Opini

Urgensi MPR RI Kembali Menjadi Lembaga Tertinggi Negara

mpr ri, kursi ketua, partai koalisi, kursi ketua mpr, nusantaranews
Gedung MPR RI dan DPR RI di Senayan, Jakarta. (Foto: Istimewa)

Urgensi MPR RI Kembali Menjadi Lembaga Tertinggi Negara

Oleh: M Hatta Taliwang, Aktivis Politik, Anggota DPR RI 1999- 2004

Sistem adalah sekelompok komponen dan elemen yg digabungkan menjadi satu untuk mencapai tujuan tertentu.

Negara dilihat sebagai sistem merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan seperti lembaga negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, kampung, RW, RT yang saling berhubungan dimana rakyat merupakan penggeraknya.

Pengaturan tugas, wewenang, fungsi , peran, susunan pemerintahan, bentuk negara, hak dan kewajiban rakyat dan lain-lain diatur dlm UUD/UU.

Sehingga UUD45 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 merupakan sistem yang mengatur tatacara kita bernegara.

Sebagai sebuah sistem UUD45, tidaklah dg begitu saja bisa diubah (amandemen), karena kalau salah cara mengubahnya, maka bisa terjadi kekacauan. Terjadi tumpang tindih dan salah penempatan sehingga antara satu pasal atau ayat tidak terjadi link and match.

Apalagi dalam konteks amandemen UUD tahun 2002 di mana ada 128 ayat baru  maka sudah pasti terjadi kesalahan, kekacauan dan kekeliruan. Dampaknya tentu sangat besar seperti yang kita rasakan saat ini pasca Amandemen UUD45. Sistem itu rawan karena rantai sekuat apapun sangat tergantung pada rantai terlemah. MPR RI sebagai rantai terkuat dalam sistem ketatanegaraan kita yang dibuat pendiri bangsa kini lumpuh dan dampaknya luar biasa terhadap kedaulatan rakyat.

Salah satu yang diamandemen adalah berkaitan dengan fungsi, peran dan wewenang MPR RI.

Hemat kami MPR RI sesuai namanya adalah tempat tertinggi rakyat bermusyawarah melalui wakil yang dipilihnya.

Musyawarah itu bisa berkaitan dg siapa yg akan memimpin rakyat (menjadi Presiden), bermusyawarah tentang kearah mana bangsa mau dibawa dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai cita-cita kita bersama (GBHN). Sekaligus juga MPR menilai prestasi dan kinerja Presiden untuk diminta pertanggung jawabannya setiap akhir masa jabatan.

Bahkan dalam kewenangan tertentu sesuai rumus manajemen reward and punishment, MPR RI bisa memberi apresiasi dan penghargaan bila Presiden berprestasi dan berkinerja baik. Sebaliknya bisa juga memberi punishment baik berupa peringatan maupun pemberhentian bila presiden tidak menjalankan tugas dengan semestinya, atau melakukan korupsi, melakukan perbuatan tercela dan pengkhianatan.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Secara normatif hal-hal tersebut sudah diatur dalam UUD 45 18 Agustus 1945.
Masalah MPR RI Pasca Amandemen

1. Tidak menjadi Lembaga Tertinggi negara dengan dampaknya sebagai berikut

Semua  Lembaga Tinggi Negara(LTN) seperti Lembaga Kepresidenan, MA,BPK, DPR, DPD, MK, KPK dan lain-lain jadi kerajaan masing-masing.

Egosentrisme lembaga mengental

MPR yang biasanya menurut UUD45 18 Agustus 45 sebagai tempat mempertanggung jawabkan tugas di masa akhir jabatan tidak diperlukan. Sementara rakyat banyak tidak tahu apa kerja mereka, tahu tahu setelah 5 tahun  bubar jalan. Presiden yang memimpin 260an juta rakyat cukup di-SK-kan oleh KPU dan selesai tugasnya tidak merasa perlu mempertanggung jawabkan prestasi dan kinerjanya di forum terhormat Majelis Permusyawaratan. Sistem ini hemat kami tidak membangun rasa bertanggung jawab. Apakah berhasil atau gagal? Tidak ada reward dan punishment. Tidak ada yang perlu dirisaukan oleh Presiden yang berakhir masa jabatannya.

Malahan bisa ikut Pilpres atau kontes lagi kalau baru dalam masa jabatan pertama. Menyerahkan penilaian prestasi dan kinerja Presiden ke publik atau rakyat dalam konteks demokrasi liberal yang dikendalikan pemilik modal adalah tidak bijaksana. Karena dengan kekuatan uang, kekuatan media massa mereka bisa kendalikan opini. Sehingga yang hitam bisa jadi putih dst seperti dalam kasus Pilpres yang kita saksikan dimasa SBY maupun Presiden sekarang. Rakyat praktis tak berdaya menghadapi serbuan opini dan tekanan bila mereka kritis menilai prestasi dan kinerja Presiden.

2. MPR RI adalah tempat musyawarah tertinggi. Tempat di mana Presiden, putra terbaik dan utama seharusnya dipilih berdasarkan musyawarah mufakat dengan segala hikmah kebijksanaan dari para tokoh-tokoh bangsa dari segala aliran, profesi, golongan, utusan daerah dan lain-lain. Banyak yang kritik sistem perwakilan dan musyawarah ini, padahal ada partai yang mempraktekkan cara ini dan partainya sampai sekarang terus maju. Pergantian kepemimimpinannya tanpa gejolak, output partainya luar biasa. Sebuah ormas agama yang sudah mapan juga mempraktekkan cara perwakilan dan musyawarah mufakat dalam memilih pemimpinnya. Sampai sekarang ormas keagamaan tersebut tetap stabil, maju dan output-nya luar biasa.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Hampir semua organisasi melakukan pemilihan kepemimpinannya dengan sistem perwakilan dan musyawarah mufakat. Justru dengan sistem pemilihan lewat voting langsung oleh rakyat, Presiden Indonesia yang terpilih sulit diduga hasilnya karena banyak instrumen atau variable yang tak bisa dikendalikan oleh rakyat tapi justru bisa dikendalikan pemodal.

Maka MPR RI selayaknya dikembalikan ke fungsinya yang mulia sebagai lembaga permusyawaratan rakyat tertinggi.

3. MPR RI seharusnya menjadi tempat kata akhir segala keputusan penting dikeluarkan. Di negara negara yang katanya demokrasi seperti Inggris, Jepang, Thailand dan lain-lain sedemokrasi apapun mereka, sebebas apapun mereka, kalau ada krisis politik di negara mereka, mereka kembali meminta Kata Akhir dari Raja/Ratu/Kaisar.

Di Indonesia pasca reformasi, Presiden menabrak UU, melakukan kebohongan, keributan antar/internal Lembaga Negara (KPK vs Kepolisian, DPR vs KPK, Ribut di DPD RI dan lain-lain) berlalu begitu saja tanpa kejelasan penyelesaian. Bahkan terjadi  saling hujat, saling negasi di publik. Padahal masalah masalah ini mestinya bisa di selesaikan di MPR RI jika MPR RI masih sbgai lembaga tertinggi negara yang bisa mengeluarkan kata akhir tanpa bisa diperdebatkan lagi secara politik.

Sehingga dalam perspektif kami kita ikhlas saja MPR RI bagaikan Raja dalam sistem ketatanegaraan kita. Karena memang dulu Nusantara yang bergabung ke dalam NKRI ini adalah terdiri dari raja dan sultan yang tentu saja punya pengalaman bernegara dan mengatur negara mereka masing-masing, sehingga mempunyai pengalaman dan kearifan yang luhur.

Negara sebesar, seluas dan memiliki tingkat heterogen yang tinggi tak mungkin stabil bila diatur dengan cara cara liberal.

4. Ada pakar hukum tatanegara  yang  selalu membanggakan check and balance dalam kekuasaan, sebagai argumen atas diturunkannya derajat MPR RI dari Lembaga Teringgi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Pakar tersebut menganut paham liberal. Karena check and balance itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yang dalam ekonomi disebut persaingan bebas.

Persaingan yang akan membentuk keseimbangan. Padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan.

Saya kutip Salamuddin Daeng.

UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and balance. Atas dasar itulah membagi cabang-cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing-masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata. Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi. Ribut demi negara atau diri dan kelompoknya?

Buat apa saling menyeimbangkan (balance) sementara yang diperlukan bangsa ini meningkatkan produktivitas, perbaikan dan kemajuan bangsa dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, politik kehormatan bangsa (penghargaan internasional) dan lain-lain.

Filosofi dasar kita adalah musyawarah, kebersamaan, bukan individualisme, bukan persaingan bebas.

Penutup

Sistem itu seperti mobil, kalau ada masalah direm atau kopling maka mobil itu bermasalah. Bisa berbahaya buat keselamatan penumpang. Sehebat apapun supir,  bila mobilnya punya masalah sistemik, maka supir tak berdaya.

Dalam perspektif kami Indonesia bermasalah dengan sistem ketatanegaraannya. Masalah leadership itu masalah tersendiri.

Dampak dari masalah sistem UUD kita antara lain membuat output bangsa/ negara kita terus menurun. Hampir semua negara yang dulu sejajar di Asia Timur dan Tenggara telah meninggalkan kita dalam banyak hal. Bahkan Vietnam yang merdeka 30 tahun belakangan dari Indonesia, telah mengejar kita. Malaysia yang dulu banyak belajar dari Indonesia sudah jauh meninggalkan kita dalam banyak hal.

Apakah situasi itu tak menyadarkan kita?

Karena itu hemat kami menjadi sangat urgen kita menata UUD termasuk menata MPR RI.

Related Posts

1 of 3,052