U
di kota yang terbakar:
riuh kata-kata membangun
sebuah rumah untuk
dirobohkan
riuh kata-kata
merasuk aku dan kau
riuh kata-kata menjelma jadi
sebuah puisi untuk menikam
tanpa diketahui
(menikam dengan cara yang cantik
dan mengundang lelap)
*
di kota yang terbakar:
aku dan kelamin waktu adalah yang
paling sopan
dalam menyambut kefanaan bara
Denpasar, 2016
Jangan Bersepeda di Sana
tuan alfon bersepeda di tengah putaran
burung-burung pingai
di sepanjang setapak yang dibenci
pohon-pohon eru
butir-butir azab dari pori-pori di dahinya
tegangkan rahim bumi
(tak ada bayi di sana
dan tak boleh ada
dan tak pernah ada)
titik akhir yang dicarinya
diam-diam
mengikutinya dari belakang
—ingin melihatnya terus bersepeda:
ketegangan otot-otot kaki;
ketegangan penantian;
ketegangan kelamin waktu;
ketegangan janji-janji yang bertumpahan dari
sejumlah doa tuan alfon
o, tuan alfon,
takkah kaudengar anakmu memanggil melalui
kepak sayap pingai-pingai itu?
(tapi sepasang kakimu tetap mengayuh sepeda
kau ingin sampai
pohon-pohon eru mulai membencimu)
sekepal batu: tuan alfon tak melihatnya
sepeda tuan alfon melindasnya
tuan alfon terjatuh
(darah: aku menemukan sesuatu yang lebih hangat
ketimbang kepala pria itu: tanah)
burung-burung pingai bubar
pohon-pohon eru menjauh ke lembah dada
setapak mengerut di balik celana keyakinan
di rumah, anakmu menanti
bersama segelas jus apel
yang mulai kusam
Denpasar, 2016
Nurlela Kedua
—teringat Bing Slamet
/1/
nurlela tak cantik lagi; ia putih serupa
buih dan mayat, dan mayat yang ditelan
buih (sebelum kapal pemberontak
menemukannya
dan salah seorang awak kapal berkata:
“siapa yang mengeluarkan feses
sedemikian besar?!”)
nurlela tak cantik lagi; siapa kena lirik
benak terjebak intrik
(dan ia akan berdendang; rasamu
di awang)
/2/
nurlela tak pandai menari lagi;
kaki-kaki itu kupatah, aku kaupatah
dengan musim
nurlela tak pandai menari lagi;
tubuh bahasa rontok
memotong saraf dramaturgi
/3/
nurlela tidak cantik
nurlela tidak pandai menari
tapi nurlela tahu cara membunuh
pelantunnya
Jakarta, 2016
Sinopsis
kata hampir tuntas meminjam rupa. kata hampir
tuntas menanam kepala aku ke dalam botol bahasa.
kata hampir menjadi lampu yang menjelmakan puisi.
kata hampir membangun dinding-dinding “aku”
menjadi kau dan kata “penuh” yang jenuh terhadap
kata.
tapi gorden kau belum dibuka. tapi gorden kau belum
melihat tamu mana yang hendak menjadi aku. aku yang
jenuh; aku yang penuh—aku yang hampir dituntaskan oleh
rupa
dan
kata-kata.
Jakarta, 2016
Sinopsis, 2
menembak seekor burung camar. mencatatnya dengan
rumus yang salah. membawa pulang ke apartemen.
melewati komidi putar bahasa—yang dinaiki oleh bocah-
bocah logika cahaya. merekamnya dengan sebutir peluru
dan bau daging gosong. berangan mencetak-memajangnya
di kamar prosa
menikmatinya sambil masturbasi dengan puisi.
tunggu. burung camar menjadi kata “tembak”. kata “tembak”
lalu jadi bahasa. bahasa keluarga kita. tunggu. lidah kaku,
berasa bubuk mesiu. jangan kau campur dengan menu sarapan
aku. tunggu. aku tak bisa bicara dengan tembok jika ada
peluru
di mulutku.
Jakarta, 2016
Bayang-bayang Merah: Scene 5
membiarkan kau diaduk secangkir kopi. mengajarkan kau
menahan belai dari belakang, lalu didorong ke tembok
untuk bercumbu. tidak berbicara satu kali pun. kecuali
alat perekam di tangan seseorang.
Jakarta, 2016
Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Antologi cerpen tunggal pertamanya berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Tulisan-tulisannya yang lain dapat dijumpai di lebih dari delapan antologi bersama dan sejumlah media massa. Publikasi puisi-puisi Surya Gemilang di nusantaranews.co minggu ini adalah “Kekasih yang Kera“, “Hari Ini Bukan di Denpasar“, “Pan Kasim, Dongengi Aku“, “Pun Sajak Bisa Merambat“, “Racun Belukar Malam“, “Sajak Pedang“, dan “Serat“.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].