NUSANTARANEWS.CO – 19 Agustus merupakan hari Ulang Tahun Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, di setiap tanggal tersebut seluruh Pengadilan pada empat lingkungan peradilan melaksanakan upacara bendera yang dipusatkan di Pengadilan Tinggi setempat (yang berada di Ibu Kota Provinsi) dan di Pengadilan Negeri setempat (yang berada di Ibu Kota/Kotamadya). Di tahun 2016 ini, usia lembaga MA itu genap berusia 71 Tahun.
Diusianya yang ke-71 tahun ini, nampaknya MA belum benar-benar bersih dari para mafia peradilan. Hal tersebut seiring dengan banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap pejabat di lembaga peradilan itu. Oleh sebab itu Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi memberikan catatan terhadap lembaga tertinggi itu. Berikut pesannya seperti dikutip nusantaranews.co :
“Mahkamah Agung sebagai induk dari institusi peradilan telah mencapai usia 71 tahun, terhitung sejak diangkatnya Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang pertama republik ini berdiri, maka sejak saat itulah republik ini memiliki sebuah lembaga peradilan tertinggi.
Selama itu pula dinamika terjadi di dalamnya, ide, gagasan, serta kebijakan terus menerus dilakukan untuk mencapai mahkamah yang benar-benar agung. Amanah publik yang masih terus menjadi pekerjaan rumah adalah tentang pembaruan peradilan, pasca-reformasi, telah ada 2 blue print yang bicara soal pembaruan MA, selain itu pasca lahirnya PP 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim (yang notabene dianggap membawa perubahan signifikan di kalangan peradilan), mulai dari moment tersebut telah pula lahir 24 Peraturan MA (Perma) hingga saat ini, 15 di antaranya terkait bidang yudisial dan teknis perkara sementara 9 lainnya meliputi aspek non-yudisial atau manajemen organisasi. Dari 9 perma non-yudisial tsb maka 5 di antaranya dihasilkan berturut-turut pada tahun 2016 dengan 3 Perma yang memiliki nuansa disiplin dan pengawasan.
Bgaimanapun kita harus fair bahwa telah banyak capaian melalui upaya ini. Namun seluruh capaian tersebut belum mampu mengembalikan kepercayaan publik kepada institusi peradilan.
Contoh kecil saja, survey yang dilakukan salah satu group Worldbank yakni doingbusiness.org pada tahun 2016, menunjukkan hasil bahwa Indonesia menempati nilai 6,5 dari skala 0 s.d. 18 dari sisi Kualitas Proses Peradilan pada Aspek Bisnis. Itu berarti Indonesia baru mencapai 36,1% dari sebuah proses peradilan yang ideal pada kacamata dunia, inipun baru dari aspek bisnis belum lagi aspek yang lain.
Upaya reformasi yang dilakukan saat ini setidaknya membutuhkan beberapa hal penting, yaitu Pertama, kesungguhan/good will di MA, Kedua, keterbukaan penuh, Ketiga, percepatan dalam prosesnya, yang seluruhnya diperuntukan untuk menjawab tuntutan publik.
Perubahan yang diharapkan publik bukanlah perubahan yang formalistik atau acessoris semata tetapi justru perubahan yang benar-benar menyentuh masalah dasar dan memiliki dampak riil ke masyarakat. Kekurangan yang ada pada peradilan kita berarti cermin kurangnya negara ini, rendahnya kepercayaan publik kepada peradilan berarti juga rendahnya minat investasi ke pasar Indonesia, yang keduanya berarti buruk untuk bangsa ini.
Kembali lagi diingatkan bahwa independensi seyogyianya diletakkan pada tempat yang tepat, tidak pada konteks menyuburkan es spirit de corps apalagi melindungi kepentingan kelompok, “corps”nya para hakim tidak terletak pada sentimen profesinya tetapi justru pada “kebenaran” yang diyakininya dalam menangani perkara. Itulah sebabnya selalu dikenal “keyakinan hakim” sebagai unsur penting jatuhnya vonis.
Oleh karenanya, independensi bagaimanapun tidak bisa berdiri sendiri, ia harus disertai dengan akuntabilitas. Dan yang terakhir, apapun aturannya apapun resep tertulisnya jika tanpa contoh nyata tidak akan jadi apa-apa, peradilan kita tidak hanya butuh blueprint/road map/perma atau apapun istilahnya, pembaruan yang sebenarnya membutuhkan TELADAN lebih dari apapun.” (Restu)