Cerpen: Jalan Hidup Asep

puisi ivan aulia rokhman, tas selempang, dicuri maling, nusantaranews, kumpulan puisi, puisi indonesia, puisi nusantara, nusantara news
Tas Selempang Dicuri Maling. (Foto: Ilustrasi/planktontour.com)

Jalan Hidup Asep

Sebagai mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten, yang prestasi akademiknya pas-pasan, Asep Iskandar ditugaskan kampusnya untuk melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di daerah pedalaman Baduy, Lebak, Banten Selatan. Ini adalah tugas akhir masa kuliahnya selama lima tahun pada jurusan pendidikan biologi. Meskipun diakuinya bahwa ia telah memilih jurusan yang keliru, tapi Asep menyempatkan diri bersahabat dengan mahasiswa pada jurusan lain, seperti jurusan farmasi, botani, bahkan sosial-politik.

Dari raut wajahnya tersirat bahwa ia seorang yang optimistis dan pantang menyerah. Meskipun ia menyadari kemampuan otaknya yang terbatas, hingga lebih banyak diam ketimbang memberi komentar pada saat para mahasiswa sosial-politik berdebat tentang situasi politik terkini di Indonesia. Ketika ia memahami analisis seorang pakar yang mengatakan bahwa politik negeri ini seperti hangat-hangat tahi ayam, ia pun nampak tak acuh, dan tak mau peduli dengan urusan-urusan politik.

Kini bus yang mengantar rombongannya untuk melakukan tugas akhir perkuliahan, telah sampai di perbatasan kabupaten Lebak bagian selatan. Rombongan itu sebanyak duabelas orang, harus berjalan kaki memasuki pedalaman, dari Baduy Luar hingga menembus Baduy Dalam. Setelah berjam-jam berjalan kaki naik-turun bukit, hutan dan perkebunan, Asep baru menyadari bahwa ia terpisah dari rombongan setelah menyusuri sungai dan menuruni bukit yang teramat terjal. Waktu sudah menunjukkan Pk. 18.30, dan suasana sekitar hutan sudah mulai gelap. Ia memanggil-manggil teman-temannya tetapi tak satu pun ada jawaban. Ia ingin berteriak lebih keras lagi, tetapi khawatir dengan munculnya binatang-binatang buas yang hidup di tengah hutan, dan mencari mangsa justru pada waktu-waktu gelap menjelang malam tiba.

Sepanjang malam Asep merasa takut memejamkan mata, tak bisa tidur, hanya ditemani batang-batang pohon besar berikut ilalang yang sudah meninggi di sekelilingnya. Suara-suara serangga yang amat beragam berbarengan dengan gesekan dahan dan dedaunan, membuatnya merasa ditemani makhluk-makhluk hidup yang saling berinteraksi dan bersahutan satu sama lain. Menjelang subuh, ia manfaatkan ranselnya sebagai bantal tidur pada sebatang pohon. Tidak banyak bekal yang dibawanya, hanya beberapa potong kaos, celana, dan beberapa bungkus roti dan mie instan.

Ia harus mematuhi aturan adat, sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam siang tadi. Sehingga alat-alat elektronik seperti handphone harus dititipkan di perbatasan. Tetapi, meskipun ia memakai perangkat teknologi itu, sepertinya memang tak bermanfaat di pedalaman, mengingat tidak adanya aliran listrik maupun sinyal yang dapat menghubungkan jaringan telepon seluler.

Cita-cita hidup Asep tidak terlampau muluk. Baginya, setelah lulus perguruan tinggi, ia berencana mendaftarkan diri sebagai pegawai negeri, menikah dan hidup bersama istri dan anak-anak. Meskipun banyak teman-temannya mencibir dan menyangsikan dirinya, bahwa orang semacam dia hanya akan menghadapi kesuraman di masa depan. Lebih ekstrim lagi, ada saja seorang teman yang berkelakar bahwa ia harus bersiap-siap menjadi sampah masyarakat di kemudian hari.

Pagi hari, Asep berjalan kaki menyusuri bukit-bukit yang terjal, lalu dilihatnya di kejauhan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah gubuk beratap daun kirai dan dinding-dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu. Para penduduknya berbaju dan bercelana komprang, dengan slayer atau ikatan kain di kepala mereka. Seketika Asep merasa yakin bahwa mereka adalah salah satu dari suku Baduy pedalaman yang berbahasa Sunda Kawitan, dan ia mengenal beberapa kosa-kata yang dipakai dalam percakapan mereka.

Dua orang mengantar Asep ke kediaman kepala dusun. Seluruh warga berdatangan dan menatapnya dengan tajam, hingga kemudian sang kepala dusun muncul dan menyuruhnya duduk di halaman depan yang terbuat dari anyaman bambu.

“Assalamualaikum, Pak,” Asep menjabat tangan kepala dusun, kemudian memulai pembicaraan, “Begini, Pak, nama saya Asep Iskandar, semester akhir di Untirta Banten yang mengadakan praktik kerja lapangan bersama sebelas teman lainnya, tetapi sejak kemarin sore saya bersimpangan jalan dan kehilangan jejak mereka. Sepanjang malam saya mencari-cari mereka, tapi sampai pagi ini belum juga menemukan jejak mereka…”

Sang kepala dusun menatap mata Asep dengan tajam, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. Para warga yang berkumpul di sekitar halaman saling menatap satu sama lain, kemudian mereka pun ikut tertawa terpingkal-pingkal. Kepala dusun memerintahkan seorang anak buahnya agar mengambilkan sesuatu. Yang diperintah datang dengan membawa slayer yang terbuat dari kain tenun. Ketika slayer itu dikenakan di kepala Asep, tiba-tiba tawa hadirin meledak lagi. Di antara mereka ada yang saling memukul satu sama lain, kemudian saling tertawa terpingkal-pingkal.

Asep tak pernah mengerti apa yang mereka tertawakan, lalu ketika mereka menatap wajah Asep yang terbengong-bengong, penuh tanda tanya, mereka pun kembali tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke pangkal paha mereka. Seketika ia mendekati salah seorang anak buah yang bisa berbahasa Indonesia, serta menanyakan apa yang mereka tertawakan. Tetapi, ketika anak buah itu menjulurkan mukanya ke arah kepala dusun, dan menerjemahkannya ke bahasa Sunda Kawitan, jawaban sang kepala dusun semakin membuat Asep kebingungan.

“Yang Maha Kuasa memang sangat menyayangi warga di dusun ini, karena sudah bertahun-tahun kami tak pernah dianugerahi seorang pengunjung yang pintar melawak, hahaha…!” teriak kepala dusun dengan tawa melengking.

***

Pagi itu juga, perjamuan makan disiapkan di halaman rumah kepala dusun. Setelah makan usai, ketika Asep membuka isi ransel dan mengeluarkan secarik kertas dan pena, sebagian warga terheran-heran. Mereka saling berbisik dan menggunjingkan Asep sebagai orang gila yang barangkali terusir dari kota Banten.

“Mungkin saja dia adalah mata-mata yang disuruh membuat daftar tentang kita, atau tentang segala yang kita miliki, untuk kemudian diangkut ke Banten utara.” kata istri kepala dusun.

“Pak kepala dusun mengatakan bahwa dia seorang pelawak, tapi saya kurang begitu yakin,” kata ibu-ibu lainnya.

Setelah seminggu Asep tinggal bersama warga Baduy Dalam, pada suatu sore kegaduhan terjadi ketika seorang warga membopong anak balitanya ke kediaman kepala dusun, karena betisnya terluka dan darah segar mengucur dari goresan lukanya. Kepala dusun terheran-heran ketika Asep mengambil persediaan obat, kapas dan perban dari ranselnya. Seluruh warga berduyun-duyun menyaksikan pengobatan singkat yang dilakukan Asep.

Setelah keesokan harinya luka itu mengering, dan anak itu kembali berlari-larian bersama teman-temannya, seketika itu warga dusun berbisik-bisik perihal sosok dewa yang diturunkan Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk memberikan rahmat dan kasih sayang kepada warga Baduy Dalam.

“Hehehe, dugaan saya meleset!” kata kepala dusun sambil mengelus-elus pundak Asep,” ternyata Anda bukan hanya pelawak… tapi lebih dari sekadar pelawak, hahaha!”

Dan para hadirin pun ikut tertawa terpingkal-pingkal.

Akhirnya, kepala dusun berusaha menenangkan warga. Ia menyediakan satu gubuk khusus yang letaknya berdekatan dengan gubuknya. Kepala dusun mempertemukan Asep dengan seorang dukun yang terbiasa meracik ramu-ramuan obat. Ia diperkenalkan dengan berbagai jenis daun-daunan yang mengandung obat, serta mempelajari cara meraciknya.

Setelah beberapa minggu, persediaan obat di ranselnya habis, ia pun berpraktik yang diajarkan dukun perihal ilmu pengobatan, lalu menggabungkannya dengan pengetahuan yang dimiliki tentang farmasi dan botani, sehingga membuatnya semakin simpel dan praktis. Saat itu juga, kepala dusun tertawa cekikikan sambil mengatakan, “Tidak salah lagi, Anda ini adalah titipan… Anda ini adalah anugerah, sampai-sampai bisa melebihi ilmu yang dimiliki para dukun terbaik di dunia ini, hehehe…”

***

Empat minggu lebih Asep berada di dusun pedalaman. Ia merasa waktunya sudah berakhir agar kembali ke kampusnya di kota Serang, Banten, namun ia tetap masih kehilangan jejak. Tak seorang pun warga dusun memberitahu jalan keluar, meskipun ia tak bisa berprasangka buruk pada kepala dusun agar memberi ultimatum kepada ribuan warga untuk menyesatkan dirinya. Baginya, kepala dusun tak mungkin punya kemampuan berpikir politis yang tega dan penuh tipu muslihat, seperti halnya orang-orang kota.

Pada suatu hari, Asep mengutarakan maksudnya untuk keluar dari Baduy Dalam, dan ia akan mencari jalan sendiri untuk sampai ke perbatasan Baduy Luar. Istri kepala dusun mencoba menahannya, bahkan setelah memperkenalkan gadis tercantik di Baduy Dalam beberapa hari lalu, ia pun tetap gagal membujuk Asep. Kepala dusun memerintahkan istrinya agar memberikan payung anyaman, jaket dan golok, untuk berjaga-jaga di perjalanan, serta bekal makanan secukupnya di dalam ransel yang akan dibawanya.

Setelah beberapa hari ia menyusuri hutan, perbukitan, bahkan menyeberangi beberapa sungai, ia pun merasa kelelahan kemudian terjatuh pingsan di samping sebuah akar pohon yang besar. Dua orang petani menemukan Asep tergeletak, dan salah seorang dari mereka mengenalnya sebagai “tabib” yang dulu pernah menyembuhkan salah seorang anaknya yang sakit. Segeralah ia dibawa kembali menuju kediaman kapala dusun.

“Pemuda ini keras kepala, dia kebal dari segala bujuk rayu,” gumam istri kepala dusun. Setelah berpikir beberapa saat, perempuan itu membisiki pembantunya, “Coba panggilkan saya anak gadis Pak Dukun yang gendut itu…”

“Tapi dia tak begitu cantik, Bu,” kilah pembantunya.

“Panggilkan saja… sepertinya kita harus pakai cara yang lain…”

***

Gadis itu memang gendut dan tambun. Payudaranya besar sebesar nampan. Julukan itu diisukan seolah-olah dari ucapan Asep, padahal Asep sendiri tak pernah mengenalnya. Ia datang ke gubuk sambil marah-marah, kemudian melepas gelang baharnya lalu melemparkannya ke muka Asep. Ia serba salah dan kebingungan, dan belum pernah merasa menyebut gadis itu dengan julukan “gendut dan tambun”.

Gadis itu tiba-tiba menangis sejadi-jadinya, lalu berjanji akan melaporkan Asep ke bapaknya, hingga Asep pun berusaha menenangkannya. Ia mengelus-elus pundak gadis itu hingga mengelus-elus rambutnya yang panjang hingga bahu.

“Maafkan saya, kalau saya pernah mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanmu. Mungkin selama ini saya kurang memahami perasaan wanita… tapi saya merasa diri saya sebagai laki-laki yang belum pernah menyakiti hati wanita, maafkan saya…”

Malam harinya, Asep tak bisa tidur pulas, selalu memikirkan gadis itu. Ia sangat menyayanginya, lebih tepatnya ia merasa kasihan kepadanya. Hingga pada suatu hari, ia pun tak kuasa menolak tawaran kepala dusun untuk menikahkan gadis itu dengan Asep, setelah memohon restu dari kedua orang tuanya.

Pernikahan diadakan sangat sederhana, dan setelah melewati hubungan malam pertama, Asep memberikan janji-janji manis kepada istrinya, bahwa suatu hari nanti ia akan mengajaknya ke kota. Ia bicara tentang masa depan keluarganya nanti, tentang saluran listrik dan mesin air, jalan beraspal, traktor untuk menggarap pesawahan, handphone dan televisi, klinik, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pertokoan, perhotelan, mobil, pesawat dan seterusnya. Ia berjanji akan memperkenalkan dengan keluarga dan saudara-kerabatnya di kota, supaya mengajarkannya tersenyum dan cara tertawa yang benar.

Hari-hari pun berlalu. Konon, Asep pernah mendengar kabar dari beberapa warga, bahwa suatu hari pernah ada beberapa orang dari Jakarta membawa kertas-kertas dan menulis banyak catatan di sekitar dusun itu. Mereka bertanya-tanya pada beberapa orang dengan bahasa Sunda Kawitan yang telah mereka kuasai. Asep menduga bahwa orang-orang itu adalah tim peneliti yang bertugas pada suatu lembaga atau organisasi di Jakarta, dan ia sangat berharap orang-orang serupa singgah di wilayah pedalaman itu, hingga menunjukkan jalan pulang baginya.

Menunggu dan menunggu selama beberapa bulan, hingga sembilan bulan, dan istrinya yang gemuk itu melahirkan bayinya yang pertama. Asep menanam beberapa pohon rambutan, dukuh dan durian di pekarangan rumahnya, di samping pohon-pohon pisang, papaya dan mangga yang telah tumbuh subur di sekelilingnya. Ia merawat pohon-pohon itu dengan baik sebagaimana istrinya yang rajin merawat bayi kesayangannya. Ia tetap berharap sekiranya para peneliti atau turis dari kota mampu menjangkau wilayah itu suatu hari nanti.

Menunggu hingga setahun, dua tahun, dan pada tahun ketiga istrinya melahirkan bayinya yang kedua. Di pekarangan rumah, pohon pisang, dukuh dan rambutan telah berbuah lebat, dan keluarganya pun menikmati buah-buahan itu. Beberapa karung dukuh dan rambutan dibawa ke gudang kepala dusun, untuk ditukarkan dengan beberapa karung padi huma, gula aren, cabe, lada, dan rempah-rempah lainnya.

***

“Suamiku,” kata istrinya pada suatu hari, “Kata orang-orang, di daerah Baduy Luar akan ada terminal kendaraan yang dibangun oleh pemerintah kota. Suatu saat nanti, akan banyak orang-orang di sini yang menjual sendiri hasil panennya ke kota. Lebih baik, saya ikut membantu dengan menanam jagung dan singkong, hingga kita punya perbekalan jika suatu saat saya dan anak-anak harus ikut ke kota.”

Asep menyetujui usulan istrinya. Ia pun membantu sang istri dengan membajak tanah di pinggir sungai dan membuat kebun baru. Sementara itu, setelah membantu mertuanya mengobati seorang warga yang sakit, Asep mendapat hadiah lima ekor ayam dari kepala dusun, yang kemudian berkembang-biak menjadi pulahan hingga ratusan ekor ayam, dan istrinya pun melahirkan bayinya yang ketiga.

Tak terasa, lima tahun telah berlalu, ditambah satu tahun lagi ketika Asep dan istrinya membangun tambak ikan lele dan patin, kemudian memanennya setelah lima bulan, dan bayi yang keempat pun lahir kembali.

Pada suatu hari, anak sulungnya berlari-lari menuruni bukit. Ia memanggil-manggil ayahnya dan mengatakan banyak orang-orang berseragam yang membawa senjata berkumpul di puncak bukit. Asep terperanjat kaget, siapakah gerangan mereka itu. Ia memanjat ke daerah perbukitan yang paling tinggi. Sebuah helikopter sudah mendarat di puncak itu. Setelah membaca tulisan TNI-AU pada punggung helikoter itu, Asep segera berlari-lari sambil melambaikan tangannya.

Seketika dua orang tentara bersenjata menghadangnya, kemudian menyusul di belakangnya dua orang ketua partai dan tiga orang relawan dari Palang Merah Indonesia. Melihat Asep berlari-lari ke arah mereka, seorang tentara dengan sigap menghalaunya, “Stop, diam di tempat!”

Asep terheran-heran seraya mengangkat tangannya. Tentara itu menggeledah pakaian tenunnya, lalu bertanya dengan suara keras, “Dari mana kau ini! Apa yang kau lakukan di sekitar sini?”

“Keluarga kami ada di balik bukit itu,” ia menunjuk ke arah dusunnya, “Kami tinggal bersama istri dan empat anak, sedang menunggu-nunggu tim peneliti yang akan membawa kami ke kota…”

“Lalu, bagaimana kalian bisa selamat dari kemarau panjang beberapa tahun lalu, ditambah mata uang yang anjlok, dollar naik, dan banyak orang-orang kekurangan pangan?” tanya sang ketua partai.

“Mata uang… dollar… kekurangan pangan… saya tidak mengerti, Pak?”

“Bagaimana dengan serangan wabah flu burung yang membunuh ternak-ternak,” ujar relawan Palang Merah Indonesia, “kemudian menyusul dengan serangan virus campak dan rubella yang merenggut ribuan jiwa setahun yang lalu?”

“Virus campak, rubella, flu burung, saya tidak mengerti, Pak. Ternak saya baik-baik saja di dusun sini…”

“Ok, baiklah, kalian bisa selamat dari serangan wabah dan kekurangan pangan,” kata sang tentara, “Tapi bagaimana kalian menyelamatkan diri dari kerusuhan Mei lalu, ketika kebakaran dan penjarahan terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan terjadi banyak pembunuhan dan penembakan, siapa yang melindungi kalian dari kerusuhan masal itu?”

“Kebakaran, penjarahan, penembakan, dan kerusuhan masal? Saya tidak mengerti, Pak? Keluarga kami di sini baik-baik saja. Tadinya, saya hanya mahasiswa semester akhir di perguruan tinggi Untirta Banten yang sedang melaksanakan PKL untuk tugas akhir perkuliahan?”

Rombongan itu akhirnya memutuskan untuk menuruni perbukitan, menuju dusun pedalaman di mana Asep dan keluarganya tinggal di gubuknya selama ini. Mereka dipertemukan dengan kepala dusun, lalu disediakan perjamuan makan siang dengan aneka rupa masakan, lauk-pauk dan buah-buahan yang ditanam oleh penduduk setempat.

Setelah makan usai, mereka saling bercakap dan berbincang-bincang. Rombongan itu menjelaskan bahwa pemerintah telah membangun rel-rel kereta api dan jalan-jalan raya. Bahkan jika warga Baduy Dalam berjalan selama beberapa jam ke arah utara hingga mencapai Baduy Luar, akan dijumpai jalan yang telah dibangun pemerintah daerah hingga di perbatasan Cioleger, kabupaten Lebak.

“Tetapi saat ini,” kata tentara, “kerusuhan masih terjadi di beberapa tempat, dan mudah-mudahan akan berakhir setelah pemilihan umum dan pelantikan presiden nanti.”

“Mudah-mudahan, Pak. Keluarga kami juga berencana untuk tinggal di kota jika suasananya sudah aman,” kata Asep.

Setelah helikopter TNI-AU itu pergi, Asep menatap wajah istrinya sambil meremas-remas jari-jemari tangannya. “Istriku,” katanya dengan sendu, “banyak orang di kota yang menganggap saya ini mahasiswa bodoh yang tak punya masa depan. Mereka menganggap saya ini tidak punya bakat dan akan menjadi sampah masyarakat. Tapi ternyata, sepintar dan sehebat apapun manusia, mereka tak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.”

Sambil menatap ke kebun di mana pohon-pohon tumbuh dengan suburnya, Asep berujar, “Hidup manusia itu ibarat menanam pohon, kemudian kita harus menyiram dan merawatnya dengan baik, hingga ia tumbuh membesar dan meninggi, kemudian berbuah dengan lebat.” Ia terdiam sejenak, menghela nafasnya, dan lanjutnya, “Istriku, seandainya kita sudah tua, dan ingin menanam satu batang pohon, tetaplah pohon itu harus kita tanam. Jikapun pohon itu lebih panjang usianya dari kita, kita harus ikhlas ketika orang lain dapat menikmati buah-buahnya setelah kita nanti.”

Biodata Singkat:

Muhamad Muckhlisin, penulis cerpen dan esai sastra untuk harian umum lokal dan nasional, pendidik di Ponpes Al-Bayan, Banten. Cerpen saya berjudul Kiai Mustofa pernah menjadi pemenang pertama tingkat nasional (2017) yang diselenggarakan oleh harian Rakyat Sumbar (Padang).

Exit mobile version