Benarkah Keterangan Pers Bersama yang Dikeluarkan Pemerintah Sebuah Propaganda?

keterangan pers bersama, perekonomian indonesia, propaganda ekonomi, fuad bawazier, ancaman krisis, skandal keuangan, skandal ekonomi, defisit transaksi berjalan, kementerian keuangan, ojk, bi, lps, kementerian perekonomian, kondisi perekonomian nasional, tahun politik, nusantaranews
Kurs rupiah terhadap dolar terus mengalami penurunan drastis, apakah Indonesia dilanda krisis ekonomi? (Foto: Ilustrasi/Ist)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Menteri Keuangan Dr Fuad Bawazier memiliki sejumlah catatan mengomentari keterangan pers bersama yang dikeluarkan pemerintah, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Simpanan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI). Keterangan pers bersama itu dikeluarkan pada Senin (28/5) lalu yang secara umum menjabarkan soal kondisi perekonomian Indonesia.

Namun, Fuad Bawazier mengkritisi sejumlah hal yang termaktub di dalam keterangan pers bersama tersebut. Pertama ia menilai ini merupakan sebuah fenomena tak biasa, apalagi dilakukan secara tiba-tiba di tengah karut marutnya kondisi perekonomian nasional dan bertepatan dengan tahun politik yangs ejak 1998 selalu didahului dengan skandal.

Baca juga: Ini Isi Keterangan Pers Bersama Kemenko Ekonomi, Kemenkeu, BI, OJK dan LPS

Berikut pandangan dari Fuad Bawazier dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis (31/5/2018).

Tidak biasanya, tiba tiba saja pada 28 Mei 2018 Pemerintah (Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian), BI, OJK, dan LPS menerbitkan Keterangan Pers Bersama (KPB) tentang penguatan koordinasi dan bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian dengan menyebutkan kondisi perekonomian Indonesia cukup baik dan kuat. Tentu tujuan KPB ini untuk menenangkan masyarakat.

Bagi saya ini berarti pemerintah menyadari bahwa ada sesuatu yang serius dalam perekonomian Indonesia yang membuat pelaku pasar gelisah, sehingga tidak tradisinya menerbitkan KPB. Tapi bisa jadi dengan KPB yang tidak biasanya ini, apalagi dengan menyebutkan ancaman krisis dan UU No 9/2016 tentang krisis, pelaku pasar semakin was-was.

Sayangnya, argumentasi dan pernyataan pernyataan yang dikemukakan dalam KPB ngambang dan tidak full disclosure sehingga bagi orang yang mengerti ekonomi seketika saja tahu bahwa KPB itu semacam propaganda untuk menutupi kepanikan sekaligus mengantisipasi ancaman krisis. Paling tidak, dengan cara KPB ini pemerintah telah menyeret atau mencoba berbagi tanggung jawab dengan BI, OJK dan LPS.

Bagaimana bukan propaganda bila hal-hal yang paling bermasalah sekarang ini yaitu defisit Transaksi Berjalan, dalam KPB ini hanya disinggung (ditutupi?) dengan mengatakannya sebagai berikut: “…….. defisit meningkat pada Triwulan I 2018 menjadi 2,1% dari PDB tetapi masih lebih rendah dibandingkan Triwulan I tahun 2013 ……….”. Semestinya dibandingkan dengan targetnya dan dengan tahun sebelumnya (2017).

Begitu pula pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2018 yang hanya disebutkan tumbuh 5,06% tanpa perbandingan dengan targetnya (5,4%) ataupun tahun sebelumnya.

Disebutkan bahwa defisit Transaksi Berjalan tahun 2018 diperkirakan di bawah 2,5% dari PDB sehingga masih aman karena tidak melebihi 3% dari PDB. Argumentasi-argumentasi normatif dan formalitas seperti ini juga biasa digunakan pemerintah untuk menjustifikasi defisit APBN yang maksimum 3% PDB dan utang negara yang maksimum 60% PDB sesuai UU Keuangan Negara No 17 Tahun 2003, tanpa menggunakan ukuran atau batasan yang jelas tentang kemampuan bayarnya agar tidak gali lobang tutup lobang seperti sekarang ini.

KPB juga membandingkan keterpurukan kurs rupiah dengan mata uang Turki dan Brazil, bukannya dengan mata uang sesama negara ASEAN.

Sedangkan terhadap jatuhnya IHSG di BEI disebutkan sebesar 5,98% masih terkendali dan itu karena keluarnya arus modal asing dari pasar saham. Sayangnya tidak disebutkan berapa modal asing yang keluar dari pasar saham atau ekonomi Indonesia pada umumnya.

Singkat kata, KPB itu lebih tepat disebutkan sebagai permainan kata-kata dan kalimat tetapi tidak full disclosure, untuk tidak mengatakan propaganda bohong.

Jujur saja kami kasihan atau prihatin pada BI, OJK dan LPS yang berdasarkan sistem keuangan nasional sekarang ini seharusnya independen, kini dibawa-bawa untuk ikut bertanggung jawab pada kondisi perekonomian pada umumnya.

Pada saat yang bersamaan, dalam dokumen KPB ini juga disebutkan adanya UU No 9/Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis yang memberikan kewenangan istimewa bagi Pemerintah, BI, OJK dan LPS bertindak dalam hal terdapat ancaman krisis. Kewenangan istimewa ini diperkuat atau dipermudah penggunaannya sebagaimana termuat dalam UU APBN 2018 yang juga sudah kami kritisi karena mengandung semangat moral hazard yang tinggi.

Jadi, bukan tidak mungkin atau cukup berdasar bagi kami yang sering mengingatkan bahwa tahun politik identik dengan tahun krisis ekonomi seperti tahun 1998 dengan skandal BLBI, tahun 2008 dengan skandal Bank Century dan tahun 2018 dengan skandal, ‘tanyalah pada ahlinya/pemainnya!’ (red/ed/nn)

Editor: Gendon Wibisono

Exit mobile version