E-KTP [E Ketauan Tipu Publik]

e-KTP Tercecer di Bogor (Foto Dok. Nusantaranews)
e-KTP Tercecer di Bogor (Foto Dok. Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO – Semakin dijelaskan, semakin tidak jelas. Semakin diklarifikasi, semakin memunculkan berbagai asumsi. Problem dasarnya satu: rakyat sudah tidak percaya pada penguasanya, itu bahaya.

Katanya cuma ratusan, katanya cuma dua duz mie instant, nyatanya ada se gudang. Katanya suruh bakar, katanya tidak bisa untuk disalahgunakan ‘lagi’, katanya tercecer bersama truk pengangkut Al mari, katanya sabotase, katanya, katanya, katanya, terus berubah-ubah.

Katanya bukti korupsi e-KTP, KPK bantah. Katanya produk gagal, kok jumlahnya bejibun. Katanya produksi tahun 2014, kok ngendon bertahun-tahun, sampai mendekati pemilu dan Pilpres 2019.

Jika itu pemalsuan, maka kejar pelaku pemalsuan, jerat pelaku dengan pasal 263 KUHP “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Jika itu pemalsuan, maka seluruh yang terlibat, baik yang pesan, yang membuat, yang menggunakan dan mendistribusikan, semua harus diangkut dengan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP: “Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu”.

Jika motifnya, politik apalagi pemalsuan sengaja dalam rangka curang di pemilu dan Pilpres 2019, khususnya agar orang-orang tertentu menjadi memiliki hak suara, menggunakan dokumen palsu, maka perlu dikejar dengan UU No. 7/2017 (UU PEMILU).

Jika motif politik ini melibatkan negara asing, dimana ada upaya untuk menguasai negara melalui pemilu dan Pilpres, untuk mendudukan calon yang akan merealisir visi negara asing untuk menjajah dan menguasai negeri ini, maka ini telah berkaitan dengan ancaman pertahanan dan keamanan negara, tidak cukup polisi yang bertindak, tetapi TNI juga harus bertindak.

Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara (UU N0.3/2002 Tentang Pertahanan Negara)

Jika motif politik ini terkait intervensi negara asing, untuk mencoba merongrong kedaulatan negara melalui sistem legal formal Pemilu dan Pilpres, mengambil alih kendali negara dengan mendudukan orang atau agen yang setia pada asing, ini berbahaya.

Jika ancaman sudah sampai level itu, polisi tidak cukup dan tidak akan sanggup mengungkap kasus. Perlu pelibatan secara Aktif dan menyeluruh penggunaan unsur TNI, berdasarkan Undang-Undang Nomor. 34 tahun 2004 tentang TNI khususnya pasal 7 ayat (1), yang menyebutkan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Jadi jangan anggap sepele kasus e-KTP tercecer, jangan anggap sederhana dan terkesan menyederhanakan masalah. Ini masalah besar, ini masalah masa depan bangsa Indonesia, nasib NKRI yang katanya sudah final.

Jika salah urus, tidak menindak siapa yang bersalah, persoalan ini akan semakin liar. Jika polisi tidak mampu, baik karena ketidakmampuan atau karena maraknya ketidakpercayaan, maka TNI harus segera dilibatkan.

Jika TNI tidak segera dilibatkan, maka bisa saja Indonesia tidak bubar di tahun 2030. Indonesia bisa bubar di tahun 2019. Waspadalah! Waspadalah!

Penulis: Nasrudin Joha

Exit mobile version