Budaya / SeniCerpen

Yu Patmi dan Yu Inah – Cerpen Halimah Garnasih

NUSANTARANEWS.CO – Kata orang-orang, yu Patmi itu contoh perempuan sempurna. Pandai memasak, mencuci piring dan baju-baju kotor kami, juga menyetrika dan menatanya ke dalam lemari dengan sangat rapi. Bahkan, yu Patmi sangat terampil membersihkan dan menata rumah. Rumah kami pun, menjadi cantik karena bunga-bunga di sekeliling halaman yang ditanamnya dengan telaten.

“Kamu harus menjadi seperti yu Patmimu itu,” begitu kataku pada yu Patmi menirukan apa yang baru saja diutarakan mbokde Ngatemi padaku di rumahnya. Yu Patmi yang pasti melayangkan pertanyaan-pertanyaan sama setiap kali aku dari rumah mbokde Ngatemi, tiba-tiba terdiam. Itu kuperkirakan karena kalimat mbokde Ngatemi yang kutirukan tadi. Aku sempat meliriknya, yu Patmi sedang menggigit bibirnya dengan mata berbinar. Dan kedua pipinya itu, aku lihat mengapa menjadi merah. Ah tentu saja, pujian itu datang dari mbokde Ngatemi bukan? Ibu dari laki-laki pujaan hatinya, kang Karno.

Semasa kecil, kang Karno adalah teman bermain kedua mbakyuku, yu patmi dan yu Inah. Dan aku, tentu saja selalu menjadi adik kesayangan mereka bertiga. Rumah kami yang berhadap-hadapan dan hanya dipisah jalan setapak, memang membuat keluarga kami sangat dekat. Tapi kedekatan yang terjalin melebihi kedekatan bertetangga itu, karena aku sering tidur di rumah kang Karno. Kata simbok, sejak kecil aku selalu mbuntuti kemanapun mbokde Ngatemi pergi. “Ngantili terus,” begitu suatu kali simbok menggambarkan kedekatanku dengan mbokde Ngatemi. Kata simbok juga, itu karena mbokde Ngatemi sangat sayang padaku. Mbokde Ngatemi ingin sekali punya anak lagi, dan perempuan. Sifatnya anak kecil itu seperti kucing, Nduk. Yang paling sering membawakan oleh-oleh dan memperhatikan lebih, akan dikuntiti,” aku ngakak mendapat penjelasan itu dari simbok. Begitukah mulanya hubungan ibu-anak yang terjalin antara aku dan mbokde Ngatemi? Aku terkekeh-kekeh.

“Apa benar kata mbokde Ngatemi, Yu?” pertanyaan itu meluncur begitu saja kepada mbakyu tertuaku.

Jarek di tangan yu Patmi baru terangkat separuh dari ember sebelum tersampir di jemuran saat tiba-tiba tubuhnya yang berisi mematung sepersekian detik. Lalu menyampirkan jarek ke sampiran bambu yang berada di depannya.

“Tentu saja. Sudah kodratnya perempuan menguasai semua pekerjaan rumah. Karena masa depan suami dan anak-anak berada di tangan perempuan.”

Aku tidak kaget. Karena begitulah rata-rata perempuan di kampung ini akan menjawabnya. Tapi berdua dengan yu Patmi yang berpaut umur empat tahun di atasku, aku memiliki perasaan aman melemparkan sebuah kejanggalan, yang mengusik, “Lalu, di tangan siapa masa depan perempuan, Yu?”

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Yu Patmi membuang sisa air di ember ke tanah, berjalan ke arahku yang tengah duduk di atas lincak mengupas bawang merah seperti yang diperintahkannya. Aku melihat kedua telapak tangannya masih basah. Dan kini, kedua matanya tajam jatuh ke pandanganku. “Masa depan perempuan terletak pada kebahagiaan suami dan anak-anak,” suaranya pelan, tapi tegas dan berat.

Kedua tangan yu Patmi yang cekatan meraih beberapa butir bawang merah, meletakkannya di atas telenan kayu dan mengirisnya cepat sekali. Butiran-butiran bawang merah tadi, menjadi cacahan bawang kecil-kecil.

Selalu saja begitu. Setiap bertanya kepada yu Patmi, aku tidak merasa puas. Bahkan, sesungguhnya aku merasa tidak mendapatkan jawaban.

“Mumpung liburan, kamu harus belajar masak dengan benar. Karena kamu tahu, Arum? secantik apapun perempuan, kalau tidak bisa memasak, percuma!,” begitu yu Patmi tiba-tiba berkata lagi. Kini tangannya berhenti bergerak di atas telenan dan kembali melempar pandang padaku, “Karena perempuan cantik yang tidak bisa memasak, kecantikannya luntur.”

Kalimat terakhir yu Patmi yang penuh tekanan itu, aku garis bawahi sebagai sebuah kritik kepada yu Inah, mbakyu keduaku yang hanya berpaut setahun dengan yu Patmi. Semenjak kecil, aku sudah merasakan persaingan antara yu Inah dan yu Patmi dalam memperebutkan perhatian kang Karno.

Selepas SMA, yu Patmi memilih mengikuti kursus menjahit dan banyak menghabiskan waktu di rumah daripada melanjutkan kuliah. Sementara yu Inah, berusaha keras merayu simbok dan bapak untuk diperbolehkan kuliah. Akhirnya, yu Inah adalah perempuan pertama yang menembus sekat batas pendidikan di kampung ini. Dan…yang seringkali diomongkan oleh yu Patmi tentang yu Inah adalah “Inah tidak bisa masak. Perempuan kok gak bisa masak piye?!” Apalagi jika kang Karno sedang menanyakan kabar yu Inah di perantauan.

Tidak sebagaimana pada masa kecil kami, yu Patmi sekarang hanya sedikit-sedikit saja mengobrol dengan kang Karno (dan sebenarnya, sikap yu Patmi yang membatasi diri seperti itu membuat kang Karno tidak nyaman), dan yu Inah sebaliknya. Bila yu Inah sedang di rumah, aku melihat Yu Inah dan kang Karno sering sekali mengobrol sampai larut. Duduk di antaranya, terkadang aku menyaksikan kang Karno dan yu Patmi seperti orang bertengkar, saling beradu omong. Tapi sebuah pertengkaran omong yang aneh. “Kalau begitu, pada dasarnya kita memang sudah berbeda pendapat,” begitu seringkali aku mendengar yang mereka katakan di setiap akhir obrolan panjang itu. Dan mereka akan tertawa terbahak-bahak, lalu keesokan harinya sudah saling berbincang lagi. Aku jadi mengerti, sesungguhnya mereka tidak saling bertengkar.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Dan setiap kali yu Inah mengajakku dalam acara-acara pemuda kampung, aku menjadi tahu bahwa yu Inah memang ramah dan terbuka dengan banyak lelaki. Sangat jauh dengan yu Patmi yang hanya akan menjawab sedikit saja pertanyaan lelaki dengan wajah menunduk. Bahkan, aku memiliki perasaan senang dan bangga saat ada pemuda yang berbincang kepada yu Inah dengan sikap menghormati. Iya, mungkin aku merasa bangga menjadi adik yu Inah, seorang perempuan yang ternyata memiliki pengaruh dan diperhitungkan di antara laki-laki. Aku ingin seperti yu Inah, tapi mengapa mbokde memintaku harus seperti yu Patmi?

***

“Siapa, Rum? Siapa, Nduk, Cah ayu? Siapa di antara mbakyumu ini yang akan dipinang Karno?” pertanyaan simbok bertubi-tubi mendarat ke arahku. Seperti keterkejutanku yang bertubi-tubi datang belakangan hari ini. Bapak, dan yu Patmi juga terlihat tegang mendengar nama siapa di antara anak-anak perempuan keluarga ini yang akan keluar dari mulutku. Saat mulutku dengan usaha keras akan kubuka, mengapa kepalaku menjadi pening? Dan dengan bergantian, wajah kang Karno dan yu Inah berkelebatan di mataku.

“Inah tetap harus bisa memasak, Nduk,” kang Karno menatapku saat kami berdua saja kemarin sore di pematang sawah. Apa ini artinya dia lebih memilih yu Patmi yang pandai memasak? Atau  yu Inah yang selama ini dikagumi dan dihormatinya juga mungkin dicintainya, namun dengan tuntutannya tadi? yu Inah harus bisa memasak?

Yu Inah?” kuberanikan menyebut salah-satu nama mbakyuku untuk memastikan kalimat kang Karno yang begitu memiliki banyak kemungkinan.

Kang Karno melempar pandang matanya dariku ke aliran sungai kecil di tengah sawah, “Iya. Inah. Karena aku memiliki pandangan berbeda dengan orang-orang kampung di sini. Saat menyebut nama seorang perempuan dengan sebuah pekerjaan-pekerjaan, mereka akan mengatakan semua itu kodratnya perempuan. Saat aku menyebut nama Inah, sesungguhnya aku ingin membicarakan fitrahnya manusia.”

Sepertinya pikiranku buntu dipenuhi belukar, apa sesungguhnya yang dibicarakan kang Karno? Semua itu menyesaki kepenasaranku sebelum suaranya kembali kutangkap, “Inah terlalu jauh. Bagiku, memasak itu kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap manusia.”

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

“Setiap manusia?” kernyitku.

“Ya. Manusia. Perempuan dan laki-laki. Karena dalam pandanganku, Nduk, mbakyumu, Inah, tidak seharusnya menutup kemungkinan-kemungkinan untuk perempuan belajar dan memiliki kemampuan memasak dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya.”

“Mengapa, Kang?”

“Karena perempuan dan laki-laki adalah manusia. Sudah sifat alaminya manusia yang diciptakan Gusti Allah ini harus mengoptimalkan dirinya. Daya hidupnya. Daya ciptanya. Daya kreatifitasnya, Nduk!”

“Dan mari kita fikir lebih jernih, Nduk, bahwa kemampuan manusia untuk melanjutkan kehidupan adalah hal yang semestinya dimiliki oleh setiap individu.”

“Jadi tidak hanya memasak? Tapi misalnya bertani, memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan bermasyarakat, dan lain-lainnya?”

“Betul. Dan apapun pekerjaan itu, selama kita, yang manusia ini dapat mengawal alam dan kehidupan manusia agar tetap berlangsung. Berlangsung dengan baik.”

“Jadi, Kang, ini bukan persolan perempuan dan laki-laki seperti kata orang-orang?” sepertinya kepenasaranku telah tertumpu pada pandangan-pandangan kang Karno daripada siapa yang dipilihnya antara yu Patmi dan yu Inah.

Kang Karno tidak menjawab pertanyaanku, tapi pandangannya yang menancap pada kedua mataku mengapa membuat tubuhku bergetar? Ada perasaan hangat di dada yang tiba-tiba menelusup lembut. Dan keseluruhanku seperti limbung saat jemarinya yang halus telah tiba di pipiku, “Nduk, besok, aku dan simbok akan datang melamarmu. Arumku, perempuan cerdas yang bijak!”

“Bagaiman, Nduk? Siapa mbakyumu yang akan dipinang Karno?”

Kang, tapi aku ingin menjadi sarjana sepertimu. Berwawasan dan dihormati lelaki seperti yu Inah,”

“Arum harus terus belajar, biar tahu bagaimana cara mengaktualisasikan diri. Kang Karno akan mengurus semuanya.”

“Mengaktualisasikan diri? Kalau kita punya anak dan kuliah Arum belum selesai?”

Kang Karno akan memasak dan mengurus anak kita, sementara Arum belajar dengan rajin.”

“Rum, Arum, Nduk. Siapa, Nduk?”[]

Baca: Dunia Aida

Halimah Garnasih
Halimah Garnasih

Halimah Garnasih, senang menulis cerpen, puisi, dan esai. Perempuan yang lahir di kota Malang ini kini sedang bergiat di Rumah Kreatif Matapena Yogyakarta sebagai koordinator Pendampingan dan Pelatihan. Cerpennya pernah termaktub dalam buku kumpulan cerpen bersama: “Riwayat Langgar” (2011) dan “Tembang Pagi” (2011).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 3,176