NUSANTARANEWS.CO – Seperti ramai diberitakan belakangan terkait kasus tewasnya terduga teroris Siyono, suka tidak suka telah menambah daftar panjang jumlah korban jiwa karena kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sudah ada 121 orang tewas akibat dituduh sebagai teroris.
Reformasi tampaknya telah kebablasan karena telah membiarkan tindakan semena-mena aparat keamanan menghabisi nyawa orang seenaknya dengan alasan telah sesuai prosedur. Bila hal ini berlangsung terus, maka bisa menimbulkan ketakutan orang banyak terhadap aparat keamanan. Sehingga aparat bukan dicintai masyarakat malah menjadi musuh masyarakat.
Dalam konteks kebablasan ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius berjanji akan mengedepankan cara-cara yang humanis untuk mencegah radikalisme.
Suhardi mengatakan, untuk mengatasi radikalisme ini tidak bisa sendirian. Tapi, kata dia, harus bersama-sama dengan berbagai kementerian atau lembaga terkait dan semua elemen masyarakat. “Nggak bisa parsial. Harus terintegrasi. Bersamaan,” katanya.
Ketika ada salah satu anggota dalam sebuah keluarga, lanjut Suhardi, maka masyarakat tidak boleh memarjinalkan semua anggota keluarga tersebut. Bahkan, ia mengusulkan agar negara menfasilitasi untuk berwirausaha. “Hal-hal seperti ini belum maksimal,” kata dia.
Disamping itu, Suhardi juga kembali meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informasi memainkan perannya. Kominfo diminta agar memblokir situs-situs yang dianggap berbahaya dengan melakukan propaganda-propaganda kebencian. “Sehingga masyarakat kita tidak terpapar. Ruang ruang ini yang kita coba dirumuskan dan akan disampaikan ke Pansus,” katanya.
Ditambahkan Suhardi, perlu format tepat untuk menangani seseorang yang baru saja mengikuti pelatihan radikalisme atau usai melakukan pertempuran fisik. Untuk mengatasi orang tersebut, tidak bisa serta merta langsung menanyakan apa yang dilakukanya selama ini. “Ini perlu format yang jelas,” tandas Suhardi. (RAFIF/AHMAD)