WABAH COVID-19 DAN KRISIS POLITIK ?
Bagian 2: Pandemik, Krisis Politik
Rasa takut, rasa cemas masyarakat tetap ada. Hal ini bisa dilihat warga panik, berbondong bondong ke mal, mini market memborong, persediaan makanan
Oleh: TB.Massa Djafar
Secara psikologis, pertanyaan di benak warga terus terngiang, “Apakah kondisi benar-benar aman dan nyaman terbebaskan dari wabah virus?”
Jika tiba-tiba jumlah korban meningkat signifikan, hal yang harus diwaspadai dalam beberapa hari kedepan adalah bila tenaga medis dan pelayanan publik lumpuh. Atau kemungkinan terburuknya, pemerintah tidak mampu menanggulangi. Sungguh tak terbayangkan bila hal itu terjadi, tentu akan menimbulkan kekacauan sosial.
Pengumuman libur atau mengurangi aktifitas masyarakat selama 2 minggu, tentu mobilitas manusia akan mengalami penurunan drastis. Ini berarti juga menimbulkan efek pada penurunan aktifitas ekonomi, yang pasti berimplikasi pada penurunan income bagi para pekerja, terutama pada level masyarakat bawah seperti pedagang dan buruh. Demikian pula sektor produksi akan turut terkena imbasnya.
Jelas hal ini akan berdampak buruk pada perekonomian. Suplai kebutuhan pokok masyarakat juga akan mempengaruhi, sehingga harga bisa melambung tinggi. Kondisi demikian akan memicu keresahan, dan berpotensi terjadinya krisis ekonomi baru.
Merebaknya wabah Covid-19 juga harus dipahami dalam perspektif krisis nasional. Jika wabah ini terus meningkat dalam skala lebih luas dan menelan korban secara massif –pasti akan berdampak kepada pemerintah, di mana kepercaayaan rakyat akan sirna, sehingga wibawa pemerintah berada pada titik nadir. Bila kemerosatan kepercayaan terus meningkat, maka pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya krisis politik (delegitimasi politik).
Krisis legitimasi politik ini, tentu tidak berdiri sendiri. Leonard Binder, ahli ilmu politik, mengatakan bahwa “krisis legitimasi politik diawali dengan beberapa krisis; krisis intervensi, penetrasi distribusi, identitas, ekonomi dan moral.”
Gubernur Anis Baswedan, dalam penjelasan dihadapan public mengatakan kepada para pengkritiknya bahwa, dirinya berinisiatif karena sebagai pemerintah. Gubernur adalah representasi negara. Artinya, langkah-langkah cepat Anis adalah sebagai upaya menghadirkan negara ketika rakyat menunggu kepastian menghadapi krisis wabah corona.
Pernyataan-pernyataan bahwa hanya pemerintah pusat yang berhak mengumumkan keadaan darurat adalah benar. Namun, tidak bisa hanya dilihat dari kacamata legal-formal. Dalam keadaan krisis, elemen negara seperti pemerintah daerah, bisa mengambil take over fungsi negara untuk menghadirkan negara ditengah masyarakat. Pernyataan-pernyataan yang tidak memiliki send of crisis, apalagi punya tendensi politik kekuasaan mengabaikan fatsun politik.
Sikap Kenegarawanan
Sukar dibantah bahwa perpolitikan ditanah air semakin kehilangan tata krama, fatsoen politik. Orang bebas membuli, mencaci, menebar hoax. Namun krisis nasional yang dihadapi sekarang ini, tidak bisa dihadapi sendiri. Dan tidak bisa dipandang remeh. Sudah saatnya pemerintah secara sungguh-sungguh menunjukkan kemauan dan komitmen politiknya menghadirkan negara dalam menghadapi krisis.
Langkah-langkah pencegahan harus diumumkan secara transparan, sehingga tidak muncul berbagai spekulasi.
Dalam era kemajuan teknologi informasi, tidak mungkin pemerintah menutupi, meskipun dengan alasan menjaga kepanikan rakyat. Termasuk fakta menutup-nutupi arus masuk tenaga kerja asing dari Cina, ditengah penyebaran wabah corona. Tindakan demikian, bukanlah sikap negarawan. Justru merendahkan diri sebagai bangsa yang berdaulat dimata dunia.
Kontestasi politik yang seakan tak kunjung usai, harus dihentikan. Semua pemimpin bangsa, wajib bersama-sama mengutamakan keselamatan rakyat. Jika tidak, kemampuan dan kapasitas negara yang sangat terbatas, akan membuka krisis yang lebih dasyat. Keselamatan bangsa dan negara akan menjadi taruhannya. Rakyat tidak tidur, tidak bodoh mereka juga menilai siapa pemimpinnya yang kerap melakukan kebohongan dan siapa pemimpin yang punya komitmen dan menyayangi rakyatnya.***