Akhlaq Mulia

akhlaq mulia, ajaran islam, akhlak, nusantaranews
Ilustrasi. (Foto: Blogspot.com)

Akhlaq Mulia. Sikap adil, jujur, kasih sayang dan menghormati kepada sesama, ikhlas, dermawan, dan semacamnya seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Manakala dalam kehidupan ini sifat tersebut ada pada setiap orang, maka kehidupan ini akan damai, tenteram, dan bahagia. Kehidupan yang diwarnai oleh permusuhan, konflik, saling menjatuhkan, hasut menghasut, fitman memfitnah, dan semacamnya adalah bersumber dari sikap terpuji tersebut belum dimiliki oleh banyak orang.

Dalam ajaran Islam, akhlak menempati tempat yang luhur. Ia merupakan bagian dari misi utama agama ini. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR Ibnu Abid-Dunya dan Hakim).

Siapapun akan berpandangan sama, bahwa nilai-pnilai mulia tersebut memang penting diberikan atau dididikkan dari generasi ke generasi berikutnya. Berbagai sikap mulia tersebut tidak akan dimiliki begitu saja tanpa melewatik proses pendidikan. Kejujuran, keadilan, kedermawanan, dan semacamnya harus ditanamkan dan dididikkan dari waktu ke waktu. Namun pertanyaannya adalah bagaimana menanamkan sikap mulia itu. “Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlaq yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2134).

Orang yang tidak jujur tentu tidak akan mampu menanamkan kejujuran kepada siapapun. Orang yang sehari-hari bermusuhan, konflik, menjatuhkan orang lain, maka tidak akan dapat menanamkan kedamaian, kasih sayang, toleransi kepada siapapun. Akhlak mulia akan lahir dari orang atau sekelompok orang yang berakhlak mulia, dan demkikian pula sebaliknya. “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat selain akhlaknya yang baik. Allah sangat membenci orang yang kata-katanya kasar dan kotor.” (HR Abu Darda)

Selain itu, pendidikan akhlak tidak cukup dilakukan dengan cara menjelaskan tentang pentingnya akhlak mulia. Banyak orang mengetahui tentang pentingnya disiplin, menghargai orang lain, jujur, adil, dan lain-lain tetapi pada kenyataannya orang yang mengetahui dan memahami nilai-nilai mulia tersebut tidak selalu mampu menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.

Seringkali terdapat jarak antara pengetahuan seseorang dan perilaku mereka sehari-hari. Seseorang mengetahui tentang kebaikan tetapi belum tentu mampu menjalankannya sendiri. Seseorang mengetahui bahwa berbohong, berkhianat, korupsi, dan semacamnya adalah perbuatan buruk, tetapi pada kenyataannya tidak semua orang yang mengetahuinya mampu meninggalkan perbuatan tercela itu.

Karena itulah seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah SWT sebagai orang yang benar. Dan jauhilah kebohongan. “Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah sebabnya, problem pendidikan akhlak adalah mendapatkan guru atau tauladan yang dapat dicontoh. Selain itu yang diperlukan adalah pendekatan pendidikan yang seharusnya dilakukan untuk menanamkan akhlak mulia itu.

Problem mendasar tentang pendidikan akhlak adalah, orang yang mendidik harus terlebih dahulu menjalankannya. Sementara itu, mencari orang yang mampu menjalankan nilai-nilai mulia tersebut bukan perkara mudah. Mendidik orang agar menjadi petani, pedagang, peternak, nelayan, penulis sukses, dan lain-lain, sekalipun tidak mudah, masih bisa dilakukan. Akan tetapi menjadi sulit ketika harus memberi contoh tentang keikhlasan, kejujuran, kesabaran, kedermawanan, kebersamaan, dan sejenisnya itu.

Oleh karena itu, sebenarnya bukan menganggap bahwa pendidikan akhlak tidak perlu, akan tetapi yang menjadi problem adalah mendapatkan guru dan cara-cara menanamkan akhlak mulia itu sendiri. Sebab, tidak mungkin orang yang tidak menyandang akhlak mulia berhasil mengajarkan perilaku terpuji. Pendidikan adalah proses pembiasaan dan ketauladanan, sementara itu mencari contoh dan atau tauladan itulah yang hingga saat ini yang belum ditemukan cara yang tepat dan apalagi nyata-nyata berhasil. Wallahu a’lam.

Penulis: Aji Setiawan

Exit mobile version