Berita Iklan Meikarta Masif, GEPRINDO: Bukti Iklan Berkedok Berita

Proyek Meikarta. (Foto: Sindo)

Proyek Meikarta. (Foto: Sindo)

NusantaraNews.co, Jakarta – Gerakan Pribumi Indonesia (GEPRINDO) mencatat, iklan Meikarta ternyata sangat masif dipublikasikan di media-media mainstream. Setiap hari bisa ada 2 sampai 5 iklan yang berkedok sebagai berita dengan judul dan konten bervariasi.

“Dari isinya memuji-muji kehebatan konsep Meikarta, keuntungan membeli properti di meikarta, juga menyinggung kompetitor yang bergerak di usaha yang sama. Biasanya ada tulisan “iklan” di bawah atau di atas sebuah iklan yang dipasang dalam bentuk tulisan, namun anehnya iklan meikarta tidak ada tulisan iklannya,” ungkap Presiden GEPRINDO, Bastian P Simanjuntak dalam pernyataan tertulisnya kepada Redaksi NusantaraNews.co, Rabu, 13 September 2017.

“Membaca Iklan-iklan yang berkedok sebagai berita di media mainstream, mengingatkan saya pada pilpres 2014 lalu, dimana detik, kompas, tempo bertubi-tubi memberitakan kehebatan Jokowi dan Ahok dalam memimpin rakyat,” imbuh Bastian.

Karena, kata dia, begitu hebatnya media-media mainstream memainkan kata-kata dan infografis, berakibat sebagian masyarakat memandang kedua sosok tersebut seperti bukan manusia biasa.

“Mereka menjadi seperti “Hero” atau mirip seperti “Super Man” yang sedang diserang oleh bandit-bandit di Indonesia, sehingga masyarakat menjadi kehilangan pikiran kritis dan selalu berpersepsi bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi dan Ahok adalah kebaikan dan kebenaran. Sedangkan apa yang dipertentangkan oleh masyarakat yang lain terhadap Jokowi dan Ahok dianggap sebagai serangan dari orang-orang yang jahat,” cetusnya.

Menurut Bastian, zaman sekarang zamannya informasi teknologi, seorang pengusaha, penulis, filsafat dari Amerika Shed Godin pernah mengatakan “apabila kita hidup di dunia dimana informasi akan mengarahkan kita kepada apa yang kita lakukan, maka informasi itu akan menjadi hal yang paling penting, orang yang memilih informasi itu akan memiliki kekuatan”.

“Sangat dasyat peran informasi dalam arah kehidupan kita, baik dalam konteks kepribadian maupun dalam konteks sosial politik,” ujarnya.

Dalam pidato Jokowi, lanjutan Bastian mencontohkan, di depan Warga Negara Indonesia di singapura beberapa hari lalu, Presiden Jokowi mengatakan “Media mainstream masih bisa di kontrol oleh pemerintah sedangkan media sosial sangat sulit di kontrol”.

“Barangkali inilah sebabnya Jokowi meminta Kapolri untuk bertindak tegas terhadap pengguna sosial media yang kerjaanya mengkritik pemerintah,” cetus Bastian lagi.

Kembali lagi terkait Meikarta yang pasang iklan berkedok berita di media Detik, Kompas, dan Tempo, sambung Bastian, tentunya ada transaksi yang dilakukan antara Lippo dengan media-media mainstream tersebut. Yang menjadi pertanyaan kemudian, kata dia, adalah apakah media mainstream di tahun 2014 lalu yang mengagung-agungkan Jokowi dan Ahok dengan kedok sebagai berita, juga sarat dengan transaksi? Tentunya dalam politik tidak ada makan siang yang gratis.

“Publik bisa mengira-ngira bagaimana proses transaksi antara politisi dengan media mainstream yang tentunnya bisa dilakukan dalam bentuk lain. Sempat tersiar kabar politisi yang didukung oleh pengusaha pengusaha besar mendapatkan akses pemberitaan yang sangat baik,” sebut Bastian.

Apalagi, lanjutnya, banyak pengusaha besar yang juga memiliki media-media sendiri. Transaksi bisa dilakukan dengan menukar iklan perusahaan di media-media mainstream tersebut.

“Sebagai contoh misalkan saya pemilik perusahaan PT. Angin ribut, saya akan bargaining dengan media tertentu untuk sesering mungkin memberitakan politisi yang saya dukung untuk menaikan popularitas dan elektabilitas, sebagai timbal baliknya saya akan sering memasang iklan perusahaan saya di media mainstream disebut,” imbuhnya mencontohkan.

Jadi, kata Bastian, transaksi antara politisi dengan media untuk mengangkat popularitas maupun elektabilitas sebenarnya wajar-wajar saja. Asalkan media tetap pada posisi netral dan rubrik tentang politisi yang diangkat di media harus diberikan keterangan sebagai iklan, sehingga masyarakat pembaca bisa membedakan yang mana yang berita yang mana yang iklan.

“Iklan yang menyamar sebagai berita bisa dikategorikan sebagai pembohongan publik, karena sifat iklan selalu subyektif, menghebat-hebatkan, mengagung-agungkan pemasang iklan,” cetus Bastian.

Jadi, lanjutnya, sangat beberbahaya jika media mainstream secara subjektif menghebat-hebatkan atau mengagung-agungkan politisi dengan kedok berita, karena dampaknya bisa sangat menyesatkan, coba bayangkan apa yang terjadi jika ada politisi korup yang didukung pengusaha pemasang iklan, mencitrakan politisi korup tersebut sebagai orang yang anti korupsi, jika ia terpilih maka dampaknya bisa sangat menghancurkan bangsa dan negara kedepannya.

“Seperti inilah kerjaannya Hacker Demokrasi, harus segera di hentikan. Dewan pers seharusnya bisa menindak media-media mainstream yang melakukan hal-hal seperti yang saya maksud di atas tadi, agar masyarakat tidak tertipu lagi dengan iklan yang berkedok berita,” seru Bastian mengakhiri.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version