Mancanegara

Vietnam Menuju Negara Kapitalis Dengan Sistem Pemerintahan Komunis

Vietnam Menuju Negara Kapitalis
Vietnam menuju negara kapitalis

NUSANTARANEWS.CO – Vietnam menuju negara kapitalis  dengan sistem pemerintahan komunis. Dewasa ini, Vietnam telah menjadi pasar untuk produk-produk bermerek korporasi global – dari Adidas dan North Face hingga Pizza Hut dan McDonald. Sampai USA Today mengatakan bahwa, “Vietnam adalah salah satu negara yang paling pro-kapitalis di muka Bumi.” Kebanyakan orang Vietnam sekarang mendukung kapitalisme, hampir 95% menurut Pew Research Center, yang mensurvei lebih dari 40 negara pada akhir tahun lalu terkait masalah ekonomi.

Pada awal 1993, perusahaan multinasional AS mulai mencari investasi di Vietnam. Meski datang belakangan dibanding negara-negara Asia – namun kehadiran branding AS telah terlihat di seluruh negeri, apakah itu Kentucky Fried Chicken, McDonald, Coca-Cola atau merek lainya. Di Ho Chi Minh (Saigon) telah berdiri Park Hyatt Hotel yang megah, simbol kemewahan kapitalisme.

Vietnam memang sangat membutuhkan investasi dari AS dan melupakan masa lalu bahwa perang itu pernah terjadi. Mayoritas orang Vietnam yang lahir setelah perang, lebih melihat ke depan untuk menjadikan Vietnam “negara maju” bukan melihat ke belakang.

Pergeseran Vietnam menuju negara kapitalis yang begitu semangat kini dikontrol penuh oleh Nguyen Phu Trong, yang pada musim gugur lalu menjabat peran ganda sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis sekaligus Presiden Vietnam.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Meski begitu, sepertiga ekonomi Vietnam masih dikuasai oleh negara. Namun sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2007 – modal asing mulai masuk dan peluang perdagangan semakin terbuka lebar – telah mendorong pertumbuhan domestik bruto hingga 7% dalam beberapa tahun terakhir.

Banyak warga Vietnam yang kemudian meningkat menjadi kelas menengah, tapi hanya sedikit yang mencapai tingkat pendapatan tertinggi. Sebaliknya, banyak juga yang dibiarkan hidup melarat dan jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Bagi mereka yang bekerja di perusahaan asing dapat menikmati gaji tinggi dan hidup dalam gemerlap dunia kelas menengah atas di negeri komunis itu. Sementara mereka yang “kaya” telah menjadi konsumen yang rakus. Dalam sebuah survei ditemukan fenomena menarik bahwa orang Vietnam menempati urutan ketiga di dunia dalam hal kesukaan barang-barang bermerek.

Tidak mengherankan banyak merek mahal hadir di Vietnam seperti: Louis Vuitton, Dior, Burberry, Ermenegildo Zegna, Bulgari dan Hermes. Untuk gaya hidup, Butik Hermes telah menjadi pilihan kelas menengah atas di Hanoi.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Meskipun kebanyakan sarana transportasi utama warga Vietnam adalah sepeda motor, tapi dealer mobil mewah juga telah dibuka dan kepemilikan mobil terus meningkat, khususnya di Kota Ho Chi Minh.

Sayangnya pertumbuhan ekonomi Vietnam baru-baru ini tidak mampu menyelesaikan kesenjangan pendapatan bagi 90 juta penduduknya itu. Bahkan, justru menimbulkan ketimpangan pendapatan yang semakin melebar. Sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sistem kapitlisme. Sekali lagi, Vietnam dapat menjadi contoh bagaimana ketidakadilan ekonomi terjadi – bahkan di negara yang pemerintahannya menganut paham komunis.

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Vietnam telah meningkat tajam dalam dua dekade terakhir. Di mana kelompok “kaya” telah mengambil bagian pendapatan yang tidak proporsional.

Berdasarkan analisis Oxfam pada 2017: Vietnam sedang bergerak menuju masyarakat yang semakin tidak adil. Termasuk sistem pajak yang lebih menguntungkan perusahaan multinasional. Laporan itu juga menemukan bahwa penghindaran pajak banyak dilakukan oleh perusahaan multinasional yang lebih menghisap ekonomi dan sumber daya negara itu. Akhirnya, beban pajak lebih banyak bergantung pada penghasilan yang lebih rendah, seperti para petani di pedesaan dan masyarakat umumnya.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Oxfam juga mencatat bahwa peluang kemajuan bagi mereka yang berada di strata ekonomi lebih rendah terhambat oleh biaya sekolah untuk pendidikan menengah dan biaya untuk sekolah dasar, seperti buku teks. Kesenjangan lainnya, adalah sistem kesehatan Vietnam yang lebih mudah diakses oleh orang kaya.

Menurut statistik: 29,9% dari pendapatan nasional bruto dipegang oleh orang kaya, yang hanya 10 persen dari jumlah penduduk, lapor Oxfam.

Di luar itu, pemerintah komunis sangat membatasi kebebasan berbicara rakyatnya. Meski begitu, perusahaan-perusahaan global baik-baik saja, terutama Presiden Donald Trump. Bagi AS, dengan standar gandanya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Justru sistem partai tunggal yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalistik lebih stabil sejauh menyangkut korporasi dan investor. Oleh Karena itu, tidak mengherankan bila perusahaan multinasional lebih menyukai Vietnam atau Cina yang “komunis” daripada negara-negara demokrasi yang tidak stabil.

Vietnam telah memulai jalur yang menjadikannya anggota komunitas neoliberal global, yang memastikan bahwa ketidakadilan dan korupsi akan terus berlanjut di sana. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,052