Tutur Tinular A la Lasswell: Cara Mengelola Persepsi Politik Pilpres

Rezim Pencitraan (Ilustrasi/Zaenal Abidin Riam)

Rezim Pencitraan (Ilustrasi/Zaenal Abidin Riam)

NUSANTARANEWS.CO – Bagaimana mengelola persepsi politik voters untuk pemenangan pemilu dan pilpres? Sederet jawaban segera muncul disertai improvisasi yang didasarkan pada pengalaman empirik individual, karenanya tidak cukup teruji.

Ragam jawaban memang banyak, cenderung berpijak pada satu hal utama, yakni sudut pandang ideologisasi-relegius bersumberkan fakta pengalaman – meminjam pikiran Benedict Spinoza — tidak terbantahkan, sehingga akhir kesimpulan: “voters cenderung memilih orang yang seiman!”

Berapa besar keyakinan tentang itu tidak diperlukan lagi, lebih lanjut juga tidak perlu dibuktikan seperti apa persepsi yang terjadi. Lalu, bagaimana caranya untuk mengetahui pola hubungan Citra – Persepsi – Perilaku dalam proses pembuatan keputusan politik voters untuk mengelola persepsi publik?

Sampai di situ kesukaran mulai muncul dalam rangka mencari jawaban terukur yang dibutuhkan perencanaan dan analisis — baik model umum maupun spesifikasi PAN.

Memakai pikiran Bruce Russet dan Harvey Starr dalam World Politics: Menu For Choice (Freeman, 1985), keputusan politik didorong oleh situasi yang menimbulkan masalah: (i) ada stimulan dari lingkungan yang disebut trigger event, (ii) ada upaya mempersepsikan stimulan itu untuk menata, menyeleksi, menilai informasi tadi terhadap sekitarnya, dan (iii) ada upaya menafsirkan stimulan yang sudah menjadi persepsi politik itu.

Hipotesis dari situ adalah: “Persepsi politik dan penafsirannya sangat tergantung kepada Citra yang terbentuk dalam benak si pembuat keputusan politik.”

Beberapa alasan pedagogis merujuk Horton & Hunt (1985), diketahui bahwa pengelolalaan aspek afegsi dan kognisi untuk menerbitkan keputusan psikomotoris dalam event pemilu di Indonesia kurang layak, karena harus menggunakan sistematika berbiaya mahal dalam pembentukan persepsi, di samping tidak begitu efektif untuk kurun aplikasi permasalahan berusia singkat.

Hal itu karena harus membedakan sejumlah korelasi dari faktor-faktor penentu yang muncul dalam motif dan perilaku melalui model sarana jangka menengah.

Mempelajari pembanding serupa dari Kenneth Boulding, persepsi yang dipengaruhi naluri dan kepribadian sebagai faktor statik bisa jadi sukar dikelola. Sebaliknya persepsi yang bersumber dari Citra tadi selaku faktor dinamik adalah target yang memungkinkan diolah, karena ia selalu berubah.

Pada tahun 1930, Harold D. Lasswell mengetengahkan teori pendekatan psikoanalisis tentang hubungan pola Citra – Persepsi – Perilaku dalam pembentukan keputusan politik.

Teori Psikoanalisis Politik tersebut pertama kali digunakan di dunia dalam studi-studi politik, sehingga memunculkan wacana dikotomis yang hangat sebelum dan sesudah pecahnya Perang Dunia II.

Menurut Lasswell, perilaku politik adalah hasil dari upaya kepribadian aktor politik dalam memproyeksikan dirinya pada suatu objek publik kemudian merasionalisasi tindakannya dengan dalih kepentingan publik (Mohtar Mas’oed, 1997: 12).

Kesimpulan penting dari Lasswell — setelah teori-teorinya itu disandingkan dengan teorema Freudian, Ilmu Filsafat, dan Psikobiografi sumbangan Alan Isaak — adalah: Pertama, bahwa “Keputusan politik dalam proses persepsi dipengaruhi lingkungan kultural”. Pada terminologi lingkungan kultural itu, termasuk basis ideologisasinya — suatu masa lampau yang menyakitkan dan mempengaruhi persepsi.

Kedua, apa yang disebutnya sebagai rasionalisasi tadi adalah tindakan pelampiasan derita psikologis masa lampau kepada objek publik itu sendiri, misalnya, kepada pemerintah (perhatikan perubahan perilaku pelaku reformasi ketika kini sudah berkuasa). Namun demikian pada pada saat bersamaan, akhirnya Lasswell harus mendorong difinisi perilaku irasional untuk menjawab keputusan politik yang absurd. Dalam hal ini ia berargumen: perilaku pada dasarnya tidak disadari.

Dari dasar-dasar studi psikoanalisis politik itu, Lasswell mengembangkan teorema Ilmu Politik Modern (1963) yang dihubungkan dengan peran Ilmu Komunikasi dalam pembentukan Citra – Persepsi – Perilaku.

Di situ, informasi – sebagaimana keyakinan sosiologi sebelumnya – merupakan wahana  terbesar dalam pengaturan penyamaan perilaku organisasi, termasuk keputusan politik: “Who says, how, and witdh what effect?(Modern Politics: 1963).

Aspek dasar studi psikoanalisis politik itu sendiri, sebenarnya tidak mengubah metodologi bakunya. Pola-pola Trilogi, seperti Citra – Persepsi – Perilaku tadi, sebelumnya sudah berkembang pesat pada Ilmu Ekonomi Industri sejak Edward Mason (1900-an), kemudian dalam banyak model manajemen Trinitas Barat, dan studi-studi sosioantropologis yang lebih tua tentang kelompok sosial, terutama yang berbasis  Content Analysis dan teori-teori Behavioral.

Terpenting secara Analysis Hirarchy Process dari Trinitas itu, ialah variabel utama yang menduduki prisma puncak selaku faktor determinan, yaitu Persepsi. Perhatikan Infografis 1: Tutur Tinular Network Existing Design (TTNed).

Rancangan TTNed menunjukkan luas aplikasi sebuah metode pengelolaan persepsi Tutur Tinular menggunakan aksiologis Etnik Jawa dengan dua kamar.

Kamar I, adalah Encoder (pengirim pesan), Kamar II adalah Decoder (penerima pesan).

Komponen Encoder terbagi enam Segmen, sbb: (i) Manager Champaign, (ii) Modulation-Demodulation, (iii) Theme Arranger, (iv) Voice Arrager, (v) MAR Event, (vi) MAR Voice.

Sedangkan komponen Decoder, terdiri segmen X1Y1, X2Y2, X3Y3, sbb:

X1  =  Voice DPW Network
X2  = Voice InOrder Network
X3 = Voice Partisan Network.

Kamar I dikelola secara manajemen kompleks yang dikendalikan oleh Modulasi-Demodulasi. Tugas utamanya adalah melaksanakan (i) Sediaan (Stock),Pencipta Creative (Theme Arranger), (ii) Perencana Amplitudo (Voice Arranger), (iii) Pengolah Momentum (MAR Event), dan Distributor Amplitudo (MAR Voice).

Pada penyelesaian di Kamar I, reward sudah dapat dihitung secara terukur. Baru kemudian didistribusikan ke Kamar II yang menyimpan tiga Mesin Frekuensi (X1, X2, X3). Axis X selaku variabel bebas diberi peran untuk membentuk Axis Y. Persilangan X dan Y adalah kinerja yang diperoleh dari TTNed yang dapat dihitung secara matematis, termasuk banding antarareward-nya terhadap costing dengan variabel kunci: (i) Time Circle Index, (ii) Continuity Run News, (iii) Resources Continuity, dan (iv) Command Line.

Sampai di sini perkerjaan mulai rumit karena perlu memastikan bahwa mesin-mesin frekuensi itu berjalan sesuai kapasitas terpasangnya, di mana pengondisian psikoanalisis yang dikemukakan Lasswell tadi mulai memerankan plotting mobilitas psikomotoris Axis Y ke arah tindakan rasionalisasi dan irasional tadi. Simulasi metodologi ini pada patron aksiologis etnik Jawa, mengadobsi instrumen komunikasi informal local culture, yakni getok tular yang bentuk kongkritnya adalah Tutur Tinular (Suparlan, 1985).

Pedomannya, adopsi itu harus menemukan  kemasan Amplitudo yang dapat diseragamkan, sehingga costing dapat ditekan seefisien mungkin. Perhatikan Y1, semakin dekat dengan Inner Group PAN, Y semakin lemah. Sebaliknya, semakin jauh Y1 dari Y2 dan Y3, kian efektif dan kian efisien. Premisnya: X bisa jadi bukan Inner Group saja, dan Y yang berperan adalah Out Group.

Siapa X dan Y? X1 adalah para DPW (Inner Group). X2 adalah Out Groups, dan X3 Out Groups. Bagaimana membentuk X2 dan X3?

Jika tak jelas Modulasi-Demodulasinya, maka sulit sekali menentukan siapa X2 dan X3. Jika menggunakan metode komunikasi massa, X2 dan X3 adalah perangkat sederhana Encoder – Decoder yang terdiri dari tiga jalur Router yang bekerja sesuai keinginan manajemen komunikasi.

Aplikasi Riil: Sebuah Proyeksi

Output MAR Voice direncanakan oleh Manajemen berbunyi, sbb: “Pisang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan!” (Seharusnya Voice ini dimuati sesuai logika Lasswell). X1 yang jumlah 33 buah (DPW), memobilisasi Y1 dan Y2 untuk bicara manfaat pisang dalam jumlah 33 juga banyaknya. Tiap satuannya, manfaat didiskursus sesuai karakteristik aksiologi local culture mengikuti tesis Lasswell yang menghasilkan aplitudo pada Infografis 1 dalam tiga frekuensi.

Hasilnya, terdapat 33 sentra TT yang coba mengidentifikasi wacana ke dalam fakta sekitar. Jika adobsinya tepat, maka tercipta keputusan politik bahwa pesan dari MAR Voice itu benar. Yang penting dari situ, 33 sentra itu adalah wilayah sulit dimasuki komunikasi formal, tapi dengan TT dapat ditembus. Dalam kasus  ini, Y2 adalah instrumen, faktanya adalah media massa atau forum massa, sedangkan Y3 adalah nara sumber dari Y2.

Tema Lemah  (Weakness Theme)

Ada tiga tema riskan persepsi bagi PAN dalam menghadapi pemilu dan pilpres. Pertama, beban yang disandang idiom Reformasi harus dipanggul PAN dengan segala resikonya.

Kedua, pembalikan fakta mengenai kemelut pengelolaan ekonomi dan kekacauan pemberantasan KKN, seolah-olah merupakan produk hulu Reformasi.

Ketiga, kedua topik itu hingga hari ini belum disanggah secara serius dalam konteks proses Trinitas Keputusan Politik tadi. Bulan lalu, dalam rangka menjajagi pencalegan di kampung saya, Pamekasan, Madura, ditemani para pengurus DPD PAN Pamekasan, saya coba mencatat hasil metode konferensi, yang di sini menjadi konstruks untuk mendiskripsikan materi Modulasi-Demodulasi tadi, saya kutip beberapa bagiannya berikut ini.

ACs (Accidental Sampling) Vs Saya

Sampeyan nyodduh napah berik? (Anda menusuk apa tahun kemarin?).

Gule, nyodduh se nyoguk. (Saya tusuk yang nyeruduk, yakni PDIP).

Mangken sampeyan kadhi ponapah? Gik Nyodduh se Nyoguk? (Sekarang bagaimana sikap Anda? Apakah akan menusuk yang nyeruduk?).

Bunten, se nyoguk mangken la rempak. (Tidak lagi. Karena yang nyeruduk sekarang sudah ambruk).

Parpol napa mangken se bekkal bennyak e sodduk? (Parpol apa yang sekarang yang bakal ditusuk?).

Penika soal cair. Mon cair gempang menang. Golkar nika cair onggu (Ini soal cair/uang). Kalau cair gampang menang. Golkar sungguh cair).

Kadiponapah se laennah? (Bagaimana parpol yang lain?) Buhh, jek nyamanan gik Golkar nikah. Nagereh e serah agi ka reformasi mik hancor kabbih. Golkar nikah menang deggik. (Wah, masih enak zaman Golkar nih. Negara diserahkan kepada reformasi, hancur semua. Golkar ini yang menang nanti).

Lo, mangken kan banyak kiayeh se daddih Bupati kan. Masak tak cair? (Lo sekarang kan banyak para kiai yang jadi Bupati kan. Masak tak cair  (uangnya)?)

Napaaah, keayeh mangken tak ngorus ponduk. Ngorus pesse, tapi gun kenyang abe’en thibik. Lambek reng reformasi nikah minta tolong se nai’ah. La pas daddih loppa ka rakyat. Kabbi kesulitan ekonomi nikah mangken, ra-geranah reng reformasi. (Apaa, kiai sekarang tak ngurus pondok pesantren lagi melainkan mengurus uang. Tapi cuma kenyang sendiri. Dulu, orang-orang reformasi itu minta tolong untuk naik. Setelah jadi, lupa kepada rakyat. Ini semua, kesulitan ekonomi saat ini, disebabkan oleh orang reformasi).

Dari sejumlah ACs, nada mayoritas serupa diperoleh: persepsi mengenai reformasi sudah di titik nadir.

Ada tiga substansi penting di situ yang mau-tak-mau harus diperdulikan: (i) Reformasi adalah kesulitan (baca penderitaan),  (ii) Reformasi adalah biang kerok hidup mereka (baca: penderitaan), sejak ekonomi hingga KKN, (iii) Orde Baru adalah benar dan tak berdosa.

Dengan logika Lasswell, persepsi tersebut menjadi sangat serius tatkala publik mengidentifikasi Citra itu melalui tindakan rasionalisasi tadi sebagai penderitaan. Persepsi segera membentuk Perilaku untuk melahirkan Trinitas Keputusan Politik.

Bagi reward kampanye PAN, jelas kondisi pikologis demikian bukan ‘wacana kunang-kunang’, melainkan sebuah ideologisasi sangat kuat yang akan melumpuhkan manuver-manuver murahan.

TTNed harus bekerja di tataran ini, menyodorkan kebenaran hingga batas psikologis Lasswell tadi, sbb:

Pertama, karena ketidakmampuan Orde Baru mengatasi gejolak ekonomi dari serangan Efek Domino dalam kurun Juli 1997 – Mei 1998, maka Orde Baru terguling, sementara dampak Efek Domino itu menjadi sangat dahsyat akibat distorsi ekonomi KKN dalam Mesin Ekonomi Orba, yaitu 263 Perusahaan Konglomerat yang menguasai 64 persen dari Product Domestic Ratio Bruto (PDRB) atau 86 persen kekayaan negara (JMC Research, 1998).

Kedua, Reformasi adalah rezim yang menggantikan Rezim Orde Baru, merupakan penguasa yang beroleh warisan  kehancuran ekonomi Orba tadi yang diperparah oleh kondisi KKN.

Ketiga, akibat keterbatasan waktu bagi rezim Reformasi dalam pembentukan kekuasaan pada 1999, Anggota DPR yang naik saat ini, sebagian besar adalah oknum Orba yang kemudian mengembangkan  kembali budaya KKN di Era Reformasi, sehingga yang terjadi lebih banyak nila daripada susu di belanga itu.

Penjelasan mengenai Psikobiografi Reformasi itu adalah kunci panas keberhasilan kampanye PAN — yang  hari ini menjadi ‘terdakwa’ atas penderitaan publik  dimaksud tadi, sekalipun PAN dan MAR belum pernah masuk dalam konfigurasi Eksekutif (Penguasa) sejak Era Reformasi.

Resiko Titik Kulminasi Trend

Kondisi di lapangan yang dikembangkan oleh Golkar — dan parpol lain yang berhasil meniru pola kampanye Golkar — telah mendorong proses pembentukan Citra – Persepsi – Perilaku dari yang mestinya partisipasi politik menjadi transaksi politik dengan sejumlah idiom publik:  ‘gizi’ hingga ‘cair’ yang bentuk rillnya adalah money politics.

Akibatnya, seluruh komponen semua parpol berlomba mencari uang untuk membiaya transaksi politik tersebut dengan segala cara, mendorong ke arah kondisi power tends yang corrupt secara nasional, grass-root hingga elit.

Hasil pengondisian demikian akan senantiasa  menghasilkan kekuasaan yang, secara psikologis tidak merasa memiliki hubungan budi dengan rakyat —  karena suara mereka adalah hasil pembelian dari transaksi politik yang sudah lunas dibayar — akan berakhir dengan krisis legitimasi karena prasyarat Perjanjian Masyarakat (Social Contract)dari John Locke – Thomas Hobbes – Montesqieu  itu tidak mampu dipenuhi oleh kekuasaan.

Trend transaksi politik yang sedang terbentuk dengan sangat kuat itu, merupakan aspek yang mengkibatkan MAR sebagai mister clean menjadi under trend. Demikian pula dengan PAN dan gerbong-gerbong Reformasi yang masih idealis.

Sebagaimana hukum trend, akan terjadi titik kulminasi bersamaan dengan kekecewaan publik, karena ternyata ‘gizi’ dan ‘cair’ itu  cuma slogan. Sebab secara matematis, nyaris tak seorang pun Caleg yang mampu membayar Rp 10.000 per suara.

Seorang Caleg untuk DPR Pusat, misalnya, harus mengumpulkan sebanyak 425.000 suara. Jika angka itu dikalikan dengan Rp 10.000 per suara, dibutuhkan biaya sebanyak Rp 4.250.000.000. Atau untuk Caleg DPRD I yang harus mengumpulkan suara sebanyak 65.000, maka biaya yang dibutuhkan adalah Rp 650.000.000.

Walau Golkar berhasil menurunkan pembiayaan dari pundi-pundi para donatur via Konvensi Capres Golkar, namun takkan mampu mengcoverage transaksi politik tadi, sehingga ongkos-ongkos itu harus ditutup dengan uang negara yang mampu diambil oleh kekuasaan kelak.

Titik Kulminasi akan terbit dari situ. Dan, negara kembali gonjang-ganjing karena pembentukan kekuasaan tidak didasarkan pada partisipasi politik, melainkan transaksi politik yang korup.

Kesimpulan

Karena Reformasi saat ini identik dengan MAR dan PAN, maka harus dijelaskan secara intensif tentang Psikobiografi Reformasi hingga batas psikologis Lasswell kepada voters.

Untuk memberi penjelasan demikian, mau-tak-mau menuntut suatu metode yang rumit  dilaksanakan, yaitu TTNed.

TTNed merupakan wahana identifikasi dan instrumen mobil psikomotoris voters dengan pola cluster psikoanalisis yang efektif dan efisien.

*Djoko Edhi S Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Direktur Penelitian JMC Research 1999 – 2004, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).

Daftar Pustaka

  1. Alan Isaak, Scope and Method of Political Science, Dorsey, 1981.
  2. Astrid Susanto, Ilmu Komunikasi dalam Teori & Praktek, I, Unpad, 1987.
  3. Bruce Russett & Harvey Starr, World Politics: Menu For Choice, Freeman, 1985.
  4. Djoko Edhi S Abdurrahman & Granita, Studi: Analisis Visi Demokrasi Pendidikan Dasar di DKI Jakarta, JMC Research & Program Paska Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003.
  5. Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman & Yuswil Rasyid, Studi: Analisis Kinerja Fraksi-Fraksi Terhadap Administrasi Publik DKI Jakarta, JMC Research & Program Paska Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003.
  6. Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman, Manajemen Androginis: Cross-Section Study, PWI Jaya & Meneg UPW-RI, 1995.
  7. Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman, Studi:Persepsi Demonstran & Analisis Kejatuhan Rezim Soeharto, JMC Research, Majalah Forum dan Majalah Gatra, Mei dan Juni 1998.
  8. Harold D. Lasswell, Modern Politics, Prentice Hall, 1963.
  9. Harold D. Lasswell, Political Phychoanalysis, Prentice Hall, 1931.
  10. Hendrik van Dalen & L. Harmon Ziegler, People, Politics & Perception, Prentice Hall, 1977.
  11. Herbert A. Simon, Administrative Behavior, MacMillan, 1957.
  12. J.A Bill & R.L Hardgrave, Comparative Politics, Colombus, Merill, Ohio, 1973.
  13. Karl W. Deutsch, The Analysis of International Politics, Engelwood Cliff, Prentice Hall, 1968.
  14. Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis & Teorisasi, PAU UGM, 1997.
  15. PAN, Buku Rakernas & Rakerwil PAN 2003, DPP PAN, DPW PAN DKI Jakarta.
  16. Paul B. Horton & Hunt, Sociology, I, Michigan Universitty, 1985.
Exit mobile version