BRICS dan Upaya De-Dolarisasi

BRICS dan Upaya De-Dolarisasi

Aliansi BRICS, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, telah mengeluarkan seruan kepada negara-negara Timur Tengah untuk berhenti menggunakan dolar AS untuk pembayaran minyak dan sebagai gantinya menggunakan mata uang lokal.
Oleh Zubair Mumtaz

 

Daya tarik ini muncul di saat meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, ketika Iran melancarkan serangan drone berpeluru kendali terhadap Israel dan Rusia mendesak negara-negara di kawasan untuk memberikan pelajaran kepada Israel dan AS. Aliansi BRICS telah memperluas keanggotaannya hingga mencakup negara-negara penghasil minyak seperti UEA, Mesir, Etiopia, dan Iran, dan diharapkan dapat memperkuat hubungan ekonomi dengan Tiongkok dan India, dua mitra dagang terbesar UEA.

Keputusan untuk tidak menggunakan dolar AS untuk pembayaran minyak adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan AS dan mendorong penggunaan mata uang lokal. Langkah ini dapat mempunyai dampak yang signifikan terhadap perdagangan minyak global dan sistem keuangan internasional yang lebih luas. Blok BRICS, yang memiliki porsi PDB global lebih besar dibandingkan negara-negara G7 jika disesuaikan dengan paritas daya beli, diperkirakan akan memperoleh peningkatan pengaruh ekonomi dan politik melalui partisipasi formal dalam aliansi tersebut.

Namun demikian, peralihan dari dolar AS ke pembayaran minyak menimbulkan tantangan-tantangan tertentu. Dolar AS diterima secara luas sebagai alat pembayaran minyak dan gas, sementara mata uang lokal hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh perdagangan dan transaksi. Selain itu, inisiatif rumit dalam membentuk mata uang BRICS untuk meningkatkan pilihan pembayaran memerlukan kesepakatan bulat di antara semua anggota mengenai nilai tukar dan serangkaian peraturan keuangan yang komprehensif.

Meskipun terdapat hambatan-hambatan ini, aliansi BRICS tetap melanjutkan upaya de-dolarisasinya, yang dapat berdampak signifikan terhadap sistem keuangan global dan pengaruh AS. Peralihan dari dolar AS dapat mengurangi efektivitas rezim sanksi AS, yang berfungsi sebagai alat kebijakan luar negeri yang penting dalam memerangi jaringan teroris, rezim jahat, dan jaringan kriminal.

Dominasi Dolar

Dominasi dolar AS dalam perekonomian global mempunyai implikasi yang signifikan terhadap negara-negara berkembang. Sisi positifnya, stabilitas dan penerimaan dolar sebagai mata uang cadangan telah memungkinkan negara-negara berkembang mengakses pembiayaan yang lebih murah dan mengurangi paparan mereka terhadap risiko nilai tukar. Namun, terdapat juga kelemahannya, seperti potensi belanja yang tidak pandang bulu dan ketidakseimbangan ekonomi, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan dan konflik ekonomi global.

Salah satu dampak paling signifikan dari dominasi dolar adalah meningkatnya kerentanan negara-negara emerging market terhadap guncangan ekonomi global. Negara-negara ini sering kali sangat bergantung pada keuangan internasional, seperti bantuan luar negeri dan investasi asing langsung, yang membuat mereka semakin rentan terhadap fluktuasi pasar keuangan global, perubahan sentimen investor, atau kemerosotan ekonomi di negara-negara besar.

Negara-negara berkembang juga menghadapi tantangan terkait risiko mata uang. Kekuatan mata uang lokal, tingkat pembangunan ekonomi, dan ketergantungan pada perdagangan dan keuangan internasional merupakan faktor-faktor yang menentukan dampak de-dolarisasi terhadap suatu negara. Negara-negara berkembang mungkin mengalami ketidakstabilan mata uang dan inflasi, yang dapat mempengaruhi arus perdagangan dan investasi, sehingga lebih sulit mengakses pasar internasional.

Dominasi dolar AS dalam perekonomian global berdampak buruk pada pasar negara berkembang, terutama ketika dolar sedang kuat. Penguatan dolar dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakstabilan ekonomi di negara-negara berkembang karena depresiasi nilai tukar, terbatasnya ketersediaan kredit, dan penurunan arus masuk modal. Dampak dari penguatan dolar lebih parah di negara-negara emerging market dibandingkan dengan negara-negara maju, karena negara-negara tersebut memiliki fleksibilitas yang terbatas dalam kebijakan moneter dan mungkin kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melawan dampak negatif dari penguatan dolar.

Penurunan mata uang Taiwan baru-baru ini ke level terendah dalam hampir delapan tahun menggarisbawahi tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam menghadapi penguatan dolar. Demikian pula, rekor terendah yang dicapai rupee India menandakan devaluasi mata uang tersebut terhadap dolar AS secara signifikan. Selain itu, ringgit Malaysia mendekati titik terlemahnya sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998, yang menunjukkan kerentanan negara-negara berkembang terhadap pengaruh dolar yang kuat.

Implikasi

Usulan aliansi BRICS baru-baru ini agar negara-negara Timur Tengah berhenti menerima dolar AS untuk pembayaran minyak dan sebagai gantinya menggunakan mata uang lokal dapat menimbulkan konsekuensi yang luas terhadap ketergantungan ekonomi global pada dolar AS. Dolar AS dikenal luas sebagai mata uang cadangan dan alat tukar, karena banyak negara yang menyimpan cadangan dolar untuk berbagai tujuan, termasuk mengelola guncangan ekonomi, membiayai impor, melunasi utang, dan mengatur nilai mata uang. Dominasi dolar AS terutama disebabkan oleh peran pentingnya dalam penetapan harga minyak, karena lebih dari 90 persen transaksi di pasar valuta asing menggunakan dolar.

Upaya BRICS untuk mendedolarisasi sistem keuangan internasional berpotensi mengurangi efektivitas sanksi AS, yang merupakan alat penting dalam kebijakan luar negeri, khususnya dalam memerangi jaringan teroris, rezim jahat, dan organisasi kriminal. Jika semakin banyak negara yang menggunakan mata uang lokal untuk pembayaran minyak, porsi dolar AS dalam cadangan devisa resmi akan semakin menurun, sehingga berpotensi melemahkan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.

Meski demikian, de-dolarisasi bukannya tanpa tantangan. Dominasi dolar AS sudah mengakar kuat, dan peralihan ke mata uang alternatif akan mengharuskan banyak eksportir, importir, peminjam, pemberi pinjaman, dan pedagang mata uang di seluruh dunia untuk secara mandiri memilih menggunakan mata uang lain. Selain itu, aliansi BRICS terdiri dari berbagai negara dengan kesenjangan ekonomi, politik, dan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengambilan keputusan berdasarkan konsensus merupakan tugas yang berat.

Terlepas dari hambatan-hambatan ini, aliansi BRICS tetap teguh dalam upaya de-dolarisasi, yang dapat berdampak signifikan terhadap sistem keuangan global dan pengaruh AS. Meskipun peralihan dari dolar AS dapat melemahkan efektivitas sanksi AS, hal ini juga dapat mendorong otonomi ekonomi dan keuangan yang lebih besar bagi negara-negara yang berpartisipasi, sehingga berpotensi berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi global.

Kesimpulannya, usulan aliansi BRICS kepada mitra-mitra Timur Tengah untuk menghentikan perdagangan minyak dalam dolar AS mempunyai implikasi ekonomi global. Jika perubahan ini terjadi, hal ini dapat menantang dominasi dolar sebagai mata uang cadangan dunia, sehingga berdampak pada sanksi AS dan stabilitas keuangan global. Negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada dolar mungkin menghadapi risiko mata uang, ketidakstabilan ekonomi, dan kerentanan terhadap guncangan eksternal. Dominasi dolar membatasi fleksibilitas kebijakan moneter dan mempengaruhi daya saing perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.

Zubair Mumtaz adalah Analis Konflik dan M.Phil. Sarjana di Universitas Pertahanan Nasional dalam Studi Perdamaian & Konflik, dengan spesialisasi Konflik Asia Selatan dan Strategi Resolusi Konflik. Saat ini dia bekerja di Radiant Journal Foundation sebagai Research Associate, dan mengeksplorasi kompleksitas dinamika regional/Global, menawarkan perspektif mendalam mengenai masalah keamanan dan konflik. (*)

Sumber:www.eurasiareview.com
Exit mobile version