Puisi

Tugu Proklamasi dan Hujan Keris di Bumi Para Empu – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

SELAMAT PAGI, BUMI

Selamat pagi, bumi. Dalam khusyuk sujudku aku hanya bisa berbisik kepadamu. Tak pernah terdengar oleh siapa-siapa, kecuali penghuni langit yang tak pernah punya prasangka.

Pagi ini hanya rasa syukur yang bergetar di hati, bukan kecewa atau benci atas pendakian yang tak kunjung usai ini. Kesabaran atas batu-batu terjal yang membentang di sepanjang jalan ini.

Pagi ini kupetik kesabaran dari embun azali. Kesabaran yang menjadi saudara kembar matahari, yang kehadirannya hanya untuk berbagi. Kusentuh bumi ini dengan kening bening hingga terpancar cahaya sejati.

Berbisik kepada bumi tapi bergema hingga ke langit memang membutuhkan kesabaran matahari.

Di bening embun aku tahajud, di bening embun aku bersujud. Pagi ini hanya doa yang kuwakafkan pada pesta para pewaris nabi, doa yang menetaskan jutaan telur dalam keranjang yang telah disiapkan para malaikat sejak zaman azali.

TUGU PROKLAMASI

Seperti sudah terbaca di langit senja, kini dwi-tunggal itu pamit untuk pergi mengembara. Setelah berjanji, ia pun pergi meninggalkan jejak yang tak mungkin basi.

Sudah tujuh dasawarsa janji itu diikrarkan penuh gelora, tapi pesona itu kini pudar rasanya. Bung Karno dan Bung Hatta tak lagi menjadi mantra.

Senja semakin luka dan meronta. Memandang Tugu Proklamasi hari ini, seakan hanya bercakap pada diri sendiri, bibir dan hati saling bertaut, lalu isi kepala menghamburkan puisi dan tanda tanya. Janji telah lama terenggut.

Dalam percakapan bisu antara Bung Karno dan Bung Hatta, pekik merdeka itu menjelma menjadi dawai jutaan biola, menjadi partitur ribuan orkestra.

Dari Tugu Proklamasi pagi ini, kudengar rintih jutaan biola, kurekam suara perih suku-suku bangsa yang merindukan daulatnya. Pertanda apa ini?

Lalu jika datang badai dari Barat dan Timur bersama, apakah patung-patung itu masih mampu tegak berdiri? Bukankah ia telah berjanji untuk menolak menjadi berhala, menolak menjadi lupa.

Melupakan atau dilupakan sama saja. Kita tolak semuanya.

HUJAN KERIS DI BUMI PARA EMPU

Bilah-bilah keris itu telah membelah langit lalu menjelma gerimis dan menari meneriakkan tangis.

Bumi para empu, negeri setajam sembilu, bangkitlah wahai anak-cucu lalu hunuslah keris emasmu hingga bangsa ini kembali bersatu.

Terlahir sebagai empu, kutiup biji-biji besi dari perut bumi lalu kutempa di kawah langit, pada titik didih yang menggelegak hingga pada ubun-ubunku, agar seluruh puasa dan cintaku kepada tanah air ini lebih tajam dari seribu sembilu.

Kusempurnakan tangguh agar jiwa tak rapuh, kujamas raga agar ketajaman menjadi utuh, sebab sepuh sejati hanya akan sampai di gerbang megatruh.

Akulah curigo manjing warongko, aku warongko manjing curigo

Wahai putra-putri Ibu Pertiwi, berpijaklah di bumi para empu ini dengan darah dagingmu sendiri. Raihlah pamor dengan mantra sembilu, capailah mantra dengan rakaat seribu, maka jadilah hati ini sebagai titik cahaya untuk bertemu antara baja dan palu.

Di hati para empu, panas api yang berkobar membakar perih lapar hanyalah sebilah sinar, sebab keris emas yang telah lepas menebas arsy sejatinya adalah doa-doa kita sendiri.

Tak perlu engkau risau soal dapur atau luk berjumlah berapa, sebab jika telah tuntas engkau berpuasa maka Empu Gandring dan Empu Supa akan memberimu nama:

Nusantara!

Hujan keris emas di bumi para empu, bukan gerimis linggis yang melukai akal sehat dan pikiranmu. Maka bersumpahlah untuk menjadikan Indonesia sebagai mahakarya.

Di dalam warangka bertahtakan intan permata, akan kusarungkan jutaan keris pusaka itu jika sudah tiba pada waktunya.

Tapi hari ini semua keris itu harus tetap  terhunus, sampai kejahatan di negeri ini tak lagi merajalela, hingga kemerdekaan bangsa ini tak cuma upacara dan kilau fatamorgana.

IBU, MASIH ADAKAH WAKTU?

Ibu, masih adakah waktu untuk menyematkan seikat doa di atas pusaramu?

Hari ini kuuntai seribu butir air mataku sebagai kalung rindu. Maafkan aku, Ibu, jika hari ini baru kuawali ziarah cintaku mengutuhkan rasa sesal dan salahku karena telah ribuan kali melukai hatimu.

Doa dan istighfarku ini sepertinya tak sanggup menyamai indahnya permata kesabaranmu.

Semakin retak dadamu, semakin berkilau permata kesabaran itu.

Seperti cakrawala, luas kasihmu tak sanggup kutemukan tepinya. Seakan matahari, pancaran sinarmu menampakkan dunia terang dalam jagad gelap di dadaku.

Ajari aku menenun segala perih dan rasa sakit di ulu hatimu menjadi kain kesabaran yang teramat indah sebagai busana kehidupan bagi anak-anakmu.

Tuturkan padaku bagaimana cara merenda bianglala kecemasan yang mengepung tiap nafasmu menjadi pelangi rasa syukur yang begitu mempesona di lubuk kalbu.

Di atas pusaramu sudah tak perlu kutaburkan mawar, sebab permata kesabaranmu terus memancar. Juga tak akan kutaburkan melati, sebab mutiara keikhlasanmu telah menaburkan wangi hingga di urat nadi.

Ibu, betapa bangga aku menjadi anakmu, begitu bahagia kukalungkan permata kesabaranmu menjadi tasbih kasihku untukmu.

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 3,139