Bali (Masih) Menjadi Contoh Terbaik Pengelolaan Industri Pariwisata di Indonesia. Sambutan Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) dalam acara pembukaan Musyawarah Nasional XIII (MUNAS) KAGAMA di Hotel Grand Inna Beach, Sanur, Bali pada tanggal 15 Nopember 2019 cukup menggelitik para hadirin dan peserta Munas. Bagaimana tidak, Mas Ganjar (begitu sapaan kami) menyampaikan, bahwa tanpa adanya kegiatan Munas Kagama yang berlangsung waktu itu, maka industri pariwisata Bali bisa berada dalam keadaan low season (musim kunjungan rendah), dan itu merugikan masyarakat Bali secara keseluruhan.
Pernyataan Ketua Umum Kagama yang juga Gubernur Jawa Tengah itu adalah sebagai tanggapan (response) atas sambutan selamat datang yang disampaikan oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster yang menyampaikan data, bahwa perekonomian Bali sangat tergantung pada industri pariwisata, yaitu sekitar 60-68 persen kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Apakah benar lebih dari separuh dari sumbangan industri lainnya, bagaimana caranya supaya perekonomian Bali tak hanya bergantung pada satu industri penopang saja?
Kontribusi Industri Pariwisata
Informasi yang disampaikan oleh Gubernur Bali itu, oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Bali telah dikonfirmasi dengan melakukan sebuah uji coba data (exercise) terkait sumbangan industri pariwisata Bali terhadap perekonomian Bali dalam bentuk menghitung TSA (tourism satellite account/PDRB khusus menghitung aktivitas pariwisata) yang dipublikasikan pada bulan September 2019. Dan, hasilnya, pariwisata Bali menyumbang 48,3 persen terhadap perekonomian Bali, bukan 60-68 persen seperti yang disampaikan I Wayan Koster tersebut. Angka 48,3 persen ini memang hanya jasa pariwisata, tidak termasuk jasa keseluruhan baik pendidikan, kesehatan dan yang terkait lainnya.
Berdasarkan data itu, maka Pemda Bali seharusnya berinisiatif melakukan penghitungan kontribusi sektor pariwisata secara lebih baik, valid dan terkini (up date). Namun inisiatif itu, menurut Kepala BPS Provinsi Bali, Adi Nugroho tidak kunjung dilakukan, yang akhirnya BPS kembali mengambil inisiatif melakukan data exercise atas sumbangan industri pariwisata terhadap perekonomian Bali, dan angka yang terbaru didapat yaitu 50,02 persen.
Pergerakan angka pertumbuhan industri pariwisata dari Tahun 2007 hingga 2015 mengisyaratkan bahwa pariwisata Bali masih berpeluang untuk ditumbuhkan. Sebab, berdasar data pada Tahun 2007 dan 2015 itu, angkanya memang naik dengan telah memperhitungkan eliminasi atas inflasi dan indikator lainnya. Artinya, terdapat produk-produk dalam industri pariwisata Bali yang mengalami peningkatan dan terserap oleh pasar.
Selain itu, sektor industri di luar pariwisata sumbangannya hanya 18 persen. Sedangkan industri manufaktur (sektor sekunder) tidak ada sama sekali sumbangannya bagi pertumbuhan ekonomi Bali, yang berarti tidak adanya produk yang diolah di Bali.
Hal itu berarti perekonomian Bali sangat didominasi oleh pergerakan ekonomi jasa (sektor tersier). Walaupun perekonomian Bali cukup kuat, sesungguhnya ada bahaya tersendiri bagi Bali jika secara berkelanjutan harus tergantung pada industri pariwisata ini, dan ini perlu diwaspadai oleh Pemda Bali karena daerah-daerah lain yang muncul sebagai pesaingnya kelak, dengan ketiadaan sama sekali industri manufaktur.
Tumbuhkan Desa Wisata
Bagaimanapun, industri pariwisata di Bali (tourism and services management) dengan angka kontributif terhadap perekonomian daerah itu, sekaligus menunjukkan bahwa Bali masih merupakan daerah yang terbaik dalam pengelolaannya. Pengelolaan industri pariwisata di Bali dimulai saat para wisatawan mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang bersih, tertata dan luas.
Keramahan petugas dan warganya telah memberikan kesan tersendiri bagi mereka yang berkunjung ke Bali, tak ada orang-orang yang menarik-narik para wisatawan yang membuat orang merasa tidak aman dan nyaman untuk menumpang kendaraan atau menginap di hotel tertentu. Semua informasi awal bagi wisatawan telah lengkap tersedia di bandara, maka tak heran apabila Ma’arif Institute melalui penelitiannya yang juga disampaikan oleh Buya Syafi’i Maarif memberikan penilaian kota yang paling Islami dari aspek ini.
Tantangan ke depan bagi perekonomian di Bali adalah, selain hanya tergantung pada industri pariwisata, adalah sebaran daerah tujuan wisata yang belum merata. Oleh karena itu, menumbuhkan desa-desa wisata adalah sebuah keniscayaan agar konsentrasi wisatawan tak hanya berada di sekitar Kuta, Nusa Dua dan Sanur. Bali, sebagaimana juga Sumatera Barat punya ragam wisata di pedesaan yang lengkap, disamping kuatnya kelembagaan adat yang menopang ekonomi desa seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Resiko suatu wilayah jika didominasi dan tergantung pada satu sektor industri saja adalah, tak bisa dilepaskan dari kerentanan dan elastisitas wilayah tersebut, apabila di kemudian hari industri pariwisata anjlok. Oleh karena itu, pertumbuhan suatu wilayah yang ideal seharusnya tidak bertumpu pada satu sektor saja. Karena jika bertumpu pada satu sektor dan sektor tersebut mengalami penurunan secara tiba–tiba, maka perekonomian akan turun, apalagi kalau bertumpu juga pada kunjungan wisatawan mancanegara an sich.
Di sinilah pentingnya penguatan kelembagaan entitas ekonomi konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) menjadi relevan untuk dijalankan dalam mengatasi ketimpangan ekonomi kota dan desa. Selamat melakukan perbaikan warga dan Pemda Bali dan selanat mengemban amanah kembali kepada Ganjar Pranowo sebagai Ketua Umum KAGAMA terpilih untuk periode 2019-2024.
Oleh: Defiyan Cory, pemerhati ekonomi