DI AWAL runtuhnya kekuasaan Orde Baru, topik dan isu politik yang paling hangat dibicarakan adalah menyalahkan UUD 45 karena tidak membatasi jabatan Presiden Soeharto dan UUD45 tidak mengatur sistem Pemilu dan hak asasi manusia (HAM). Didorong rasa euforia kejatuhan Orba dan kebencian terhadap lamanya Pak Harto berkuasa, gerakan menjatuhkan Soeharto berubah menjadi gerakan merubah negara secara euforia.
Saya katakan menjadi gerakan merubah negara dengan alasan bahwa tenggang waktu antara kejatuhan Soeharto dengan perubahan UUD 45 sangat pendek. Soeharto lengser 21 Mei 1998, sedangkan gerakan melengserkan UUD 45, MPR dan sistem demokrasi ala Pancasila terjadi tanggal 19 September 1999. Ini saya maknai sebagai gerakan merubah negara konstitusional menjadi inkonstitusional.
Apa yang berubah dengan negara ini?
Bangsa ini paham betul bahwa Indonesia didirikan menjadi sebuah negara atas dasar tiga hal yakni Kemerdekaan, Pancasila dan UUD45. Tapi faktanya, NKRI tidak lagi dibangun berdasarkan apa yang digariskan Pancasila dan UUD45.
Kata “Indonesia Asli” di hilangkan dengan alasan bermakna rasis. Lha artinya menuduh para anggota BPUPKI pendiri bangsa ini rasis? Kemudian “Sila ke-4 Pancasila” sebagai basis demokrasi musyawarah mufakat diparkir alias tidak difungsikan.
Di atas telah saya sampaikan bahwa gerakan menjauhkan Soeharto sebenarnya adalah tujuan antara saja. Tujuan sebenarnya adalah merubah NKRI melalui perubahan dan penambahan pasal pasal UUD 45. Gerakan ini menyalahkan UUD 45 yang menyebabkan Soeharto berkuasa 30 tahun.
Apakah gerakan menjatuhkan Soeharto akan berhenti ketika mereka telah berhasil menjatuhkannya serta merubah negara RI? Oh, tentu tidak. Mereka masih memiliki agenda berikutnya yaitu sekularisme dan sistem komunis dan atheis.
Sekali lagi di atas sudah saya sampaikan bahwa isu politik yang mereka mainkan adalah menuduh UUD 45 yang menyebabkan Soerharto berkuasa 30 tahun. Di samping itu, mereka juga menuduh UUD 45 tidak demokratis dan tidak melindungi hak asasi manusia.
Untuk mencapai tujuan berikutnya yakni sekularisme, komunis dan atheis gerakan ini mengangkat isu politik radikalisme Islam, politik Islam intoleran dan politik Islam rasisme. Mengapa gerakan ini menuduh umat Islam memainkan politik radikalisme, politik intoleran dan politik rasisme? Itu karena tujuan mereka ingin mengsekulerkan Indonesia, dan kembalinya komunis di Indonesia karena pasti akan ditentang oleh umat Islam dan TNI, karena sekuler dan komunis itu bertentangan dengan Pancasila dan ajaran Islam.
Soerharto berkuasa selama 30 tahun, isu politik radikalisme Islam, intolerans dan rasisme tidak pernah dijadikan topik persoalan politik dan sosial oleh Orde Baru.
Isu politik Islam radikal, isu politik Islam intoleran dan isu politik Islam rasis adalah sengaja mereka create atau ciptakan dengan tujuan untuk memasung gerakan politik umat Islam. Uji coba politk mereka lakukan di DKI dengan mengusung Ahok sebagai calon gubernur dengan mengatasnamakan politik toleransi, politik non diskriminatif dan Kebhinekaan. Akan tetapi, Allah mempunyai rencana lain di DKI. Dan terbukti gerakan politik umat Islam dengan mengangkat syariat Islam meruntuhkan semua agenda mereka.
Ketiga isu di atas tidak pernah ada di dalam gerakan Islam dari zaman ke zaman. Sebab, Islam itu bergerak sesuai dengan tuntutan kitabullah dan Al-Hadits. Yaitu gerakan illahiyah dan insyaniah yang dibangun di atas kemanusian berdasarkan toleransi sosial. Sebab, Islam tidak mengenal toleransi dalam menegakan akidah dan syariah.
Sesungguhnya, hal yang paling berat dihadapi gerakan sosial dan politik umat Islam adalah para munafikin itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab para munafikin ini mengedepankan politik ghonima, mencari rente kekuasaan, mencari rente politik dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran untuk pasar politik.
Gerakan politik Islam pada akhirnya akan menjadi katalisator untuk menjamin Pancasila dan UUD 45 asli kembali eksis di NKRI ini. Dan inilah yang ditakuti oleh para kreator sekularisme dan kembalinya ideologi tanpa mengenal Tuhan.
Umat Islam harus bergerak untuk melepaskan diri dari sasaran stigma politik radikalisme, politik intolerans dan politik rasisme. Gerakan politik Islam harus menjadi solusi dan kembali menjadi gerakan politik dengan peradaban Pancasila seperti di awal awal kemerdekaan bangsa Indonesia.
Oleh: Habil Marati, Pusat Studi Politik Dan Islam (PUSPI)