Cerpen: Seorang Gadis yang Tinggal di Negeri Mimpi

Ikhlas Bagai Bungi, Bahagia Hanya Setelapak. (Lukisan: "Childe Hassam Garden"/ artcyclopedia.com)
Ilustrasi. (Lukisan: Childe Hassam Garden/artcyclopedia.com)

Seorang Gadis yang Tinggal di Negeri Mimpi

Suara rintik hujan masih terdengar dari balik jendela kamar. Yudistira masih tetap terbaring di atas kasur yang terletak di pojokan kamarnya, ia merasa sangat ngantuk. Namun, ia tak bisa tidur karena merasa sangat kedinginan. Sedangkan malam telah mencapai puncak, hujan mengguyur semakin deras dan angin pun bertiup semakin kencang. Yudistira tetap memaksakan dirinya untuk terlelap ke dalam tidur, meski ia tau tidurnya tak akan nyenyak. Sebab, selain suara hujan dan hembusan angin, tik tok jarum jam pun juga ikut mengganggunya untuk bisa tertidur pulas. Ia terus memejamkan matanya, berharap agar ia akan segera tertidur. Setelah berusaha dengan semaksimal mungkin, akhirnya ia pun tertidur.

***

Pemandangan yang sungguh sangat indah, Yudistira tak pernah melihat pemandangan seindah saat itu sebelumnya. Sesekali, ia terdiam sejenak menikmati suasana yang begitu sejuk di tempat itu. Namun ia sedikit kebingungan dengan apa yang sedang dialaminya. Sebenarnya ia sedang berada di mana? Mengapa ia bisa berada di tempat itu? Sangat membingungkan sekali. Ia hanya melihat ke arah kanan dan kiri saja tanpa melakukan sesuatu apa pun. Dan yang lebih membingungkan lagi, ia tak menjumpai siapa pun kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tak ada aktivitas yang dilakukan oleh Yudistira, ia tetap duduk di atas bongkahan batu di bawah pohon besar yang tak ia ketahui jenis pohon apakah itu. Begitu pun juga dengan binatang atau pun tumbuh-tumbuhan yang lainnya, ia sama sekali tak mengetahui jenisnya. Semua yang ada di sana baru dilihatnya saat itu.

Hinggga akhirnya Yudistira memutuskan untuk beranjak dari tempat semula ia duduk. Tapi, ia merasa kebingungan mau pergi ke mana, ia sama sekali tidak mengetahui tempat itu. Namun, ia tidak membatalkan niatnya, ia tetap berjalan mengikuti arah langkah kakinya sendiri entah kemana. Kini, dua jam telah ia lalui untuk berjalan tanpa tujuan. Hingga akhirnya ia merasa kelelahan dan memutuskan untuk berhenti dan berteduh di bawah pohon yang tetap tak ia ketahui namanya. Lama kelamaan, ia pun merasa ngantuk. Ia mencoba untuk memejamkan matanya, hingga ia pun terlelap ke dalam tidur.

Ketika Yudistira membuka mata, ia merasa tidak percaya melihat seorang gadis yang sangat cantik. Sejenak ia berfikir apakah itu kenyatan atau mimpi, ia mengucek kedua matanya dan menampar kedua pipinya sendiri. Ia masih tidak percaya dengan semua kejadian tersebut, karena ia tak pernah melihat gadis secantik dia. Apalagi di tempat itu ia tak menjumpai seseorang sama sekali kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan.

“Yudistira Bramasta?” gadis itu menyebut namanya.

“I…, i… iya, anda siapa?” Yudistira merasa agak sedikit gugup, ia penasaran bercampur kebingungan karena sebelumnya mereka berdua tidak pernah berjumpa tapi mengapa gadis itu bisa mengetahui namanya.

“Namaku Vina Fandresta,” gadis itu menjawab pertanyaan Yudistira.

“Sekarang mari ikut denganku.”

Gadis itu lantas kemudian menyeret tangan Yudistira dan membawanya ke sebuah gua yang letaknya cukup jauh dari tempat semula mereka berada. Yudistira dibawa masuk ke dalam gua tersebut, kelelawar-kelelawar kecil berterbangan dari langit-langit gua saat mereka masuk ke dalam. Yudistira merasa ketakutan karena di dalam gua tersebut sangat gelap. Namun, gadis itu tetap memaksanya untuk berjalan semakin jauh dari pintu gua tersebut. Hingga akhirnya mereka berhenti dan duduk di sebuah kursi yang terbuat dari batu, kemudian gadis itu menyalakan obor yang terletak pada dinding gua. Dari remang-remang cahaya obor itulah Yudistira bisa melihat bagian dalam gua tersebut. Hampir saja Yudistira dibuat pingsan oleh keindahan yang dilihatnya saat itu.

“Selamat datang di rumahku.” kata gadis itu kepada Yudistira.

“Aku tinggal sendiri di tempat ini.” gadis tersebut melanjutkan perkataannya.

“Apakah anda tidak takut tinggal sendirian di sini?” Yudistira melontarkan sebuah pertanyaan kepada gadis itu.

“Aku sudah terbiasa tinggal sendirian, dan memang tidak ada seorang pun yang tinggal di Negeri ini kecuali aku.”

“Kalau boleh tau, Negeri apakah ini?” Yudistira kembali bertanya.

“Inilah Negeri Mimpi, siapa pun saja yang telah memasuki Negeri ini, maka orang itu akan terus kembali ke Negeri ini setiap kali orang tersebut tertidur. Dan yang lebih parah lagi, orang tersebut tidak bisa terbangun lagi dari tidurnya. Akan tetapi, ada juga yang bisa terbangun, tergantung dari nasibnya masing-masing.”

Yudistira terdiam sejenak mendengar penjelasan dari gadis tersebut. Sesekali ia bertanya dalam dirinya sendiri, apakah yang dialaminya itu adalah mimpi atau kenyataan. Jika ia sedang bermimpi, apakah ia masih bisa terbangun atau malah sebaliknya. Kepala Yudistira masih diselimuti oleh pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh akal pikiran yang normal.

“Apakah semua yang sedang dialami aku saat ini adalah mimpi?” Yudistira masih terus bertanya kepada gadis itu.

“Ya, saat ini kau sedang bermimpi,” gadis tersebut menjawabnya.

“Dan aku juga tidak tau, kau akan terbangun atau tidak,” lanjutnya.

Yudistira semakin ketakutan, ia takut dirinya tidak akan terbangun untuk selama-lamanya. Namun, ia memilih untuk diam saja, karena bagaimana pun juga ia telah memasuki Negeri Mimpi tersebut. Ia hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya selanjutnya, bangun atau tidaknya tergantung pada nasibnya.

***

Seketika Yudistira terkejut dan ia terbangun dari tidurnya. Ia masih terdiam di atas kasur memikirkan mimpi buruk yang dialaminya semalam, hingga akhirnya ia melirik kearah jam yang terletak pada dinding kamarnya dan ternyata jarum jam telah menunjuk pada angka 3, menandakan hari sudah sore. Tidur yang cukup panjang, Yudistira tidak menghiraukan hal tersebut, ia masih teringat perkataan dari si gadis di dalam mimpinya itu bahwa “siapa pun saja yang telah memasuki Negeri Mimpi, maka orang itu akan terus kembali ke Negeri tersebut setiap kali orang tersebut tertidur. Dan yang lebih parah lagi, orang tersebut tidak bisa terbangun lagi dari tidurnya. Akan tetapi, ada juga yang bisa terbangun, tergantung dari nasibnya masing-masing.” Kata itu terus saja terngiang di telinga Yudistira. Ia takut jika setiap kali ia tertidur, mimpi itu akan kembali menghantuinya. Selain itu, yang lebih ia takutkan adalah ia takut tidak bisa terbangun lagi dari tidurnya. Semenjak kejadian tersebut, Yudistira memutuskan agar ia tidak tidur untuk salama-lamanya.

Setelah kalian selesai membaca cerita ini lantas salah satu dari kalian ada yang bermimpi seperti apa yang ada dalam cerita tersebut, maka kalian jangan khawatir karena semuanya hanyalah fiksi. Namun, saya pernah mengutip dari perkataan IR bahwa: “fiksi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin bisa menjadi tidak mungkin lagi.” Maka, waspada saja, siapa tau hal yang tidak mungkin tersebut bisa menjadi mungkin. Saya doakan semoga saja kalian semua tidak bermimpi seperti apa yang ada dalam cerita ini. #

 

 

 

Penulis: Malik Pancar , nama pena dari Abdul Malik Efendi, bergiat di Sanggar Basmalah dan juga salah satu pustakawan PPA. Lubangsa Selatan, siswa kelas XII MIA 1 SMA Annuqayah. Bermukim di PPA Lubangsa Selatan, kelahiran asal Sapudi

Exit mobile version