Opini

Wacana Impor Guru, Kebijakan Kurang Tepat Sasaran

wacana impor guru, kebijakan, kurang tepat, impor guru, nusantaranews
Sumarni. (Foto: Dok. Pribadi)

Wacana Impor Guru, Kebijakan Kurang Tepat Sasaran

Wacana Indonesia akan melakukan impor pengajar asing terus bergulir. Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani bahwa akan mengimpor guru asing salah satunya dari Jerman.

Pernyataan ini banyak menuai kritikan dan komentar penolakan dari berbagai elemen, terutama dari IGI (Ikatan Guru Indonesia), Muhammad Ramli Rahim mengatakan guru di Indonesia jumlahnya banyak dan mencukupi. Lebih lanjut Ramli menjelaskan jumlah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dan lulusannya terus bertambah tiap tahunnya.

Dengan merujuk data kemendikbud pada tahun 2013 saja terdapat 492 LPTK yang terdiri dari 46 negeri dan 383 swasta. Total mahasiswa 1,44 juta, maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang pertahun, sementara jumlah guru yg dibutuhkan hanya 40.000 orang pertahun.

Sementara, wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menilai wacana pemerintah mengundang guru dari luar negri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia adalah keliru.

Masyarakat pun ikut menyatakan penolakan. Menko PMK impor guru, guru honorer dalam negeri saja tingkat kesejahteraannya dibawa rata-rata, malah impor guru asing. Kebijakan Puan Maharani dalam mendatangkan pengajar asing kurang bijak dan tidak tepat sasaran. Lebih lanjut mereka mengatakan dana untuk pengajar asing lebih baik dipakai untuk mengangkat guru honorer dalam negeri, ketimbang menggaji tenaga asing, Demikian papar mereka.

Hemat penulis, Puan Maharani mengeluarkan pernyataan ini, tanpa dilandasi alasan yang jelas. Beliau tidak memberikan penjelasan yang tegas apa yang mendasari sampai didatangkannya pengajar asing sehingga mau menggantikan peran guru-guru lokal dalam negeri. Ini semakin menimbulkan tanda tanya apakah kualitas pendidik kita dalam memberikan pengajaran kurang kompoten?

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Jikalau alasannya terletak pada ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh peserta didik indonesia, maka pertanyaanya apakah guru-guru dalam negeri tidak mampu memberikan ilmu-ilmu yang dibutuhkan pelajar? Bukankah pengajar dalam negeri banyak jumlahnya dan berpotensi mampu memberikan pendidikan yang berkualitas?

Dengan diimpornya guru asing dalam negeri, bukan menjadi solusi yang tepat. Akar masalahnya justru terletak pada sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan sekuler ala barat yang diadposi oleh negara. Semua ini berpangkal dari sistem pendidikan sekuler yang rusak produk dari idielogi kapitalisme-demokrasi. Melalui jalan kapitalismelah yang menjadikan sarana pendidikan sebagai ladang bisnis bagi segelintir elite.

Sistem pendidikan dan kurikulum yang hanya memproduksi manusianya supaya berlandaskan materi, tujuan dicapainya hasil pendidikan adalah memenuhi dunia kerja, dan didorong untuk menghasilkan karya-karya dalam versi kapital, sehingga berbicara kualitas pendidikan menjadi tidak diperhatikan lagi.

Mereka tidak menyadari bahwa berhasil dan berkualitasnya pendidikan bukan berputar pada terpenuhinya sarana dan prasarana kelengkapan fasilitas pembelajaran, terpenuhinya buku-buku ajar, jumlah kuantitas guru. Betapa banyak berdiri sekolah-sekolah bertaraf intenasional semisal (Jakarta Internasional School) yang notabene memiliki kelengkapan fasilitas yang memadai, bahan buku ajar tercukupi bahkan tenaga pendidik asing pun juga banyak diimpor dari luar juga tidak dapat memberikan kualitas pendidikan terbaik.

Baca Juga:  Mantan Komandan NATO Menyerukan untuk Mengebom Krimea

Hasil pendidikan hanya berorientasi pada asas manfaat mengejar prestasi dunia mengesampingkan nilai-nilai moral. Sehingga banyak orang memiliki pendidikan bergelar master, doktor sampai gelar profesor dan memiliki prestasi yang baik tetapi bermental korup, bermental penipu dan ilmu mereka digunakan untuk membodohi umat.

Hasil pendidikan sekuler yang diadopsi oleh negara gagal memberikan pendidikan yang berkualitas. Lihat saja banyak para pelajar menyambut kelulusan mereka dengan mewarnai dan mencoret-coret seragam sekolah mereka, membubuhkan tanda tangan dengan nama-nama mereka, konvoi uring-uringan menggunakan sepeda motor dibadan jalan yang kerap mengganggu kemacetan lalu lintas sepertih yang terjadi pada SMA dan SMK Lhokseumawe Aceh tahun 2018. Apakah hasil pendidikan sepertih ini yang berkualitas?

Pendidikan dalam Islam

Pendidikan didalam islam adalah dipandang sebagai kebutuhan tiap-tiap individu muslim dan umat dimana wajib disediakan oleh negara. Hal ini sebagaimana yang disabdakan rasul yang berbunyi menuntut ilmu diwajibkan atas seluruh kaum muslim.

Negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bahkan memberikan bantuan dan beasiswa bagi siswa yang berprestasi dan tidak mampu. Negara menyediakan seluruh fasilitas yang memadai yang dibutuhkan warga negaranya dalam mengeyam pendidikan. Sejarah mencatat di kota Bahgdad berdiri perpustakaan besar yang menampung ribuan koleksi buku pengetahuan dan menjadi pusat penerjemah karya-karya peradaban asing. Pada masa Bani Umayyah mendirikan perpustakaan besar di Cordoba koleksi bukunya mencapai 400 ribu judul buku untuk warganya. Bahkan para pelajar Eropa berbondong-bondong datang menempuh pendidikan dalam negara Islam.

Baca Juga:  Kepemimpinan Indonesia dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan

Pendidikan dalam islam juga akan menerapkan kurikulum berbasis akidah islamiyah dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang khas yakni kepribadian Islam. Para pelajar akan dikenalkan dengan pencipta dan mengkokohkan keimanan dalam tiap individu. Jenis pendidikan yang merusak akidah semisal tsaqofah asing, filsafat dan pemikiran asing maka negara akan mencegahnya.

Pendidikan dalam islam kurikulum mudah, singkat, hasilnya dahsyat. Hasil pendidikan islam mencetak manusia-manusia hebat sepertih Muhammad Alfatih umur 22 tahun menjadi sultan, 23 tahun Umar bin Abdul Aziz telah menjadi gubernur, Abdul Malik menjadi menteri, Usamah bin Zaid di umur 18 tahun telah menjadi panglima, Abdulah bin Abas di umur yang masih mudah telah menjadi ulama, menjadi staf ahli negara kekhilafahan Umar bin Khatab pada umur 15 tahun dan menjadi gubernur pada masa Ali bin Abu Thalib.

Sangat berbeda dengan pendidikan sekuler ala barat. Kurikulum sulit, waktu belajar lama, biaya mahal, hasil pendidikan umur 22 tahun baru lulus menjadi sarjana.

Kesejahteraan para guru-guru sangat diperhatikan oleh kepalah negara. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab tunjungan para guru paud 15 dinar emas tiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Sungguh ini angkah yang sangat fantasis, yang tidak akan pernah didapat oleh gaji para guru dalam pendidikan sekuler hari ini.

Sunnguh kita sangat mengarapkan pendidikan dengan kurikulum akidah islam, namun semua itu tidak akan pernah terwujud kecuali negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Wallahu a’lam

Oleh: Sumarni, Pendidik

Related Posts

1 of 3,054