NUSANTARANEWS.CO – Perilaku konsumen di masa kini, mungkin juga di masa-masa mendatang diprediksi akan terus mengalami perubahan, khususnya dalam bidang jasa. Jasa offline misalnya, sudah sejak lama diperkirakan bakal menurun seiring dengan besarnya minat dan kecenderungan konsumen yang lebih gandrung terhadap sesuatu yang mudah, efisien dan instan.
Indonesia sendiri, perkembangan perdagangan elektronik atau e-commerce semakin diminati. Hanya saja, minat terhadap e-commerce masih terbilang seimbang dengan kebiasaan masyarakat yang masih banyak suka dengan transaksi-transaksi langsung alias berbelanja secara langsung di toko fisik, dan jumlahnya masih sangat besar.
Itulah perbedaan mendasar kondisi Indonesia bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, India dan China. Kendati jumlah konsumen yang berbelanja secara langsung masih sangat besar, penyedia jasa online berbasis aplikasi begitu yakin bahwa di masa-masa mendatang mereka memperkirakan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar dalam hal bisnis e-commerce.
Namun, misi para penyedia jasa online tentu harus lebih mengedepankan kesadaran sosial ketimbang bicara soal keuntungan bisnis semata. Kondisi masyarakat Indonesia tentu berbeda dengan AS, China dan India. Menurut CEO MatahariMall.com, Hadi Wenas, ketika ekonomi merambah ke dunia online, masih banyak warga yang memilih offline. Keduanya bisa tumbuh bersama, kata dia.
Kita memang masih hanya sekadar bisa meraba-raba apa yang akan terjadi di masa-masa depan. Sebab, di tengah-tengah kondisi perekonomian dunia yang terus mengalami perlambatan, bahkan penurunan ide-ide kreatif bermunculan yang kemudian dikembangkan menjadi ekonomi alternatif. Menyadari situasi ini, para penyedia jasa online mengembangkan bisnis e-commerce dengan perhitungan pasar konsumen yang cenderung lebih menyukai hal-hal yang serba mudah dan praktis, terutama di kawasan perkotaan.
Hadi Wenas mengatakan, “Layanan e-commerce di India, China atau Amerika Serikat diadopsi sangat cepat. Once online sector takes over, offline go down.”
Demikian pula CEO Gojek, Nadiem Makarim.”Konsumen yang telah beralih ke online untuk transportasi, they will never go back to offline.” Bagimana tidak Nadiem begitu optimis, karena menurut laporan hasil riset Google dan Temasek memprediksi nilai pasar transportasi online di Indonesia bisa mencapai US$5,6 miliar atau sekitar Rp74,1 triliun pada 2025, dengan pertumbuhan 22 persen setiap tahunnya. Sementara nilai pasar transportasi online Indonesia pada 2015 lalu adalah US$800 juta ata setara Rp10,5 triliun.
Disadari atau pun tidak, kekuatan bisnis layanan transportasi berbasis aplikasi perlahan tapi pasti mengubah perilaku konsumen khususnya dalam memilih jasa. Mungkin hal ini adalah potret kehidupan di masa depan, terkhusus warga yang berdomisili di sejumlah kota besar. Namun, sekali lagi patut ditanamkan sebuah kesadaran utuh bahwa perubahan semacam itu berpotensi menciptakan kesenjangan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang selama ini masih mendamba kebersamaan, gotong royong dan saling berinteraksi aktif tanpa harus hitung-hitungan keuntungan materi semata. (eriec dieda)