Bangsa Indonesia Harus Belajar Dari Gelombang Globalisasi Kedua

Bangsa Indonesia Harus Belajar Dari Gelombang Globalisasi kedua

 

NUSANTARANEWS.CO – Bangsa Indonesia harus belajar dari gelombang globalisaasi kedua. Dari pengalaman globalisasi kedua, secara empiris telah kita saksikan bahwa dalam pergulatannya dengan proses globalisasi, ada bangsa-bangsa yang berhasil menjadi makmur, dan ada pula bangsa-bangsa yang gagal dan kurang berhasil memberikan kemakmuran kepada rakyatnya.

Bangsa-bangsa yang berhasil adalah bangsa-bangsa yang cerdas mengelola globalisasi di negerinya sendiri; dan bangsa-bangsa yang gagal atau kurang berhasil adalah bangsa-bangsa tidak mampu memanfaatkan globalisasi itu untuk menjaga kepentingan nasionalnya. Ketidakberhasilan itu seringkali berpangkal pada godaan untuk “memperkaya diri” dan “memupuk kepemimpinan oligarkis” dari rejim yang berkuasa.

Melihat masih luasnya kemiskinan di Indonesia dan masih sulitnya orang miskin untuk bertahan hidup, menjadi indikasi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang boleh dibilang gagal mengelola globalisasi malah terombang-ambing oleh turbulensi globalisasi itu sendiri. Nah, belajar ketika menghadapi gelombang globalisasi kedua yang baru saja berlalu, tentu kita tidak boleh gagal lagi menghadapi gelombang globalisasi ketiga yang akan segera datang.

Bangsa Indonesia ditantang untuk menghadapi globalisasi ketiga yang diperkirakan sangat dahsyat tapi lebih proporsional dan cerdas. Dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah apabila dipadukan dengan kesanggupan bangsa Indonesia untuk mengelola saling ketergantungan bangsa-bangsa di bumi nusantara, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat membebaskan rakyatnya dari cengkeraman kemiskinan.

Zaman baru yang dibentuk oleh globalisasi ketiga dan kecenderungan yang makin nyata ke arah sentralisasi kapital dengan semua implikasinya, haruslah digunakan sebagai momentum untuk mencapai cita-cita itu.

Kapitalisme, tetap kapitalisme. Oleh karena itu, globalisasi cenderung tetap membawa ketidakadilan, karena globalisasi adalah bentuk baru dari kapitalisme. Tetapi di sisi lain, ada benarnya juga pernyataan yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa miskin tidak akan berubah menjadi kaya, bila bangsa itu tidak membuka diri terhadap proses globalisasi.

Misalnya, bangsa Somalia yang pada tahun 1960 mempunyai pendapatan per kapita 10% lebih tinggi dari pendapatan per kapita bangsa Korea Selatan – tapi empat puluh lima tahun kemudian, pendapatan per kapita bangsa Korea Selatan yang membuka diri terhadap globalisasi, menjadi sepuluh kali lipat pendapatan per kapita bangsa Somalia yang menutup diri terhadap globalisasi. Pendapatan per kapita Korea Selatan mengalami kenaikan lebih dari 1.000%, sementara itu pendapatan per kapita Somalia justru turun 33%. (as)

Exit mobile version