Cerpen: Saptarini Ellysa*
Hawa dingin kembali menusuk tulang. Menjamah tubuh tanpa malu pada remang – remang yang sedang berkencan dengan sinar kunang – kunang. Jonathan kembali termangu menatap halaman pada pagar rumahnya yang sedikit tidak terawat karena, keluarga mereka baru saja kehilangan pembantu yang tewas 2 bulan lalu.
Claire mencoba membantu menghangatkan suasana dengan membawa segelas coklat panas.
“bukankah akan lebih indah jika bulan itu ditemani dengan ribuan bintang – bintang?”
Jonathan memandang ke atas mengamati dalam – dalam pemandangan yang bertolak belakang dengan hidupnya.
“memang benar, tapi aku ditakdirkan hanya sebagai lampu trotoar, yang dibutuhkan hanya saat malam pekat lantas dibuang ketika aku telah rusak.”
Jonathan menghembuskan napas lalu menyeruput coklat panasnya. Kembali bergelut dengan bintang yang tak pernah sekalipun kontra dalam hidupnya. Hanya Claire yang mampu bertahan bersama Jonathan berjalan di tepi jurang gelap dan jalanan terjal. Malam seakan betah berlama – lama mengejek mendung yang lama melekat pada hati seorang Jonathan. Dia berbaring namun susah sekali untuk memejamkan matanya. Hitungan domba tidak dapat membantu membuka dunia mimpinya.
“Bruukkkkk …… Aaaaarrghhhtt..
Paaa ampuunn tolong !!!
“RASAKAN KAMU ANAK NAKAL, DASAR BAJINGAN CILIK, kamu pantas mendapatkannya”. Brukkk.. aaarrggg…. Tolong hentikan !!!
“Paa, tolong hentikan, kasian Jonathan dia tidak salah”
“PLAKK” sebuah tangan kekar mendarat tepat di pipi wanita sekira umur menginjak kepala 3.
“DASAR JALANG, KAU JUGA TAK PERNAH BECUS MEMELIHARA ANAK”.
Brukkk..
“Maaaa ,Mamaaa…….
“Jonathan bangun, ini mama nak,…
Jonathan bangun dengan tatapan garang dan napasnya mulai naik turun. Jantungnya berpacu cepat. Keringat mulai bercucuran membuat basah kaos yang dikenakannya. Madam Marine mencoba menenangkannya dengan memberikan air putih dan 3 kapsul. Napas Jonathan kembali teratur, dan dengan perlahan keadaannya kembali tenang.
“Kamu lupa meminumnya lagi kan?”
Jonathan bangkit dan lebih memilih menghiraukan wanita yang kini sudah setengah baya itu. Dia melangkah menghampiri air dingin sebelum sinar mentari lebih dulu menjamah tubuhnya lalu merampas sebagian keringatnya. Bersama dengan guyuran air seakan Jonathan meluruhkan dan mengupas semua bebannya.
“Kau sudah sarapan ?” Claire menghampiri Jonathan, lagi – lagi dengan suasana hati yang tidak sesuai dengan mentari tersenyum ditemani dengan ribuan ilalang menari untuk menyambut hari cerah nan bahagia.
“aku memang bukan siapa- siapa tapi aku akan tetap disini disampingmu supaya bisa membantumu.”
“kau tidak akan mengerti apa yang telah kualami. Hidup ternyata tidak semudah menangkap capung di halaman rumah bersama teman – teman lantas tertawa riang dengan hanya melihat capung itu perlahan mati digenggaman kita. Aku tak ubahlah hanya capung itu”
“setidaknya, kau bisa memilih untuk terbang mengintari hantaran ilalang yang indah sebelum eksekusi itu. Dan berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam sisa hidup singkatmu .”
“HENTIKAN CLAIRE !! Kau tidak tau apa –apa tentang hidupku.”
“Apa yang kamu bilang, aku ada disana dan aku melihat jelas kejadian itu, bagaimana bisa aku tidak tau apa –apa.”
“APA?? Bagaimana bisa?
“entahlah, yang jelas aku benar – benar ada disana”
Jonathan pergi menghampiri bongkahan kayu. Mengambil kapak dan siap memotong dahan menjadi beberapa potongan – potongan. Namun..
“Crakkk”…
Dia lebih memilih mengakhiri hidup seekor kambing yang tidak beruntung karena berani melewati kawasan makhluk berdarang dingin. Dengan sekali tebasan hewan itu tewas dengan kepala terpenggal menyisakan cairan merah yang menyeketsakan gambaran – gambaran hidup makhluk keji yang ada dihadapannya. Jonathan duduk di bongkahan kayu itu sambil menyembulkan asap rokoknya. Dengan tangan yang masih berlumuran darah sambil memegang botol beer. Bayangan itu kembali mengajaknya berkelana, bertamasya menuju kekhawatiran dan kegelisahannya kembali. Tangan besar nan kekar, pukulan golf, pecahan piring, isakan dan hingga akhirnya menuju pukulan, teriakan, gairah dan kapak.
Glek.
Seketika itu, dia menjatuhkan kapaknya. Berlari menuju pekarangan rumahnya dan mencuci tangan akibat eksekusi yang sadis. Menuju dapur lantas mengambil beberapa pil kemudian menenggaknya dengan sekali tenggakan. Nafasnya mulai teratur, detak jantung mulai stabil.
“bagaimana kalau kita menonton tv sambil menunggu ibu pulang?” Claire menghampiri Jonathan mengajaknya ke ruang tamu. Waktu siang juga terasa sangat singkat. Seakan hidup Jonathan tidaklah diharapkan lagi oleh sang hari. Dengan keterbuktiaanya yang tidak betah dengan keadaan Jonathan. Acara di TV tidak menarik sedikit perhatiannya. Jonathan memang memandang lurus akan gambar yang ada TV namun pikiran dan hatinya tetap tak mau menetap dan tinggal bersama diri Jonathan. Namun mata itu akhirnya berhasil tertuju pada salah satu acara TV yang mana memberitakan bahwa terdapat seorang Ayah dipenjara akibat menyiksa dan membunuh balitanya sekira umur 3 tahun. Dan seketika itu waktu kembali berputar berhenti pada satu titik. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat, kegelisahannya memuncak pada titik teratas dan karingatnya tak berhenti mengucur.
“kau tidak apa – apa?
“CUKUP CLAIRE , JANGAN SOK PERHATIAN.”
“APA? Kau sungguh tidak berterima kasih. Sisa waktuku terkuras hanya demi dirimu.”
“Dan untuk apa? Aku tidak pernah menyuruhmu melakukan hal itu. Kau tidak mengerti apa – apa tentang aku.”
“TIDAK MENGERTI APA –APA KAMU BILANG. Sudah aku katakan. Aku ada disitu . aku melihat semuanya.”
“Lihat ini !!”
Claire menunjukan luka disela sela jidat kiri yang tersembunyi akibat uraian rambut. Dan dia menunjukan luka bekas jaitan di bagian lengan dalamnya. Pacuan jantung Jonathan lebih cepat dari sebelumnya. Nafasnya mulai tersengal – sengal. Dia berlari menuju kamarnya. Membanting pintu dengan sangat keras.
“Apa Dok, dia harus dibawa ke yayasan untuk penanganan lebih lanjut?”
“Betul Madam, karena GID yang dialaminya sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan dan serius”
“Tapi dok, kan masih bisa dengan penanganan obat yang diminumnya saat ini, apa kita hanya perlu menambah obat – obat lain atau menambah jam perawatan. Bissakah dok?”
“tidak bisa, sepertinya akibat traumatis dimasa lalu Jonathan yang mengerikan itu membuatnya tidak mudah untuk mengembalikan kondisinya dalam keadaan normal.”
Madam Marine pasrah akan keputusan dokter. Dia tidak mampu berbuat lebih untuk kondisi Jonathan. Sepanjang jalan dia tidak konsentrasi dalam mengemudinya. Beruntung kondisi saat itu jalanan sepi. Madam Marine terisak dengan kembali mengingat dimana Ayah Jonathan menampar pipinya. Meludah, mengumpat, dan memukul anaknya sampai bertubi – tubi. Mendorong tubuhnya untuk mencegat supaya Jonathan tidak dapat mendapat pembelaan. Pukulan golf dan pecahan piring itu mendarat dengan mudahnya menghampiri awal kisah hidup terburuk dalam hidup anaknya. Akibat kejadian itulah Madam Marine tidak tahan dan memutuskan hubungan dengan Ayah Jonathan dengan berakhir di meja hijau. sesampai dirumah. Madam Marine diherankan dengan banyaknya mobil polisi dan suara sirine ambulance yang berteriak berkali – kali di depan rumahnya. Buru – buru Madam Marine berlari menghampiri rumahnya dengan jejak air mata yang belum sepenuhnya terhapus.
“Pak, apa yang telah terjadi di rumah saya.?”
“Oh Madam Marine jumpa lagi dengan anda. Mohon maaf karena tadi tetangga anda melapor bahwa dirumah anda terjadi kegaduhan. Dan dia tidak berani mengeceknya,untuk itu dia menelpon kami. Lantas kami kesini dan menemukan anak anda sudah tergeletak dengan kondisi tangan dan kikinya terputus. Saya turut berduka cita yang sedalam – dalamnya.”
“Astaga Jonathan”.
Madam Marine kembali terisak. Dia merasakan kedua kalinya jatuh terpuruk menguras semua tenaga akan hidupnya hanya karena anaknya. Dan kali ini ia benar – benar menangis sejadi – jadinya.
“Mohon maaf , saya izin untuk segera membawa korban untuk dibawa kerumah sakit dalam penanganan outopsi.”
“ Namun untuk itu perlu Madam tau. Diduga anak Madam tewas karena bunuh diri. Dilihat dari kapak yang yang tergenggam dalam tangan kanannya. Dan dari hasil penelusuran kami anak Madam juga ternyata pelaku dari korban pemerkosaan dan pembacokan pembantu dua bulan lalu. Dia sengaja menyembunyikan barang bukti dalam kolong ranjangnya. “
“Apa?? Jadi Jonathan yang membunuhnya?
Madam Marine, langsung tersungkur terisak lebih keras. Sungguh dia benar – benar terpukul akibat kematian anaknya. Apalagi dengan keadaan yang sangatlah menyedihkan.
Keesokannya Madam Marine mengantar kepergian Jonathan ketempat pembaringan terakhir. Terlihat terdapat lingkaran hitam pada sekitaran matanya. Menandakan Madam Marine tidak tidur semalam hanya karena merenungi akan hal yang menyedihkan telah terjadi. Cukup sudah penderitaan akan hidupya berakhir dengan ketiadaan Jonathan. Dia bangkit dari gundakan tanah meninggalkan Jonathan terbujur kaku di dalam lubang keabadian. Kini hanya nyanyian sunyi dan senyuman sayu pada pohon dan bunga bunga yang menemani kesendirian dan keterpurukan Mama Jonathan.
Jonathan menghadap cermin yang ukurannya sedikit lebih besar dari tubuhnya. Dia menyibakan rambut yang sedikit menutupi pelipisnya. Terlihat bekas luka akibat pukulan golf selanjutnya dia beralih ke lengannya dan berjumpa dengan jaitan akibat luka sayatan dalam, dikarenakan pecahan piring yang langsung dituntun oleh tangan besar nan kasar Ayahnya. Di tersungkur dan terkulai lemas di depan cermin.
“Kau benar Claire, kau memang ada disana dan menyaksikan semuanya. Kau adalah ku, aku adalah kau.”
“KEPARAT, AH SIALAN.”
“PRANG” Jonathan melayangkan tinju kepada cermin itu. Bangkit dengan kondisi abnormal khawatir, gelisah, takut, marah. Dia mulai kehilangan kendali merusak dan menyerang semua benda yang ada dihadapannya. Hingga dia mengeluarkan sesuatu di balik kolong ranjang.
*Saptarini Ellysa, mahasiswi IAIN Purwokerto
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co
Baca: 10 Hal Yang Harus Diketahui Sebelum Kirim Tulisan ke Nusantaranews.co