Ekonomi

Vivo Mampu Jual BBM Lebih Murah, Selama Ini Rakyat Beli Bensin Pertamina Kemahalan

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peresmian SPBU Vivo, di Cilangkap Jakarta Timur, sempat menimbulkan menimbulkan polemik pertanyaan publik. Paling tidak ada 3 pertanyaan yang mengemuka.

Pertama, apakah PT Vivo yang menjual Research Octane Number (RON) tidak melanggar aturan? Kedua, mengapa harus Menteri Energi Sumber Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang harus meresmikan SPBU Vivo, yang seolah berperan sebagai marketing officer. Ketiga, mengapa harga RON89 Vivo bisa lebih murah daripada harga RON88 (Premium/Bensin) Pertamina?

Juru bicara Kementerian ESDM mengatakan bahwa SPBU PT Vivo Energy Indonesia tidak menyalahi aturan. Menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) 191/2014, RON89 termasuk jenis BBM umum, yang dapat didistribusikan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum BBM.

“Selama PT Vivo sudah mengantongi izin secara sah, PT Vivo berhak untuk mendistribusikan RON89 secara legal di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Jubir Kem ESDM.

Supaya ada perlakuan adil dengan Pertamina, Pemerintah juga harus memberikan penugasan kepada PT Vivo. Penugasan itu, tidak hanya menyalurkan BBM Penugasan, tetapi juga menjalankan kebijakan BBM Satu Harga, sebagaimana dibebankan kepada Pertamina.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Baca juga:

Terkait peresmian SPBU, Jonan menyebutkan bahwa dirinya tertarik dengan PT Vivo lantaran bisa menjual RON89 sebesar Rp. 6.100 per liter, lebih murah dibanding harga RON88. Jonan mengatakan bahwa dengan beroperasinya PT Vivo Energy Indonesia diharapkan masyarakat akan lebih banyak akses untuk mendapatkan BBM dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan izin swasta untuk mendistribusikan BBM sesuai aturan.

Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, dalam catatan keterangannya mengatakan,
Lebih murahnya harga RON89 ketimbang RON88 memang masih disangsikan.

“Berbagai kalangan berspekulasi untuk menjustifikasi pendapatnya kenapa harga RON89 bisa lebih murah. Ada yang mengatakan bahwa harga RON89 bisa lebih murah lantaran dijual di pasar “gemuk”, daerah Cilangkap Jakarta Timur. Ada pula yang mengatakan bahwa murahnya harga RON89 karena manipulasi dalam menetapan komposisi blending antara RON 92 dengan light naptha,” kata Fahmy.

Baca Juga:  Loloskan Ekspor Kepiting Berkarapas Kecil, Pengusaha dan Balai Karantina Ikan Diduga Kongkalikong

Untuk menepis spekulasi tersebut, Pemerintah harus mewajibkan bagi PT Vivo untuk membangun SPBU di wilayah terpencil dan terluar, di Pulau Seram Maluku. Bahkan, Pemerintah juga harus mewajiban untuk menjalankan Kebijakan BBM Satu Harga di berbagai wilayah yang masih belum terlayani oleh Pertamina.

“Kalau PT Vivo mampu menjual RON89 di Wilayah Penugasan dan Wilayah penerapan BBM Satu harga dengan harga tetap Rp 6.100 per liter, maka PT Vivo terbukti memang menjual RON89 lebih murah, bukan sekedar manipulasi harga,” ungkapnya.

Sedangkan, lanjut dia, untuk membuktikan bahwa proporsi blending antara RON 92 dengan light naptha memang sudah sesuai dalam pembentukan RON89, Pemerintah harus mewajibkan PT Vivo untuk membuktikan kebenaran proporsi itu dalam uji laboratorium.

Menurut Fahmy, jika PT Vivo terbuktu bisa menjual RON89 sebesar Rp. 6.100 per liter lebih murah ketimbang harga RON88 di berbagai Wilayah mengindikasikan bahwa harga RON88 sebesar Rp 6.450 dinilai kemahalan.

Dia menjelaskan, kalau RON89 diasumsikan setara dengan RON88 secara apple to apple, paling tidak kemahalan yang ditanggung rakyat sebagai konsumen adalah sebesar Rp. 350 per liter (Rp 6450-Rp 6.100 = Rp 350).

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Dengan asumsi bahwa konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari (data April 2017), 1 barel setara 159 liter, total kemahalan yang ditanggung harus ditanggung rakyat sebesar Rp 96,8 miliar per hari (1.740.000 barel X 159 liter X Rp 350). Kalau satu tahun 365 hari, maka total kemahalan harga RON88 sebesar Rp. 33,34 triliun per tahun (Rp 96,8 X 365 hari = Rp. 33,34 triliun).

“Berdasarkan perhitungan itu, kemahalan harga yang ditanggung rakyat sebesar Rp 33,34 triliun per tahun, yang sesungguhnya merupakan tambahan margin yang dinikmati oleh Pertamina,” ujarnya.

Dengan tambahan margin sebesar itu, Fahmy menuturkan, Pertamina tidak seharusnya mengeluh hanya karena menanggung biaya penerapan Kebijakan BBM satu harga sebesar Rp. 800 miliar per tahun, hanya sekitar 2,6% saja.

“Pertamina juga tidak seharusnya berkeluh kesah lantaran Pemerintah memutuskan harga RON88 tidak dinaikan hingga akhir tahun 2017, dengan pertimbangan menjaga daya beli rakyat sebagai kosumen,” tuturnya.

Reporter: Ricard Andhika
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews

Related Posts

1 of 21