NUSANTARANEWS.CO, Paris – Mayoritas warga Perancis menentang penjualan senjata ke Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya karena digunakan untuk menyerang Yaman. Arab Saudi sebagai pemimpin pasukan koalisi perang Yaman telah mendapat kecaman dari dunia internasional karena banyak telah mengakibatkan sedikitnya 10.000 nyawa melayang dan jutaan warga terpaksa mengungsi.
Arab Saudi juga diketahui telah masuk daftar hitam PBB atas kematian anak-anak di Yaman. PBB menyalahkan Saudi yang memimpin pasukan koalisi memerangi Yaman karena telah terbukti membunuh dan melukai ratusan anak di negara beribukota Sana’a.
Baca juga: Di Tengah Perang Yaman, AS-Arab Saudi Teken Pembelian Senjata Senilai 1 Miliar Dolar
Menurut jajak pendapat SumOfUs, dikutip Reuters mennyebyutkan 75% responden menginginkan Presiden Perancis Emmanuel Macron menghentikan pemberian senjata ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik Yaman. SumOfUs adalah sebuah organisasi advokasi global.
Perancis dilaporkan menjualn total 2 miliar euro senjata ke Arab Saudi dan UEA tahun 2016. Menurut data dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), Perancis adalah negara pemasok senjata terbesar ketiga dunia ke Arab Saudi dan UEA terutama dalam rentang waktu 2013-2017. Bahkan menjadi negara terbesar kedua di dunia yang memasok senjata ke UEA.
Baca juga: UEA Terlibat Perang di Yaman, Norwegia: Kami Hentikan Ekspor Senjata dan Amunisi
Kebijakan memasok persenjataan besar-besaran Perancis ke Arab Saudi dan UEA ini membuat Paris terancam diseret ke meja hijau karena LSM Droit Solidarite menyebut Perancis telah melanggar hukum nasional dan internasional karena menjual senjata yang digunakan untuk perang sipil di Yaman. Arab Saudi menghadapi penghakiman serius dari PBB yang menuduhnya sebagai penjahat perang di Yaman.
Droit Solidarite bahkan mengancam akan menyeret pemerintahan Perancis ke otoritas hukum tertinggi negara tersebut, Conseil d’Etat.
Baca juga: Inggris Tetap Jual Senjata Ke Arab Saudi Meski Melanggar HAM
Perang Yaman sudah bergulir sejak tahun 2015. Yaman kini tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang sangat serius akibat perang brutal yang diperagakan Arab Saudi dan sekutunya.
“Opini publik tidak lagi mentoleransi koalisi yang dipimpin Arab Saudi dan UEA yang terus melumpuhkan penduduk sipil di Yaman, menghancurkan infrastruktur seperti rumah sakit dan sekolah, dan warisan berusia seribu tahun serta menggunakan senjata yang dijual oleh negara-negara barat termasuk Perancis,” kata Abdessalam Kleiche dari Aliansi Internasional untuk Pertahanan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan (AIDL).
Kemudian, 88% responden Perancis meyakini Paris akan segera menghentikan ekspor senjata ke negara-negara yang mungkin menggunakannnya untuk menghabisi penduduk sipil.
Baca juga: Menonton Pemusnahan Negeri Yaman Oleh Arab Saudi
Survei YouGov yang melibatkan 1.026 responden berusia 18 tahun ke atas juga mayoritas menginginkan hal yang sama. Dan survei serupa dilakukan oleh Campaign Against the Arms Trade (CAAT) pada awal Maret yang mengungkapkan hanya 6% publik Inggris mendukung penjualan senjata Inggris ke Arab Saudi.
Begitu pula Amnesty Internasional mengecam penjualan senjata barat ke Arab Saudi dan sekutu-sekutunya yang bertempur di Yaman. Mereka bahkan mengatakan ada bukti kuat bahwa senjata-senjata itu telah digunakan untuk melakukan kejahatan perang.
Selain menuntut penghentian penjaulan senjata ke Arab Saudi dan UEA, 69% responden mendukung kontrol parlemen atas ekspor senjata Perancis.
Baca juga: Koalisi Pimpinan Arab Saudi Masuk Daftar Hitam PBB Selama Perang di Yaman
Dalam beberapa tahun terakhir, Riyadh telah membeli tank Prancis, kendaraan lapis baja, amunisi dan artileri, sementara UAE membeli jet tempur.
Temuan-temuan dari Amesty International tidak digubris Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia dan negara barat lainnya untuk menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi dan negara-negara Teluk demi menumpuk pundi-pundi uang dalam jumlah besar.
“Ini merupakan penghinaan terhadap perjanjian global tentang perdagangan persenjataan,” kata Lynn Malaaof, direktur penelitian untuk Timur Tengah di Amnesty International. (red)
Editor: Eriec Dieda