Catatan-Catatan Kritis Reshuffle Kabinet Jokowi-JK Jilid II

Ilustrasi: Reshuffle Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla/Nusantaranews
Ilustrasi: Reshuffle Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Sejumlah catatan kritis yang mesti diperhatikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait dengan keputusannya mengganti dan menggeser sejumlah menteri dalam agenda Reshuffle Jilid II Kabinet Kerja harus dijadikan sebagai catatan khusus demi keberlangsungan agenda kesejahteraan rakyat.

Reshuffle menteri tidka boleh semata hanya dijadikan sebagai ajang pesta pora bagi-bagi jabatan serta demi sebuah agenda besar yang tengah dirancang dalam konstelasi perpolitikan dan kepentingan kelompok tertentu karena Presiden tidak etis rasanya terlalu jauh terseret dalam arus perpolitikan semata. Jokowi adalah seorang Presiden, pemimpin Indonesia dan bukan politisi yang kerap gemar berpolemik dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa.

Nada-nada sumbang terkait dengan reshuffle jilid II yang diumumkan Jokowi pada Rabu 27 Juli 2016 lalu harus disikapi arif dan bijak serta tak memandangnya sebelah mata.

Pertama, catatan kritis datang dari Direktur Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi. Ia berkata, “Pergantian menteri saat ini adalah bagian dari bagi-bagi jabatan antara partai politik dengan Presiden Jokowi. Hal ini bisa dilihat dari masuknya partai Golkar dan PAN dalam Kabinet Kerja ini. Tapi demi mengamankan atau tidak ada kegaduhan politik, maka kedua partai ini diakomodasi dalam kabinet kerja Jokowi. Tidak mungkin untuk meningkatkan pelayanan kepada rakyat, lantaran penyerapan anggaran di setiap kementerian saja masih rendah, rata-rata asumsi masih di bawah 30 persen,” kata Uchok.

Kedua, “Sayang banget bang Rizal kembali lagi ke jalan. Ini mayoritas Orba, Kabinet Orba, mau dipakai partai sebelum reformasi, semua orang Orba ketemu semua. Sri Mulyani yang dulu kita ngusir-ngusir sekarang diakomodir. Ada agenda apa, kita nggak tahu. Yang back-up siapa, kuat juga. Yang bagus kayak Jonan (Menhub) malah tergeser, apa bagi kue?. Aneh kan, Nawacita bawa-bawa ajaran Bung Karno, berdikari bidang ekonomi, Bung Karno bisa nangis kayak gini,” kritik Politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning.

Ketiga, “Reshuffle yang sudah disampaikan oleh Pak Jokowi tentu telah membuat sebagian teman-teman kaget. Sebab, pada reshuffle kali ini Presiden terlalu gampang sekali menunjuk seseorang menjadi menteri serta terlalu sederhana dalam memberikan syarat. Karena menurut saya tidak hanya pintar tetapi juga harus cerdas dan juga harus sudah selesai atas dirinya sendiri. Bagaimana mungkin seorang menteri atau Menko (Menteri Koordinator) mempunyai masalah di masa lalu yang sampai sekarang belum selesai. Mana mungkin HAM bisa tegak. Sementara, yang menduduki tempat strategis tersebut adalah orang yang bermasalah. Jadi menurut saya reshuffle kali ini sungguh tidak menjanjikan,” keluh Anggota Komisi III DPR RI, Junimart Girsang.

Keempat, kritik datang dari Anggota Komisi I DPR Martin Hutabarat. “Jokowi ini kelihatan tidak konsisten, menteri tak boleh jadi ketum, malah angkat Wiranto sebagai Menkopolhukam. Hilangkan gesekan dengan TNI dan Polri. Dan tak kalah bahayanya (narkoba) dari teroris. Saya kira perlu diperhatikan penanganannya secara serius sebab 5 juta orang lebih pengguna narkoba di Indonesia,” kata dia.

Tak hanya dari politisi dan pengamat, kritik juga datang dari kalangan mahasiswa. Mantan Ketua BEM UNIKOM 2013-2014, Andre Lukman misalnya, dia mengatakan “Bangsa Indonesia memang penuh pemakluman (untuk tidak mengatakan apatis). Sebab sekalipun Jokowi memasang nama Wiranto sebagai salah satu pengganti dari menteri yang dilengser, masyarakat Indonesia tidak berdaya untuk menolak. Jokowi pura-pura lupa, Wiranto adalah Ketua Umum partai Hanura. Sebaliknya, masyarakat ingat, reshuffle merupakan kerja-kerja politik yang tidak mengenal kesetiaan bahkan pada ucapan sendiri. Alhasil, mulus tanpa rintangan, Wiranto dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Memang kita ketahui bersama, reshuffle adalah hak prerogratif presiden. Namun, bukan berarti dengan hak prerogratif itu presiden bisa menutupi pendustaan kepada rakyat Indonesia. Apalagi di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap para elit penguasa hari ini. Seharusnya Jokowi menjawab krisis kepercayaan itu dengan sikap tegas. Pun tidak boleh tidak, Jokowi mesti memegang teguh ucapan sendiri bukan memakan ucapan sendiri. Akhirnya, sikap plin-plan tersebut akan menambah masyarakat tidak percaya terhadap janji atau ucapan dari para elit negeri ini, bahkan seorang Presiden sekalipun,” kritik Andre.

Selain itu, kritik keras juga datang dari Koordinator KontraS, Haris Azhar. Dalam tulisannya, Haris lebih melihat sosok Wiranto yang didapuk Jokowi menduduki kursi Menkopolhukam yang sebelumnya dijabat Luhut Binsar Pandjaitan. Kata dia, KontraS protes keras mantan Panglima ABRI di masa Orde Baru yang juga saat ini masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Politik Hati Nurani Rakyat (HANURA) sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Menurut Andre, kami ingin menyatakan opini terkait terpilihnya Wiranto yang diketahui luas berada di deret depan dari nama-nama yang harus bertanggungjawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang telah disebutkan dalam sejumlah laporan Komnas HAM, seperti Peristiwa penyerangan 27 Juli Tragedi Trisakti Mei 1998, Semanggi I & II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, Biak Berdarah, dan juga tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit, menyatakan bahwa Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku. Demikian Andre.

Adapun catatan lain reshuffle kabinet Kerja jilid II ialah diberhentikannya sosok Anies Baswedan dari Mendikbud dan Rizal Ramli dari Menteri Kemaritiman. Tak sedikit kalangan yang mengeluh, menyesalkan sekaligus mempertanyakan keputusan Jokowi melenggserkan dua nama menteri yang kalau dilihat-lihat selama ini begitu aktif menjalankan tugas, fungsi dan wewenangya, bahkan dilaksanakan dengan sangat baik. Mungkin benar apa yang dikatakan Ribka Tjiptaning, bahwa ada agenda besar di balik reshuffle kabinet jilid II. Baca: Agenda Besar Reinkarnasi Kabinet Kerja. (eriec dieda)

Exit mobile version