NUSANTARANEWS.CO – Dalam teori fisika, terutama berkaitan termodinamika dikenal adanya entropi. Entropi merupakan suatu besaran fisika yang mendeskripsikan ketidakaturan sebuah sistem materi. Dalam telaah termodinamika, semakin tidak teratur sebuah sistem makin besar pula entropinya. Itu artinya, makin besar entropi berarti makin kacau sistem dan mekanisme dalam materi.
Kegiatan ekonomi merupakan bagian dari siklus materi dalam semesta. Interaksi antara pasar, negara, masyarakat dan nilai-nilai sosial dan kebudayaan dalam ruang dan waktu, sangat menentukan gerak materi ekonomi.
Selama ini, publik bingung, misalnya, mengapa anggaran yg digelontorkan pemerintah dlm rentang 2014-2016 yg jumlahnya Rp 517 triliun untuk proyek penanggulangan kemiskinan, hanya mampu menekan 36.540 penduduk miskin (BPS, 2017)? Itu artinya, pengentasan kemiskinan menyedot dana hingga Rp 14 miliar per orang. Bayangkan, mengurangi 1 orang miskin membutuhkan dana Rp 14 miliar. Itu aneh bin ajaib.
Demikian juga, Presiden Jokowi acapkali galau mencermati beberapa indikator ekonomi nasional. Presiden menganalogikan seperti orang: “…Kita ini sehat semuanya. Kolesterol baik, jantung baik, paru-paru baik, darah stabil. Tapi faktanya, ekonomi kita tidak bisa berlari cepat…”. Pergerakan ekonomi Indonesia hanya bergerak stagnan, sementara negara-negara tetangga Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, Filipina, dan lainnya, justru terdongrak tinggi. Mengapa itu terjadi? Jawabannya, karena entropi ekonomi membelit, sehingga sistem materi ekonomi sulit berlari cepat.
Sistem ekonomi kita disandera oleh lemak-lemak ekonomi berupa ekonomi biaya tinggi. Kendati eranya makin transparan, birokrasi perupetian, mark-up, ekonomi rente, sogok, korupsi, pungutan liar, dan sejenisnya, masih sulit dibasmi. Tidak mengherankan, jika angka Incremental Capital Ouput Ratio (ICOR) Indonesia masih bertengger tinggi rerata 5%, sementara rerata ASEAN hanya 3,5%. Indikator ini menunjukkan, masih banyaknya biaya siluman yang bergentanyangan yang menterpedo mesin birokrasi yang rusak. Angka 5% berarti, kebocoran anggaran kisaran 50%, raib di makan hantu belau yang menyesatkan. Publik pun melakukan pembiaran dalam zona yang nyaman.
Siapapun yang memimpin negeri ini, jika ia masih mengawetkan hantu belau dan biaya siluman seperti ini, jangan berharap negeri ini memilki masa depan cerah. Hanya segeilintir oligarki kuasa modal dan politik yang sumringah memancing di air keruh dalam belitan entropi ekonomi. Sementara mayoritas yang lain, hanya bergerak dlm angan-angan kegelapan.. Wassalam
Penulis: Mukhaer Pakkanna, Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah dan Ketua Ahmad Dahlan School of Economics (STIEAD) Jakarta.