NUSANTARANEWS.CO – Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang memperbolehkan kegiatan ekspor raw material (mineral yang belum diolah dan dimurnikan) atau biasa disebut konsentrat dinilai sebagai suatu kegagalan dalam mengimplementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Achmad Hafisz Tohir, mengungkapkan bahwa di dalam UU tersebut jelas-jelas melarang kegiatan ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri, khususnya di pasal Pasal 102 dan 103 ayat 1 dan 3.
Kedua pasal tersebut berbunyi, pemegang izin usaha produksi dan izin usaha produksi khusus operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah.
“Di sektor energi kita gagal menjalankan UU Minerba yang melarang raw material diekspor, bahkan dengan alasan belum siap sekalipun. Padahal UU tersebut sudah disiapkan sejak 6 tahun yang lalu,” ungkapnya kepada Nusantaranews, Jakarta, Sabtu (22/10).
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN) Bidang Ekonomi dan Industri itu menambahkan, dengan masih diperbolehkannya kegiatan ekspor mineral mentah tersebut, maka kerugian negara sebesar 7 kali lipat.
“Sehingga, akibat ekspor konsentrat atau raw material dibiarkan berjalan terus, maka diperkirakan kita loss opportunity sebesar 7 kali dari harga minerba yang diekspor tersebut,” ujar Hafisz menambahkan.
Sekadar informasi, kegagalan Pemerintah tersebut terjadi saat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
Dalam PP tersebut, Pasal 112 butir 4c telah dihapus. Padahal pasal ini berisikan tentang kewajiban setiap kuasa pertambangan untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 disahkan.
Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) malah menambah dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Aturan ini membolehkan ekspor mineral logam dalam jumlah tertentu yang telah diolah tanpa dimurnikan dahulu di dalam negeri dan kegiatan ekspor tersebut diperbolehkan hingga jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak diundangkannya Permen tersebut, atau hingga 11 Januari 2017.
Bahkan, di awal tahun kedua Pemerintahan Jokowi-JK, terbit Permen Nomor 5 Tahun 2016 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian. Aturan inilah yang menjadi dasar kuat bagi perusahaan tambang untuk menunda pembangunan fasilitas pemurnian (Smelter), karena laporan kemajuan pembangunan Smelter sebesar 60% sebagai syarat ekspor telah dihapuskan. (Deni)