Cerpen

Umay – Cerpen Sabda Alur

Ibu muda itu baru saja melahirkan. Ada guratan takut sekaligus was-was. Seperti tebakanku dulu. Umay sering gelisah semenjak kandungannya menginjak usia sembilan bulan. Bukan apa-apa. Ia menekur insyaf atas sikap kasarnya kepada Mak Ju. Ibunya sendiri.

Sewaktu sekolah, Umay seringkali mencak-mencak di depan sang ibu. Marah sebab uang saku yang selalu sedikit. Maklum saja, Mak Ju, hanya kuli gudang tembakau. Bapaknya sudah lama tiada. Bukan meninggal. Melainkan pergi dan tak pernah ada kabar sampai sekarang. Menurut cerita salah seorang tetangga, saat berpapasan sewaktu pulang bekerja di Malaysia, suami Mak Ju selingkuh dengan perempuan yang dikencaninya sebelum kawin. Lengkaplah penderitaan Mak Ju. Suami tak ada. Sedangkan anak semata wayangnya tak sepenuhnya penurut.

Umay acapkali bolos sekolah. Pergi bersama seorang laki-laki ke stasiun Kalisat. Menyelinap masuk ke dalam gerbong kereta. Menumpang pergi ke kota. Sesampainya di stasiun tujuan, Umay yang bersembunyi di dalam toilet, mengendap-ngendap keluar lalu menuju kamar mandi stasiun. Mengganti pakaian kemudian berjalan keluar.

Sayangnya, kepala sekolah yang mirip aktor India itu, memiliki batas kesabaran. Semenjak Umay berbadan dua, ia tak lagi kasihan memanggil Mak Ju ke dalam ruangan. Mata kepala sekolah itu turut berair saat melihat tangis Mak Ju meminta belas kasih. Menangis, sebab perempuan tua ini berhasil ditipu anaknya sendiri.

Kalau bukan curhatan Umay kepada sahabat karibnya, Qorib, barangkali, kehamilan Umay takkan sampai di telinga Mak Ju.

Menurut cerita Qorib, sahabatnya itu hendak mencari obat penggugur kandungan. Padahal, setiap pagi, Umay selalu meloncat-loncat tak karuan, supaya bayi yang tengah dikandungnya cepat keluar. Hanya saja, janin itu betah di dalam perut Umay.

Melihat kandungannya yang semakin membuncit serta sikap kurang ajarnya yang semakin menjadi-jadi, orang-orang menaruh belas kasih kepada Mak Ju. Bahkan tak sedikit yang meminta Mak Ju mengeluarkan sumpah serapa seperti cerita Malin Kundang. Ya, saat ucapan ibu Malin yang mengutuk anaknya menjadi batu, lalu direstui oleh firman Tuhan yang mengatakan Kun Fayakuun. Jadilah! Maka, jadilah sesuatu.

Andai saja, Mak Ju berkenan mengutuk anaknya menjadi batu, aku yakin, kampungku akan ramai dikunjungi wisatawan. Pastilah Wak Buto yang dituakan orang-orang, akan berceramah panjang lebar tentang asal usul tubuh Umay yang telah membatu dengan posisi tangan menunjuk arah selatan dan matanya yang melotot lebar.

***

Semenjak kandungan Umay menginjak bulan kesembilan itulah, sikapnya tak sekasar seperti sebelum mengandung. Menurut cerita yang kudengar dari orang-orang, Umay menyesal telah durhaka kepada ibunya sendiri. Apalagi, sebentar lagi, ia akan melahirkan seorang bayi. Sama seperti ibunya saat melahirkan Umay ke dunia. Umay tak lagi membuang nasi yang dimasak Mak Ju sebelum pagi menyingsing, hanya karena lauk yang tersedia berupa tempe goreng. Umay telah berubah. Oh, mungkin inilah yang bernama hikmah dari suatu peristiwa. Ternyata, hikmah itu tak pilih-pilih perbuatan.

“Aku sayang kepada bayiku ini. Sekalipun tak memiliki bapak. Seandainya aku diberi harta sedunia, bayi ini tak ada tandingannya,” kalimat itulah yang terlontar dari mulut Umay, saat kutanyakan perihal bayi yang dikandungnya.

***

Umay telah melahirkan. Sebenarnya, orang-orang tak tega mendengar tangisan bayi yang baru berumur sehari itu. Terdengar mengiris hati. Berbeda dengan tangisan bayi yang pernah ada di kampung ini. Tangis bayi Umay yang belum diberi nama itu, terdengar sangat pilu. Sesedih kehidupan Umay dan Mak Ju. Malah, suara tangisan yang sering melengking di tengah malam ini, mendatangkan berbagai do’a dari mulut orang-orang.

Sebagian ada yang berdo’a, semoga bayi Umay tak menderita suatu penyakit. Sedangkan sebagian lainnya berdo’a agar Mak Ju dan Umay bersabar menghadapi cobaan yang satu ini.

Rupanya, Tuhan tak mau berlama-lama menguji ketabahan Mak Ju dan Umay. Sekalipun tangisan Bayi Umay masih terus terdengar setiap waktu, kini, Umay telah bekerja sebagai pelayan di rumah makan. Mak Ju sendiri tak lagi bekerja sebagai kuli tembakau. Ia mengasuh sang cucu, sembari menunggu Umay yang bekerja dari pagi hingga tengah malam. Lengkap dengan busana yang memikat hati.

***

Aku tak tau, sejak kapan kampung ini tak lagi mendengar tangisan bayi Umay. Tak ada satupun yang tersadar, sejak kapan tangisan bayi yang menyayat hati itu menghilang. Berita yang tersebar, bayi Umay hilang diculik di rumah sakit. Itu saja yang kutahu.

Mak Ju, yang sekarang kembali bekerja sebagai kuli tembakau, sering bungkam saat ditanyakan cerita hilangnya sang cucu. Mata Mak Ju selalu terlihat sembab. Semenjak itu, orang-orang tak ada lagi yang berani bertanya, bagaimana cucu yang belum diberi nama itu menghilang di rumah sakit. Tak tega melihat nasib tertulis hidupnya.

Sedangkan Umay, terlihat sangat tegar dan teramat ikhlas kehilangan anak satu-satunya. Meskipun begitu, orang-orang juga turut tak tega bertanya tentang bayinya. Takut melukai hati seorang ibu muda yang baru insyaf dari durhaka.

“Hey, Umay, sekali-kali ceritakanlah tentang bayimu itu. Kalau kau mau, aku antar ke kantor polisi. Kita cari siapa yang menculik anakmu itu.”

Aku yang tak tahan melihat penderitaan Mak Ju, sengaja menunggu Umay pulang kerja. Aku penasaran, bagaimana bayinya hilang di rumah sakit. Yang kuhapal, anaknya tak pernah sakit meski memiiki tangisan pilu. Saat melahirkan saja, ia hanya dibantu dukun kampung.

Umay yang mengenakan baju ketat, tersenyum. Lalu mendekat dan menjinjit. Berbisik manja tepat di telinga kananku.

“Bayiku sudah kutukar dengan segepok uang. Hidup ini terlampau sulit untuk bayi yang masih belum memiliki dosa.”

***

Sabda Alur, Tinggal di Jember, Jawa Timur

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39