Wakil Rektor UIN Yogya: Full Day School Sulit Hasilkan Manusia Berkarakter

Salah satu poster penolakan full day school (FDS). (Foto: Istimewa)

Salah satu poster penolakan full day school (FDS). (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryono Abdu Ghofur mengatakan bahwa dibandingkan negara lain, pendidikan di Indonesia masih tertinggal karena belum bisa menghasilkan insan kamil atau manusia yang berkarakter.

“Kita terbawa arus pada kondisi meredupnya nilai kebangsaan, hilangnya Pancasila, rendanya rasa keberagaman. Ada yang sebenarnya lebih parah dari sekedar isu-isu tersebut, yaitu korupsi sebagaimana dikabarkan di media hampir setiap hari ada berita korupsi yang dilakukan para pejabat publik. Realitas ini menunjukan hasil dari pendidikan kita, maka ada pertanyaan besar, ada apa dengan pendidikan kita. Pertanyaan mendasar ini untuk kita semua, terutama untuk kami sebagai tenaga pendidik,” kata Dr. Waryono saat menjadi pemateri dalam Workshop Pendidikan yang digelar Jaringan Pemuda Nusantara (JPN), Yogyakarta, Rabu (20/9/2017).

Dikatakannya, persoalan kedua yang perlu diperbicangkan ialah hasil diskusi dengan salah satu kiai NU bahwa pendidikan karakter tidak cukup kalau hanya dimasukkan pada jam pelajaran, sulit menghasilkan manusia berkarakter. Apa lagi, katanya, jika diatur secara formal dalam sistem pendidikan 5 hari masuk dan sehari 8 jam, atau yang dikenal dengan istilah full day school.

“Tanggung jawab pendidikan karakter bukan lembaga pendidikan, tapi semua masyarakat dan orang tua. Bahasa orang pesantren disebutkan ‘Rumah adalah sekolah pertama.’ Artinya, sebelum para generasi bangsa masuk di pendidikan formal, seharusnya anak-anak sudah mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga. Kalau meminjam bahasa hadits, bahkan pendidikan itu dimulai sejak kita memilih pasangan,” terang Dr. Waryono.

Menurutnya, dalam lingkungan keluarga juga sering muncul persoalan. Ambil contoh misalnya, ketika orang tua menitipkan anaknya kepada pembantu atau guru les lantaran orang tua sibuk urusan pekerjaan. Di proses bembentukan karakter anak muncul banyak problem.

“Misal ada tradisi bully sehingga membuat anaknya labil dalam bersikap. Meskipun di sekolahan jam belajarnya sudah maksimal, orang tua tetap punya kewajiban memantau dan memberikan pendidikan terhadap anaknya,” jelasnya.

Selanjutnya, memasuki dunia kampus, kebanyakkan mahasiswa menentukan pilihan sendiri dalam berorganisasi, sehingga tanpa dibekali ilmu yang benar dan konsep pendidikan sesuai cita-cita Ki Hajar Dewantara tentu nantinya akan salah dalam menentukan pilihan. Semua tenaga pengajar belum tentu pendidik, karena motivasi orang mengajar berbeda-beda, tidak jarang mereka memiliki tujuan tidak mulia. Adanya niat tidak mulia seperti lebih mengutamakan mengejar materi, akan memberikan dampak tenaga pengajar hanya memberikan materi tanpa menginternalisasi nilai-nilai pokok/luhur kepada mahasiswa.

“Justru yang terjadi dosen hanya sekadar ngajar, memberikan tugas, mahasiswa absen, masalah paham atau tidak itu urusan mahasiswa. Cara mengajar model ini tentu tidak melahirkan orang-orang berkualitas,” ucapnya.

Waryono menegaskan, bangsa yang berkarakter tidak mungkin akan dilahirkan dari sistem pendidikan yang parsial dan tidak komprehensif. Nilai-nilai luhur juga dapat diperoleh dari olah hati, olah rasa, olah raga, dan olah pikir. Strategi pendidikan karakter menurut pemerintah melalui: sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama.

“Bagi saya salah satu membentuk pendidikan karakter melalui keteladanan sebagaimana konsep yang di miliki Ki Hajar Dewantara. Perpres seperti apa pun akan tidak berdampak jika aplikasi di lapangan terjadi banyak pembiaran. Oleh karena itu pengawasan implementasi menjadi penting untuk dimaksimalkan. Kurikulum Indonesia terlalu berat dibandingkan negara lain, itulah penyebabnya kita terjebak pada pendidikan formal. Semua diukur di level pendidikan formal termasuk membangun karakter peserta didik,” tutupnya. (ed)

(Editor: Eriec Dieda & Ach. Sulaiman)

Exit mobile version