Cerpen: Nanda Rista Noviati*
Di bawah lampu kota yang temaram aku melihat bayangan sosok yang selama ini aku hindari. Bahkan kakiku bergetar saat tak sengaja mata kami bertatapan. Dengan segenap kekuatan aku mencoba membalikkan badan namun naas ia sudah berada di depanku.
“Hai, kamu temannya Andin kan?”, ia menatapku intens. Aku menunduk takut menatapmya.
“Kamu salah orang, aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan. Maaf permisi aku harus pergi”, belum sempat aku beranjak, ia sudah mencekal tanganku.
“Aku nggak salah orang. Kamu Lea kan? Tolong katakan padanya aku ingin bertemu dan sampaikan beribu maafku padanya”, ucapnya. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Aku mendongakkan kepala menatapnya tajam.
“Aku memang Lea. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Andin lagi”, cercaku sambil mengibaskan tangannya. Dia terlihat rapuh saat aku mengatakan itu, namun pikirku mengelak mungkin itu hanya tipu dayanya. Aku beringsut menjauh, meninggalkan dia yang terlihat masih ingin mengejarku.
Saat jam istirahat, aku dan Andin duduk dibangku taman sekolah. Taman ini dikelilingi berbagai jenis tanaman yang memiliki bunga-bunga yang indah.
Baca Juga Puisi Pilihan:
- Marhaban, Ya Ramadan
- Pintu Rezeki dan Sehari Sebelum Ramadan Kembali Lagi
- Di Rumah Ramadan
- Marhaban Ramadan
- Tadarus 23 Ramadan
“Lea, lihat pohon itu deh! Kamu ingat kan?”, seru Andin, aku tersenyum miris. Andin masih saja mengingatnya.
“Ya ingatlah. Pohon itu adalah tempat pertama kalinya kamu dan Reno bertemu kan? Udahlah Andin lupakan semua itu. Kalau gini terus kapan kamu move on? Ini sudah setengah tahun sejak kalian putus”, tegurku.
“Aku tahu Lea. Meskipun aku sangat membencinya tapi di sisi lain cinta itu masih ada bahkan masih sama”, ujarnya lalu menghela nafas berat.
“Din, buat apa kamu masih mencintai orang yang jelas-jelas mengkhianatimu? Aku yakin di luar sana masih banyak yang lebih baik dari dia”, ucapku sambil meraih dan memeluknya. Andin menangis, dia lagi-lagi menangis karena satu cowok, Reno. Aku janji Din, ini adalah terakhir kalinya kamu menangis untuk seseorang yang tidak pantas mendapatkannya.
Sabtu sore, aku pergi ke supermarket untuk membeli keperluan bulanan. Biasanya aku pergi bersama Andin dan Mama, namun kali ini Andin ada urusan begitu pula dengan Mama. Setelah semua keperluan lengkap, aku pergi ke tempat buah-buahan untuk mencari buah kesukaanku, mangga. Ada berbagai jenis mangga di sini dan semuanya menggiurkan. Ada satu mangga yang terlihat ranum dan baunya begitu harum. Namun, buah itu sudah terlanjur diambil oleh seseorang. Aku ingin memprotesnya, namun itu sebelum aku tahu siapa orang itu, ternyata Reno.
“Lea, aku senang bisa bertemu denganmu di sini. Bagaimana kamu sudah mengatakannya pada Andin?”, Itu lagi yang dia ucapkan, niatku untuk protes usai sudah.
Aku tak menggubris ucapannya dan saat aku keluar ia masih saja mengejarku.
“Kamu maunya apa sih? Belum cukup kamu nyakitin Andin?”, ucapku gusar.
“Aku harus meluruskan kesalahpahaman ini Lea”, sangkalnya memohon.
“Kesalahpahaman katamu? Gila ya. Kamu selingkuh itu yang namanya salah paham”, ucapku sinis lalu berlalu. Darahku benar-benar mendidih mendengarnya, hingga aku tak menyadari ada mobil yang melaju kencang. Saat itu otakku membeku aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Siapapun tolong aku, sebelum semuanya menggelap dan lenyap.
Bauan obat memenuhi penciumanku, aku mengerjapkan mata pelan ruangan ini serba putih.
Apa aku?
Seorang dokter datang dan tersenyum melihatku.
“Wah kamu sudah sadar rupanya. Syukurlah kamu tidak apa-apa, kamu boleh pulang nanti”, ucap dokter tampan itu. Aku bernafas lega.
“Terima kasih, Dok”, aku pun ikut tersenyum.
“Kamu tidak mau menemui orang yang telah menyelamatkanmu?”, aku mengangguk, tentu saja aku ingin bertemu dengannya karena aku harus berterima kasih padanya.
Aku membuka handle pintu dan terlihatlah siapa yang berbaring di sana.
“Reno…”, ucapku gugup. Dia tersenyum menatapku.
“Kamu yang menyelamatkanku?”, ia lagi-lagi tersenyum.
“Terimackasih sudah menyelamatkanku”, aku bernafas lega, karena lukanya tak terlalu parah.
“Ngga apa-apa ini juga ngga seberapa, mungkin sebentar lagi sembuh. Aku senang kamu ngga apa-apa”, aku tersenyum dan ini benar-benar tulus.
Beberapa hari setelah aku keluar dari rumah sakit, aku diam-diam menemui Reno untuk sekedar merawatnya ya bagaimanapun juga aku berhutang budi padanya. Aku tak mengatakannya pada Andin, karena aku takut dia salah paham.
Seperti biasa aku datang menjenguknya, tak lupa aku juga membawakannya bubur ayam dan buah mangga.
“Asik bubur ayam lagi. Terima kasih, Lea”, ia tersenyum sumringah.
“Tapi..?” aku mengernyit heran, wajah Reno berubah masam.
“Kenapa? Ngga enak? Tapi bubur ini kan seperti biasanya?” ucapku bingung.
“Suapin..”, ucapnya dengan wajah polos. Hah! Aku tentu saja terkejut. Baru pertama kali ini aku melihatnya manja seperti ini.
“Aku ngga mau”, mau tak mau hatiku entah mengapa menghangat begitu saja.
“Please, Lea..”, aku akhirnya menyerah, tak kuat melihat wajah polosnya yang ingin aku tampar. Ups.
“Lea, sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak dulu pada Andin, tapi aku takut kalau apa yang aku katakan semakin memperkeruh keadaan”, ujar Reno disela makannya.
“Sebenarnya aku dan Viona tidak ada hubungan apa-apa, dia memang mencintaiku tapi dulu aku mencintai Andin, lalu ia mengatakan berita yang tak benar, sehingga aku dan Andin putus”, ia menghela nafas berat, seperti menerawang masa lalu.
“Bukannya aku tak berani menentang Viona, tapi ia mengancam akan memecat ayahku yang bekerja di perusahaan ayahnya. Aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa saat itu”, wajahnya terlihat lelah dan ada gurat kesedihan mencuat dari matanya. Ternyata inilah cerita sebenarnya. Aku telah salah menilai Reno selama ini.
“Aku janji Reno lain kali aku akan membawa Andin ke sini”, ucapku menguatkannya. Ia menggenggam tanganku lembut seraya tersenyum.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku pulang bersama Andin.
“Lea kok akhir-akhir kamu sering ngga bisa diajak jalan-jalan sih. Ada kesibukan apa?” aku gugup, belum saatnya aku mengatakan semuanya pada Andin.
“Mmm.. Akhir-akhir ini aku ikut bakti sosial ya menolong orang yang kesusahan gitulah”, jawabku asal.
“Wah.. Boleh ikut ngga?” ucapnya tertarik.
“Gimana ya? Soalnya bukan aku yang mengkoordinir?” ujarku bingung.
“Ayolah..”, sebelum aku sempat menjawab, Andin mendapatkan telepon.
“Iya Ma, kakek di rumah sakit? Oke Andin segera pulang.”
“Sorry ya Lea kapan-kapan aja”, aku pura-pura mengangguk.
“Semoga kakekmu cepet sembuh ya”, ia tersenyum lalu berlalu.
Setibanya di rumah sakit, aku melihat Reno sedang berada di luar.
“Lho Reno kok di luar, kamu sudah baikan?”, ujarku lalu duduk di sampingnya.
“Bosan di dalam terus. Sekarang sudah lumayan karena kamu yang merawat”, mendengar itu pipiku tiba-tiba memanas.
“Sejak kapan kamu gombal?” tanyaku.
“Sejak kenal kamu”, lalu ia mengerling nakal tepat di depanku. Aku yakin wajahku sudah seperti tomat rebus sekarang.
“Aku senang ada kamu di sini, Lea. Hidupku yang setengah tahun lalu suram jadi berwarna lagi. Kamu siatu-satunya orang yang ingin aku lihat saat aku membuka mata dan menutup mata”, lalu ia menatapku intens. Apa maksud ucapannya tadi? Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Jantungku kenapa seperti ini? Apa aku terkena serangan jantung bahkan aku tak dapat menghitung detakannya.
“Oh, jadi ini yang kamu lakukan di belakangku Lea. Kamu bohongi aku, kamu khianatin aku”, aku dan Reno sama-sama kaget melihat kedatangan Andin yang tiba-tiba. Aku melepaskan genggaman tangan Reno dan beringsut mendekati Andin.
“Ini tidak seperti yang kamu lihat Din. Aku dan Reno ngga ada apa-apa”, ucapku frustasi.
“Salah lihat katamu. Jelas-jelas aku melihat kalian berdua pegangan tangan. Kamu sama aja ya Lea. Dasar kalian pengkhianat”, Andin berlari sambil berurai air mata. Kenapa sekarang aku yang membuatnya menangis?
Dari kejauhan aku melihat sepeda motor yang melaju kencang, dan Andin berada di seberangnya tanpa melihat jalan. Tuhan, tolong kali ini selamatkan Andin juga. Aku berlari sekuat tenaga, namun motor itu semakin dekat. Dan aku menutup mata, takut melihat apa yang terjadi selanjutnya.
“Reno….”, itulah suara yang pertama kali aku dengar. Saat membuka mata, lututku lemas melihat kejadian yang ada di depanku. Aku melihat Reno terkapar dengan Andin di sampingnya. Mimpi buruk apa yang terjadi kali ini?
“Reno, aku mohon kamu harus kuat”, ucapku sambil menggenggam tangannya yang berlumuran darah.
“Kamu harus jelasin semuanya sendiri pada Andin”, pintaku.
“Reno aku sudah maafin kamu bahkan sebelum kita putus. Aku ingin kamu kembali sehat. Aku mohon Reno, aku mohon..”, ucap Andin dengan tangisan yang tak berhenti.
“Aku minta maaf, sudah menyakitimu, maafkan aku yang kini mencintai, Lea”, aku tertegun. Aku takut Andin terluka lagi, namun ia tersenyum.
“Ngga apa-apa asal kamu kuat ya”, pinta Andin.
“Aku hanya minta kalian kembali akur sebelum adanya aku. Janji”, kami pun mengangguk. Reno tersenyum.
“Lea, aku senang bisa menepati janjiku untuk melihatmu saat aku menutup mata nanti untuk yang terakhir kali. Meskipun pertemuan kita singkat kamu telah berhasil menguasai hatiku. Aku sangat mencintaimu, cinta terakhirku. Terima kasih untuk segalanya”, ucap Reno.
“Kamu harus kuat Reno, aku mohon”, air mataku tak hentinya mengalir. Reno tersenyum dan menutup matanya.
Kami berdua kehilangan Reno. Kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidup kami. Dan aku sadari itu, aku pun mencintainya. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai mencintainya tetapi yang jelas cinta ini lebih dari sekedar cinta sesaat. Aku bersyukur pernah mengenalnya. Dialah cinta pertamaku dan mungkin juga yang terakhir. Inilah pertemuanku dengan sosoknya untuk yang terakhir kalinya. Reno telah pergi untuk selamanya.
*Nanda Rista Noviati. Lahir di Rembang, 18 November 1997. Suka menulis karena menulis adalah mengabadikan setiap imajinasi kita. Jika ingin menghubungiku bisa melalui facebook dengan nama Nanda Rista Noviati atau email: [email protected].
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].