Truth” atau pasca kebenaran mulai populer sejak tahun 1992. Saat majalah “The Nation” memuat artikel yang ditulis Steve Tesich dengan judul “The Government of Lies.”   Tesich menulis bahwa kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan hidup di dunia “post truth.” Tulisan ini mengungkapkan kegelisahan Tesich seputar propaganda negara-negara yang berseteru dalam perang teluk di awal tahun 90-an. Publik global bingung dengan segala propaganda perang teluk lantaran kebenaran dan kepalsuan informasi sulit dibedakan.

Tahun 2004, komedian Stephen Colber bersama Ralph Keyes, mempopulerkan istilah yang nyaris sama yaitu, “truthiness”, atau sesuatu yang seolah-olah benar, padahal sama sekali tidak benar.

Fenomena post truth terlihat jelas saat referendum Brexit digelar 23 Juni 2016. Hasil referendum 52% warga Inggris memilih untuk mengakhiri keanggotaan mereka di Uni Eropa, sementara 48% nya ingin tetap berada di zona euro. Nah, keputusan masyarakat Inggris untuk memilih keluar dari Uni Eropa (UE) di 2016 ini, mengejutkan dunia. Klaim kontroversial bahwa Inggris akan mendapatkan dana tambahan besar untuk layanan kesehatan jika keluar dari Uni Eropa sangat efektif mempengaruhi opini publik. Ternyata klaim tersebut tidak terbukti dan sangat menyesatkan.

Begitupun suasana pemilihan Presiden AS tahun 2016. Kampanye politik diwarnai dengan berita palsu dan disinformasi di media sosial yang mempengaruhi persepsi publik tentang para kandidat presiden. Para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi dan dibingungkan oleh berita ataupun opini yang beredar. Metode propaganda “firehouse of falsehood”nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang begitu fenomenal. Strategi ini menyebarkan secara massif informasi palsu dan disinformasi melalui berbagai platform media sosial. Tujuannya bukan untuk memberi informasi yang akurat, tapi untuk membingungkan dan mengalihkan perhatian publik. Pun menciptakan narasi yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.

Nah, fenomena post truth pada pilkada serentak 2024 mengacu pada situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih mempengaruhi opini publik daripada fakta objektif. Ini mengakibatkan terjadinya polarisasi di masyarakat dan memicu persebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Hal ini bisa kita saksikan saat oknum kandidat atau tim sukses menyebarkan informasi yang keliru atau hoaks untuk mempengaruhi persepsi pemilih. Isu sensitif seperti agama, suku, dan ideologi sering digunakan untuk memperkuat pengaruh terhadap sentimen emosional publik. Sejumlah tuduhan tak berdasar atau manipulasi fakta di viralkan di media sosial atau disebarkan lewat pesan berantai di WhatsApp, untuk menjatuhkan reputasi lawan politik.

Fenomena post truth mendorong penggunaan politik identitas untuk membangun narasi berbasis suku, agama, atau golongan tertentu. Sehingga kampanye yang dilakukan lebih fokus pada emosi dan persepsi ketimbang capaian nyata atau program konkrit yang diajukan kandidat.

Penggunaan Influencer, akun anonim, atau buzzer politik dilakukan untuk memperkuat citra kandidat. Isu isu kontroversial dan sensasional disebar untuk memanipulasi media sosial agar pesan emosional mempengaruhi persepsi pemilih. Kondisi post truth ini, menyebabkan menurunnya kepercayaan publik pada media tradisional. Masyarakat lebih memilih informasi dari media alternatif atau grup tertutup. Meski sumber tersebut sering tidak terverifikasi. Ini berpotensi memicu konflik dan memperkuat polarisasi politik.

Fenomena post truth ini berdampak pada pilkada serentak 2024. Masyarakat menjadi terpolarisasi. Pemilih terpecah pecah dalam kelompok-kelompok yang berseberangan, yang sulit menerima narasi berbeda. Akibatnya, pemilih lebih memilih berdasarkan emosi atau sentimen daripada pertimbangan rasional. Alhasil kandidat yang mampu memanfaatkan fenomena post truth dengan baik, cenderung lebih unggul dan berpotensi memenangkan pilkada. Meski tanpa visi atau program yang jelas.

Pada akhirnya, fenomena post truth ini melawan proses demokratisasi yang sehat dan mempertajam perpecahan antar kelompok kepentingan di masyarakat, karena manipulasi informasi semakin meluas sehingga mengikis kepercayaan publik terhadap pilkada yang jujur, adil dan bersih. Untuk itu perlu partisipasi aktif masyarakat, lembaga negara, dan media untuk mengurangi dampak negatif fenomena post truth di pilkada serentak 2024.

Terhadap fenomena post truth ini, dibutuhkan mitigasi melalui literasi digital dan politik untuk mendorong publik agar menjadi lebih kritis terhadap segala informasi yang mereka terima. Sedangkan lembaga independen dituntut lebih aktif dalam memverifikasi berita atau klaim yang beredar. Demikian pula KPU dan Bawaslu harus memantau dan mengawasi secara ketat penyebaran disinformasi dan hoaks yang beredar di media sosial. (*)

Penulis: Aslamuddin Lasawedy, Pemerhati masalah budaya dan politik
Exit mobile version