NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – 70% populasi Indonesia sewaktu-waktu bisa hidup miskin lagi. Demikian dikatakan Farouk Abdullah Alwyni (FAA), MA, MBA, Dosen PERBANAS Institute yang juga adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Program Studi Ekonomi Syariah PERBANAS Institute bertemakan: “Ekonomi Syariah & Pembangunan Nasional: Tantangan a New Normal dalam Perwujudan Keadilan Sosial” pada Rabu, 17 Juni 2020.
Sebagai pembicara tunggal, Farouk menyampaikan bahwa Covid-19 bukan hanya sebuah persoalan kesehatan besar yang sedang dihadapi dunia, tetapi juga membawa dampak ekonomi besar yang menyertainya.
Berdasarkan sebuah hasil forecast terbaru dari Rabbobank bahwa berbagai negara di dunia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 2020 ini. Bahkan kontraksi ekonomi yang akan terjadi di dunia diperkirakan adalah kedua terbesar setelah masa depresi besar ditahun 1930-33.
Indonesia sendiri oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), diperkirakan akan mengalam kontraksi ekonomi antara -2.8% s/d -3.9% tergantung apakah serangan kedua Covid-19 akan terjadi atau tidak,” paparnya.
Terkait Ekonomi Syariah, Farouk mengatakan bahwa ekonomi syariah pada esensinya adalah sebuah sistim atau paradigma yang berdasarkan Syariat Islam, yang mempunyai tujuan untuk menciptakan kebahagiaan spiritual dan kemakmuran material.
“Dalam rangka mencapai mencapai tujuan tersebut maka setiap urusan politik, ekonomi, dan sosial harus diarahkan dalam kerangka menghilangkan hambatan-hambatan dalam penciptaan kemajuan bagi kemanusiaan dengan aturan main yang jelas.”
Chairman CISFED ini juga menekankan bahwa ekonomi syariah mengakui peran pasar yang efisien dalam mengalokasikan sumberdaya, tetapi tidak semata-mata menyerahkan segalanya kepada kompetisi dalam kerangka menjaga kepentingan sosial.
“Ekonomi Syariah akan mempromosikan persaudaraan kemanusiaan, keadilan sosial ekonomi, dan kesejahteraan semua melalui peran integral dari nilai-nilai moral, mekanisme pasar, keluarga, masyarakat, dan tata kelola pemerintahan yang baik.”
Lebih jauh dikatakan bahwa menjadikan Ekonomi Syariah sebagai bagian integral dari paradigma pembangunan nasional pada dasarnya telah memiliki landasan yang kuat dalam sistim hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Sila Ketuhanan yang Maha Esa pada hakikatnya adalah sebuah prinsip bahwa segala produk hukum nasional (termasuk aktivitas perekonomian) adalah tidak boleh bertentangan dengan agama. Di samping itu, kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dilindungi secara konstitusional di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 yang menyebutkan bahwa: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.“
Farouk juga menegaskan bahwa ketika Ekonomi Syariah dijadikan paradigma pembangunan nasional, maka peran negara dibutuhkan terkait dengan aplikasi kebijakan pembangunan yang ada. Selain reformasi birokrasi, termasuk didalamnya juga penegakan hukum, peningkatan kapasitas produksi (khususnya bagi UMKM), pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan pendapatan, pembangunan sumber daya manusia yang berkarakter dan berkapasitas, serta juga kebijakan fiskal dan moneter.
“Dalam hal ini, sistem keuangan dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter, dan segala macam institusi pendukungnya yang bersifat “non-economy” dan “non-financial” akan diarahkan untuk terwujudnya “socio-economic objectives” dari Ekonomi Syariah yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap pembangunan dan kemajuan nasional.”
Salah satu prinsip penting ekonomi Syariah dalam pembangunan nasional, kata Farouk adalah keadilan sosial. Oleh karena itu, banyak hal yang perlu diperbaiki dalam realitas sosial ekonomi di Indonesia yang ada selama ini – yang masih jauh dari prinsip keadilan sosial yang merupakan nafas sila kelima dari Pancasila. Seperti persoalan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, serta akses ke pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
Menyoroti persoalan kemiskinan, Farouk mengungkapkan bahwa masih ada sekitar 25 juta (9.22%) orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (data BPS), dan masih ada sekitar 177 juta (70%) orang “walaupun telah keluar dari batas garis kemiskinan” – tetapi “belum mempunyai keamanan ekonomi” karena sewaktu-waktu bisa turun lagi hidup di bawah garis kemiskinan.
“Kelompok ini adalah kelompok yang disebut oleh World Bank sebagai vulnerable (sekitar 62 juta orang [25%]) dan aspiring middle class (sekitar 115 juta [45%]). Batas garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS diatas adalah untuk pengeluaran maksimum Rp. 440,538 per kapita/bulan. Sedangkan untuk kelompok vulnerable dan aspiring middle class diatas World Bank menggunakan batasan pengeluaran masing-masing antara Rp. 354,000 s/d Rp. 532,000 (per orang/bulan) dan Rp. 532,000 s/d Rp. 1.2 juta (per orang/bulan).”
Persoalan ketimpangan pendapatan, kata Farouk, berdasarkan laporan World Bank pada tahun 2016, terungkap bahwa sekitar 50% dari kekayaan negara yang ada – berada ditangan hanya 1% dari jumlah penduduk. Padahal Indonesia sempat mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% selama satu dekade (2004-2014).
“Ketimpangan ini terjadi karena pertumbuhan yang terjadi selama ini hanya menguntungkan 20% orang terkaya dan meninggalkan 80% dari seluruh populasi,” kata Farouk, senada dengan Bank Dunia, OXFAM (2017), sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional juga melaporkan bahwa kekayaan 4 bilionaire terkaya Indonesia melebihi kekayaan 40% penduduk terbawah (the bottom 40% of the population), atau sekitar 100 juta orang. (Ibrahim/ed. Banyu)