Puisi

Wanita dari Rahim Sungai, Sajak Diana Fadila

romzul falah, penari air, patologi tanah, laut, kumpulan puisi, nusantaranews
Penari Air. (Foto: De Vollmond/bercail.free.fr)

Wanita dari Rahim Sungai

Penerbit silau melihat wanitaku
Jenjang badan berselimut dahan
Wanitaku terpotret lemah tertimbun sampah
Berwajah gelisah

Pengarang meneteskan air mata
Rintih memanggil haknya
Wanitaku tertawa lepas
Berwajah jengah

Wanitaku di tepi waktu berselendang biru
Langkahnya menerjang aliran pilu
Ia hilang. Tawa tertahan.
Tak akan ada yang ia tangkap.
Raut muka tertimbun plastik, ia tak cantik.

Bersama rintik air mata,
bersama lumpur aku lebur
menanam padi genjah.
Wanitaku tertawa lepas. Berwajah jengah.

Wanitaku terlahir dari rahim sungai.
Terbiasa memekik “terjang aku!”

Purwokerto, April 2019

Memasak Ketam Bersama Adik

Pertama, cuci tanganmu dik.
Dosa dan khilaf menempel di kulitmu
Cuci tanganmu dengan air,
agar mereka lebur bukan kabur
Cuci tangamu dengan sabun dik,
agar sisa jahil jadi steril.

Rebus ketamnya dulu dik,
jangan lupa diberi garam sedikit.

Bukan penyedap yu?

Hidup kita sudah sedap dik,
bubuhkan kebahagiaan satu sendok saja.

Ketam direbus sepuluh menit.
Siapkan bumbu halus dik,
tambahkan jahe dan kunyit satu ruas jari
tampaknya ketam masih berbau dengki.

Masukan ketam bersama tumisan bumbu dik.
Kita tidak sendiri.
Raga kita bersama cabai, bawang, serai,
yang mengharum di kuali panas.

Tuang santan yu.

Yayu menuang santan.

Cicipi dik,
cicipi terus sampai kau menjadi masak.

Cilacap, 7 Desember 2019

 

Kipas Angin

Semalam berselimut gerah
Barangkali aku tidur bersama panas hati
Angin stabil menerpa buliran peluh
tak kunjung kering oleh sangsi.

Cobalah kau ingat nak,
apa yang menimbulkan hawa sepanas ini?
sejak lahirmu terik panas berdenting
apakah kau makan jelaga di perut ibu?

Cobalah diingat nak,
apa yang menimbulkan roman gersang?
sejak tangismu pecah air susu menghitam
apakah kau meminum arak di perut ibu?

Sudahlah bu,
kipas angin akan membawaku suci.
Kipas pemutar waku lima kali sehari.

Purwokerto, 8-11 Desember 2019

 

Waktunya Pulang

Sore menjelang malam,
aku duduk di atas awan.
Mengiba pada lentera
“kembalilah esok lebih terang!”

Hari berikutnya
aku duduk di atas mendung.
Mendengar matamu bersenandung.
aku tak akan sampai petang,
aku harus pulang.

Sore ini
aku meringkuk pada nenek
belaian nenek membuatku tak ingin pulang.
Kakek datang,
“pulanglah nak, tempatmu bukan di sini!”

“pulanglah nak, belum saatnya!”

Purwokerto, 8 Desember 2019

 

Mie Instan

Aku, mi instan, dan kau
kau tak bisa menyetubuhiku tanpa mie instan.
Aku, kau, dan mie instan
mie instan membuat persetubuhan makin hangat.
Kau, mie instan, dan aku
aku mengejang saat mie instan kau seruput.
Gurih mie instanku searoma senyum mangkuk mie instanmu.

Purwokerto, 18 Mei 2019

 

 

 

 

Biodata penulis:

Diana Fadila, lahir di Boyolali 7 Mei 1998. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pegiat di Komunitas Buka Buku. Dia dapat dihubungi melalui surel [email protected], instagram @dianafadfad

Related Posts

1 of 3,052