OpiniPolitik

Wawasan Kepemimpinan Politik

Menjelang pelaksanaan pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2018 serta 2019, tarik ulur kebijakan politik (political policy) di parlemen semakin terkesan rapi. Sosialisasi dan penyampain visi-misi oleh sejumlah kandidat pemimpin di pelbagai daerah terlihat semua kegiatan kemasyarakatan digempur melalui program-program yang pro-rakyat.

Partisipasi partai politik (Parpol) setidaknya tidak dijadikan alat untuk kepentingan mesin partai, tetapi untuk kepentingan rakyat (welfare society). Karena pesta demokrasi adalah babak baru kompetisi elektoral yang akan dilaksanakan pada dua medan.

Judul wawasan kepemimpinan politik ini memperjelas pemilihan kepala daerah memang melibatkan roda kepartaian tetapi tidak maju secara independen. Oleh karena itu, demokrasi yang masif dipahami oleh rakyat untuk rakyat cenderung liar terhadap kebijakan-kebijakan partai untuk menjalankan tubuh kekuasaan partai politik. Padahal, demokrasi tanpa partai politik memperluas tafsir politiknya. Artinya, kebijakan partai politik tetap berpegang teguh terhadap kepentingan rakyat.

Baca juga: Gagasan Menkopolhukam Pupuskan Harapan Indonesia untuk Mencapai Clean Government

Menurut hemat penulis, kepala daerah yang demikian banyak tertangkap tangan dapat dijadikan pedoman moral dan etika oleh calon-calon kepala daerah, sebab seorang pelayan rakyat diharuskan mengedepankan tiga. Pertama, kepemimpinan sebagai pola perilaku. Kedua, kepemimpinan kualitas adalah personal.

Ketiga, kepemimpinan menyandang nilai politik. Artinya, substansi kepemimpinan dapat dijadikan pelayanan final pada lapisan masyarakat. Sehingga pola pikir kepala daerah sangat bersentuhan dengan kualifikasi kemampuan untuk memengaruhi baik secara kualitas maupun kuantitas.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Paling tidak, setiap momen Pilkada, Indonesia sebagai negara demokrasi (democracy state) dihadapkan dengan pergumulan politik yang ambisi terhadap kekuasaan yang akhirnya cenderung liar dan tidak tercontrol. Oleh sebab itu, kekuasaan yang tidak bertahan lama ini dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan semua kalangan rakyat dan pembangunan daerah.

Baca juga: Menkopolhukam Dinilai Sengaja Ingin Halangi Rakyat Dapatkan Pemimpin Bersih

Dilema Keteladanan

Akhir-akhir ini, operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala daerah terlihat jelas. Peristiwa tersebut menunjukkan perilaku yang tidak baik dan tercela masif tidak hanya di pemerintah daerah, melainkan di pemerintah pusat. Fakta politik ini telah merusak sikap dan perilaku pemimpin terutama dalam dalam hal menjaga kejujuran dan amanah terhadap kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh semua elemen masyarakat.

Secara elektoral, jaminan terpilihnya kepala daerah oleh rakyat dapat diukur dari kewibawaan (popularitas) dan keteladanan (integritas) dalam pendekatan sosio-kultural, mulai dari kecerdasannya, moral, etika, dan kedewasaannya dalam menyelesaikan permasalahan baik di internal partai terutama yang ada di kalangan masyarakat.

Pada momen tahun politik ini, demokrasi dapat dijadikan sebuah momentum baru untuk membentuk kebijakan-kebijakan yang lebih mementingkan kemaslahatan, baik untuk rakyat maupun sumber daya manusia (SDM) yang menjalankan roda pemerintahan secara utuh.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Baca juga: Rekrut Calon Kepala Daerah Karena Elektbilitas, Parpol Gagal Lakukan Kaderisasi

Pesta demokrasi adalah bentuk proses memilih mana pemimpin yang sesuai dengan intensi masyarakat dan mana yang tidak. Karenanya, terkadang masyarakat lebih mengenal pengusung (Parpol) daripada calon, kadang kala sikap-sikap arogansi politik ini yang menjadi penghambat pada surutnya kesadaran masyarakat luas agar memilih pemimpin yang lebih dikenal dibandingkan partainya.

Sedangkan John Locke (1997) sebagaimana dirangkum oleh Th. Agung M. Harsiwi (2003) menjelaskan kepemimpinan mencakup tiga elemen berikut: Pertama, kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational of concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. Tersirat dalam definisi ini adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berrelasi dengan para pengikut mereka (hablum minan nas).

Kedua, Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. Seperti telah diobservasi oleh John Gardner (1986-1988) “kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas”. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil tindakan.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Baca juga: Ini Dampak Buruk Manuver Politik yang Kerap Dilakukan Parpol

Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai macam cara toleransi, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model keterampilan (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi, dan gencar mensosialisasikan visi-misi. Terutama, merubah kebijakan yang menjadi lebih relevan.

Model kepemimpinan di atas, memaknai pemimpin tidak hanya dinilai dari segi predikat serta substansi saja, tapi mencoba membaca sistem demokrasi sejauh mana nilai-nilai politik seorang pemimpin dapat memperluas akses komunikasi serta memperdekat antara pemimpin dengan yang dipimpin (hablum minan nas). Dan juga akses relasi, sebab pemimpin tak jauh dan tak lepas dari tantangan menghadapi masyarakat serta kemajuan daerahnya.

Tahun politik ini seharusnya dijadikan inspirasi masyarakat agar bisa memanfaatkan untuk memilih pemimpin yang baik dengan cara menonton sisi pada debat kandidat dan track record-nya, sehingga hasil-hasil yang demikian capai bisa menunjukkan hasil dan kualitas pemimpin yang bisa membuat masyarakat mengarah pada pencoblos yang demokratis dan sah secara konstitusional.

Penulis: Rudi Susanto, pemerhati politik kebangsaan pada Indonesia Democracy and Political Policy (ID2PP).

Related Posts