Puisi

Wanita Tua dan Petani Dengan Bantengnya – Puisi M Toyu Aradana

Wanita Tua

Bekas-bekas tata rias di wajahnya masih tanpak menteror
Seperti warna merah muda di pipinya, yang tanpak lebam.
Karena terlalu memusingkan riasannya, ia menjadi insomnia.
Matanya memerah. Mulutnya menjadi pucat. Putih.

Ia memasang gigi palsu. Ia pagari dengan kawat
Agar tak sembarang menggigit. Menggigit dan melukai.
Lidahnya ia biarkan bebas. Bebas menjilat segala rasa.
Menjilat: seperti mengasah pisau
Aus. Gesekan antara cinta dan kebencian.
Ia menjilat tembok-tembok berlumut
Ia menjilat tombak-tombak kelembutan
Ia menjilat tiang-tiang iklan karatan
Ia menjilat gua-gua berdinding batu cadas
Lidahnya tajam bermata dua.

Lalu kalimat-kalimat sangat panas
Lalu kalimat-kalimatnya sangat rangas
Lalu kalimat-kalimatnya sangat nahas

Saat menuju tidur.
Ia lupa menanggalkan eyeliner
Bangun tidur. Penglihatannya menjadi terbatas dan terbalik
Saat menuju tidur
Ia lupa menanggalkan maskara
Bangun tidur. Ia merasa berada dalam penjara. Tatapannya terpenjara.
Garis-garis maskara itu, seperti jeruji besi
Yang tak sanggup ia gapai.
Yang tak sanggup ia jilati.

Kebumen, November 2016.

Petani Dengan Bantengnya

Petani dengan bantengnya hendak membajak sawahnya
Petani itu seorang nenek tua, giginya telah ompong
Tapi ia masih kuat untuk membajak sawahnya
Sawahnya yang membentang di nyalang matanya

Bantengnya ia rias. Matanya merah. Moncongnya putih.
Ia membajak pada saat orang-orang terlelap tidur.
Nyala merah matanya, seperti api-api kecil
Moncongnya putihnya seperti hantu-hantu
Keduanya bergentayangan.

Nenek tua dengan bantengnya, membajak sawah.
Anaknya yang kurus, punya topi merah, baju putih penuh lumpur
Celana pendek yang sering kedodoran, dan resliting yang telah lumpuh
Anaknya yang kurus itu, meneterkan benih-benih di belakang neneknya
Di lubang-lubang hasil bajakan neneknya.

Tanaman-tanaman kini telah tumbuh besar.
Sawah-sawah itu ditumbuhi gedung-gedung
Besi-besi pencakar kedamaian dan menusuk langit hampa
Besi-besi yang memancarkan kesepian
Besi-besi yang menelantarkan kedamaian
Besi-besi yang mengoyak-ngoyak ketenangan.

Nenek tua itu, bangga pada bocahnya yang polos
Penurut dan kalem. Bocah yang taat pada orang tuanya.

Kebumen, November 2016

M Toyu Aradana
M Toyu Aradana

M Toyu Aradana, Lahir pada 25 Juli 1990 di Sumenep  Madura. Menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah selama delapan tahun di Madrasah Ibtidaiyah Taufiqurrahman, MTs-MA Mambaul Ulum Gapura, Sumenep. Kuliah selama Sembilan semester dengan studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2010-2014). Mengawali belajar nulis sejak MA bersama Komunitas Kobhung, Komunitas Batton Mambaul Ulum. Pada saat kuliah juga aktif di UKM Teater ESKA Yogyakarta, Bersama Masyarakat Bawah Pohon. Diskusi Rutin Sosiologi Profetik di teras Laboratorium Agama Sunan Kalijaga.

Karyanya pernah dimuat di beberapa media. Antologi bersama Teater ESKA dengan Judul “PROSENIUM” pada tahun 2012. “DUA ARUS” Antologi Bersama Mambaul Ulum. Pada tahun 2016, menerbitkan buku Cerita Pendek berbahasa Madura, Embi’ Celleng Ji Monentar (Halaman Indonesia, 2016). Sekarang tinggal di Kebumen.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 124