Berita UtamaKhazanah

Tradisi Islam Wetu Telu: Dari Maleman Qunut Hingga Lebaran Tinggi

NUSANTARANEWS.CO – Malam 15 Ramadhan bagi umat muslim dimaknai sebagai malam untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan. Karena berbagai upacara keagamaan di gelar dengan cara-cara yang telah berlaku di masing-masing daerah. Sebagaimana yang diterangkan nusantaranews.co sebelumnya, malam 15 ramadhan dirayakan oleh masyarakat Cinere, Binjai, Wajo, Tanggerang, Ciledug, dan sebagain di DKI Jakarta.

Selain itu, keunikan merayakan kemenangan diri setelah berhasil melewati puasa sampai di hari ke-15, masyarakat Lombok bagian Utara, tepatnya di desa Bayan, juga menggelar upacara yang hampir sama. Mereka adalah penganut Islam Wetu Telu yang melaksanakan malam Qunutan atau Maleman Qunut.

Islam Wetu Telu

Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti perkawinan agama dengan budaya lokal. Dimana ritual keagamaan dipraktikkan sesuai dengan kepercayaan lokal sehingga nampak anasir non-Islami. Islam Wetu Telu mirip dengan Islam Abangan di Jawa. Penganut Islam Wetu Telu mengukur ke-Islaman mereka cukup dengan ber-syãhadat, pantang makan daging babi dan minum alkohol, serta berkhitan bagi kaum prianya.

Islam Wetu Telu merupakan agama tradisional yang memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktek hingga pada batas-batas tertentu dapat ditemukan dalam agama samãwi (Wetu Lima). Wetu Telu menggunakan do’a-do’a yang diambil dari al-Qur’an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting keprcayaan yang diambil dari Islam universal.

Sebagaimana yang disebutkan Erni Budiwanti (2000), dimasukkannya ayat-ayat al-Qur‘an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang, bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya. Penganut Wetu Telu identik dengan masyarakat yang berpegang teguh terhadap adatistiadat nenek moyang mereka dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Sehingga menyebabkan watak masyarakat Wetu Telu menjadi sinkretik.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Prabowo Gibran Deklarasikan Pemilu Damai Jaga NKRI Bersama 163 Komunitas Relawan

Sedangkan pemangku adat Karangsalah Raden Gedarip menilai Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara Wetu Telu maupun Wetu Lima. Sebab baginya, Wetu Telu bukan agama, melainkan adat dalam kehidupan masyarakat Lombok. Masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat yang diiringi dengan bahasa Sasak seperti, “Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah.” Menurutnya, lahirnya Islam Wetu Telu berasal dari zaman penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima.

Bagi komunitas Wetu Telu di Bayan, salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu, terdapat empat konsepsi. Walau berbeda-beda, keempatnya merupakan satu kesatuan pengertian. Pertama, Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi. Kedua, Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Ketiga, Wetu Telu sebagai sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup (urip) dan mati (mate). Dan Keempat, pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam dan Hawa.

Baca Juga:  HPN 2024, PIJP Salurkan Bansos untuk Anak Yatim dan Kaum Dhuafa

Dari keempat konsep yang saling mengkait dan merupakan satu kesatuan di atas, warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu Telu yang dapat ditemukan dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti Maleman Qunut dan Likuran, Maleman Pitrah, Lebaran Tinggi, dan Lebaran Topat.

Maleman Qunut Maleman Likuran

Maleman Qunut merupakan peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan pada malam ke-16 dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Sedangkan Maleman Likuran merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai.

Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi

Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati. Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Lebaran Topat

Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.

Tradisi masyarakat penganut Islam Wetu Telu dalam bulan Ramadhan pada prinsipnya secara subtansial berlandaskan pada sistem norma yang mengikat hubungan persaudaran antar masyarakat. Islam Wetu Telu masih kuat pengaruhnya di daerah Bayan.

Dalam catatan J. Van Ball (1976) Bayan merupakan daerah terpencil di Lombok bagian utara. Letaknya lima kilometer dari pantai dan berada di lereng gunung Rinjani dengan ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Bayan terkenal karena masih menyimpan dan memelihara khazanah budaya yang sangat khas sebagai ciri parokialitas adatnya. Secara historis, Bayan merupakan pusat kedudukan dari raja-raja Bayan semenjak zaman dahulu. Kebudayaan kuno dan tradisional ini tetap bertahan dan memberikan warna corak yang khas dan tertentu kepada agama Islam. Sedangkan secara geneologis desa Bayan memiliki trah raja-raja Bayan. (Sel)

Editor: Achmad Sulaim

Related Posts