Catatan Peringatan Hari Tani Nasional

Ilustrasi

Oleh: Alek Karci Kurniawan

NUSANTARANEWS.CO – Bersyukurlah kepada Tuhan dan berterimakasihlah kepada petani, jika kita masih makan nasi hari ini, atau setidaknya masih dapat makan ubi. Sebab, dari rahmat Sang Penguasa Alam serta peluh keringat petani itulah bulir-bulir nasi ataupun sepotong ubi masih dapat kita santap untuk kebutuhan pokok sehari-hari.

Tepatnya pada Rabu 24 September, diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Agenda ini mengingatkan kita agar tidak lupa akan lahirnya Undang-Undang No 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) pada era Orde Lama, yang membawa cita-cita untuk menjalankan reformasi Agraria. Masyarakat umum terutama yang masih suka makan nasi patutnya mengetahui hari ini.

Penetapan Hari Tani Nasional berdasarkan pada Keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 agustus 1963 Nomor 169/1963, menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas dan soko guru (tulang punggung) bangsa yang kerap dilupakan. Setiap tahunnya, ribuan petani turun ke jalan untuk memperingati Hari Tani Nasional di berbagai kota di Indonesia. Sebuah perayaan yang lebih banyak diliputi keprihatinan daripada kebanggaan, mengingat kondisi petani kita yang jauh dari kesejahteraan.

Di sektor pertanian ini, bergantung separuh lebih warga negara yang terbagi dalam petani pemilik lahan, petani gurem (petani kecil, biasa memiliki lahan kurang dari 0,25 ha) dan buruh tani atau petani yang telah dimasuki industrilisasi pertanian. Ironisnya, di negeri yang disebut negeri agraris ini, jutaan petaninya berada di bawah garis kemiskinan.

Dibukanya keran teknologi pertanian tidak serta merta membuat kehidupan petani membaik. Belum lagi jika meninjau ribuan kasus rebutan lahan antara petani dengan korporasi yang berlindung di balik BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Hampir setiap hari petani dan masyarakat adat harus berhadapan dengan aparat untuk memperebutkan lahan.

Padahal, Reformasi Agraria sejatinya ditujukan kepada petani dengan cara retribusi tanah untuk petani yang tidak memiliki lahan. Kebijakan populis Bung Karno ini diambil setelah melihat kenyataan yang ada di Indonesia, dimana rata-rata petani Indonesia adalah petani yang tidak bertanah atau memiliki lahan namun sempit.

Marhaen, begitu sebutan Bung Karno untuk menceritakan kondisi petani di Indonesia. Marhaen ini tertindas oleh imperialisme (modal asing) dan feodalisme yang saat itu bercokol di Republik Indonesia, meski telah merdeka. Si Marhaen ini harus dimerdekakan dengan cara melakukan distribusi ulang tanah dimana ada pembatasan kepemilikan lahan oleh petani besar. Sayangnya kebijakan yang baru berjalan sampai tujuh tahun saat itu mandeg, dengan bergantinya era Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1967.

Pemerintahan Soeharto dengan kebijakan pembangunannya seakan memarjinalkan petani serta mendewakan investasi asing sebagai tonggak perekonomian negeri. Tidak heran dikeluarkannya Undang-Undang No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No 5/1967 tentang Kehutanan saat itu justru bertentangan dengan semangat dari Undang-Undang Pokok Agraria. Hasilnya, konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah kerap kali terjadi.

Hal yang menjadi penyebab selanjutnya adalah terjadinya penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan pemilikan dan penggunaan tanah. Struktur sosial yang tercipta dari langgengnya ketimpangan terhadap kepemilikan dan penggunaan tanah adalah terjadinya proletarisasi petani yang semakin meluas. Proletarisasi ini ditandai transformasi kelas petani menjadi buruh tani. Kaum proletariat ini hidup tidak lagi dengan mengolah tanah secara langsung, tetapi dari menjual tenaga ke pemilik modal.

Lebih dari itu, proletarisasi ini berlangsung dalam wajahnya yang sangat brutal yang ditandai dengan pengusiran dan perampasan tanah-tanah secara paksa. Hal inilah yang dianggap sebagai penyebab terjadinya polarisasi perekonomian di tengah masyarakat, yang berakibat pada meningkatnya pertentangan kelas, stabilitas perekonomian yang semakin terganggu, dan usaha pembangunan pertanian bagi masyarakat akan semakin terhambat.

Carut marutnya kondisi pertanian di Indonesia sudah seharusnya segera diambil jalan keluar yang menguntungkan bagi petani. Pemerintah saat ini harus benar-benar serius menjalankan Reformasi Agraria sesuai dengan amanah UUD 1945 serta Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Reformasi Agraria yang dimaksud adalah dimana dijamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan lahan oleh segelintir orang. Hal ini juga harus didukung dengan kebijakan harga pembelian hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil. Keadilan dan kemakmuran bagi petani mesti direfleksikan pada Peringatan Hari Tani Nasional ini. (Alek Karci Kurniawan/Yudi)

Exit mobile version