BPS Dinilai Salah Fatal dalam Mengukur Kemiskinan

(ILUSTRASI): Kesenjangan sosial-ekonomi. Foto: Blog Unnews

(ILUSTRASI): Kesenjangan sosial-ekonomi. Foto: Blog Unnews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada September 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah penduduk Indonesia yang tergolong hidup miskin mencapai 26,58 juta orang atau 10,12 persen. Menurut BPS, angka tersebut berkurang jika dibandingkan Maret 2017 yang mencapai angka 27,77 juta orang atau 10,64 persen.

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Menurut pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng, pendekatan pengeluaran adalah pendekatan yang bersifat makro tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sementara kemiskinan terjadi pada level mikro, rumah tangga dan perorangan.

Baca juga: Per Agustus 2017 INDEF Sebut Pengangguran Alami Peningkatan Tajam

“Semakin besar pengeluran semakin kaya seseorang. Ini jelas fatal! Cara semacam ini jelas kejam. Karena semakin banyak ekonomi menguras uang masyarakat maka akan terlihat masyarakat makin kaya,” kata dia, Jakarta, Selasa (17/4/2019).

Dia menuturkan, jika terjadi wabah dan penyakit maka secara otomatis pengeluran masyarakat semakin bertambah. “Jadi semakin penuh rumah sakit maka kemiskinan makin berkurang,” ucapnya.

“Kalau pemerintah terus menaikkan harga kebutuhan publik seperti transportasi, listrik dan BBM maka kemiskinan akan tampak berkurang padahal faktanya rakyat makin menderita karena terpaksa membayar lebih mahal,” bebernya.

Peneliti AEPI ini menambahkan pendekatan besarnya pengeluaran sama sekali tidak memperhitungkan sumber dana masyarakat, apakah dari menjual aset dan harta benda mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi semakin banyak harta benda rakyat yang hilang untuk membiayai kebutuhan hidup, maka kemiskinan berkurang.

Baca juga: Pengangguran Masih Tinggi, Presiden Jokowi Ingin Tenaga Kerja Asing Dipermudah Bekerja di Indonesia

“Ini jelas manipulatif,” cetusnya.

Lebih lanjut dia mengatakan semakin banyak beban hutang masyarakat dalam membiayai kebutuhan sehari-hari tidak dapat diartikulasi oleh cara BPS menghitung kemiskinan. Ini sama dengan semakin banyak hutang masyarakat maka mereka tidak akan miskin. Ini jelas menjerumuskan masyarakat dalam jebakan utang kartu kredit atau rentenir.

“Semakin tinggi pajak dan pungutan lain oleh pemerintah yang bersifat memaksa, maka pengeluaran masyarakat pasti bertambah. Jadi kemiskinan akan berkurang kalau pemerintah semakin dalam menjalankan strategi kolonial dengan memeras pajak. Jadi sistem yang pemerintah anut ini adalah tragedi kemanusiaan,” tuntasnya. (red)

Editor: Gendon Wibisono

Exit mobile version